Tidak ada yang meragukan keteguhan hati seorang Granit Xhaka. Sejak kecil hingga dewasa ia selalu ditempa dengan banyak hal yang tidak mengenakan. Tapi pria Swiss itu enggan menjadi pengecut. Ia hadapi semua hal sulitnya dengan kepala tegak dan keberanian bak pejuang ketika berperang.
Keluarga Xhaka
Xhaka merupakan anak dari pasangan pengungsi dari Kosovo yang lahir pada 27 September 1992 di Basel, Swiss. Sang ayah, Ragip Xhaka merupakan warga Kosovo dan Elmaze Xhaka, ibunya, adalah orang Albania. Kedua orang tuanya memutuskan mengungsi ke Swiss di tahun 1990 dikarenakan sedang terjadi perang saudara di Yugoslavia.
Hidup sebagai seorang imigran tentu tidak mudah bagi keluarga Xhaka. Belum lagi saat itu kedua orang tuanya harus membawa dua balita sekaligus yaitu Taulant Xhaka dan Granit Xhaka. Tidak punya rumah, saudara dan hidup penuh ketidakjelasan di negeri orang.
Ditambah sang ayah adalah mantan tahanan politik di Yugoslavia. Ayah Xhaka adalah sosok yang vokal mengkritik kebijakan komunis di negara tersebut. Karena dianggap sebagai pemberontak, ayahnya dijatuhi hukuman penjara selama 3,5 tahun.
Perjalanan karier
Granit dan Taulant mengawali karier sepakbolanya dengan bergabung bersama tim muda FC Concordia Basel dari tahun 2000–2003. Melihat potensi besar dua pemain bersaudara tersebut, salah satu klub besar di Swiss, FC Basel memutuskan untuk merekrutnya pada tahun 2003. Keduanya pun mulai mulai masuk di tim U-15 hingga senior dan mulai mendapatkan kesempatan bermain di tim senior bersama-sama pada tahun 2010.
Singkat cerita, karier Granit Xhaka ternyata lebih moncer dibandingkan sang kakak. Selama dua tahun berseragam Rot Blau, julukan FC Basel, pemain bertinggi 185 cm itu tampil di 67 laga dan mencetak 3 gol serta 7 asis. Hal inilah yang mengantarkannya hijrah ke Jerman dengan membela Borussia Monchengladbach di tahun 2012.
Selama empat musim bersama Monchengladbach, kepiawaiannya sebagai gelandang semakin teruji.Ia bermain di 140 laga dan mencatatkan angka GA (goal-asisst) sebesar 18. Hingga pada 2016 ia menerima pinangan dari Arsenal dan menjadi pemain andalan Arteta hingga saat ini.
Raja kapten, kartu sekaligus tendangan keras
Karena hidup dengan penuh kepayahan, membuat jiwa leadership Xhaka terbentuk sejak kecil. Bahkan salah satu anekdot di keluarga Xhaka adalah ketika Granit lebih dipercaya untuk membawa kunci rumahnya dibandingkan Taulant sang kakak.
Karakter sebagai pemimpin itu pun berlanjut ketika ia membela FC Basel, Borussia Monchengladbach, Arsenal hingga Timnas Swiss. Ia selalu pernah merasakan ban kapten di tangannya ketika bermain.
Menjadi kapten ternyata tidak menghilangkan sikap tempramen yang ia miliki. Kartu kuning dan merah bisa dibilang menjadi sahabat dalam karier sepakbolanya. Tercatat sepanjang kariernya di level klub dan timnas, ia sudah mengoleksi 222 kartu kuning dan 5 kartu merah.
Selain itu hal lain yang identik dengan pemain berusia 30 tahun ini adalah tendangan kerasnya. Banyak gol spektakuler yang lahir lewat dentuman keras tendangannya. Maka dari itu lahirnya julukan “Xhakaboom” yang menggambarkan betapa keras sepakannya.
Pasang surut hubungan bersama Arsenal
Meskipun sudah hampir 8 musim berseragam Meriam London dan selalu tampil di 30 laga tiap musimnya, Xhaka juga pernah dalam fase terendah dalam kariernya di Arsenal. Meskipun menjabat kapten Xhaka memang punya masalah dalam kedisiplinan dan timing melakukan tekel ketika berlaga.
Momen paling memorable adalah ketika di musim 18/19 pada pekan ke-37. Saat itu adalah pertandingan penentuan lolos tidaknya Arsenal ke Liga Champions melawan Brighton and Hove Albion. Di saat Arsenal hampir mengunci kemenangan 1-0, tiba-tiba Xhaka melakukan tekel kepada pemain Brighton di kotak penalti. Walhasil The Gunners harus kebobolan dan mengubur mimpinya mentas di UCL
Berkat kejadian tersebut Xhaka seolah olah menjadi public enemy karena menjadi biang kegagalan. Kebencian kepada Xhaka pun berlanjut hingga beberapa musim berikutnya. Bahkan tiap kali bermain dan memegang bola seringkali ia di “boo” oleh fansnya sendiri.
Ia sempat marah dan frustasi. Puncaknya ketika ia membuang ban kapten di tengah lapangan, menempelkan telapak tangannya di dekat telinga dan melepas jersey ketika diganti pada tahun 2019.
Bertemu Arteta
Ketika kepercayaan publik pada Xhaka hampir tidak ada, kedatangan Arteta justru memberikan harapan baru bagi karier kapten Timnas Swiss tersebut. Arteta layaknya menjadi Mesias bagi Xhaka yang tengah terpuruk kala itu.
Sejak itu Xhaka mulai bangkit dan menemukan permainan terbaiknya. Ia selalu menjadi orang yang bisa diandalkan Arteta ketika bermain. Ia diberi kebebasan bermain sebagai seorang gelandang. Terbukti saat dilatih Arteta, ia mampu mencetak 6 gol dan 9 asis sejauh ini.
Setelah kepergian Patrick Vieira dan Gilberto Silva, Arsenal tak lagi memiliki gelandang yang terkenal ngotot dan galak. Granit Xhaka, sebenarnya punya dua hal tersebut. Maka, dengan atribut tersebut, sudah sepantasnya ia menjadi tulang punggung yang kokoh untuk Arsenal.