Stadion Renato Curi, 25 Mei 1997, sebuah pertandingan Liga Italia Seri A antara Perugia melawan AS Roma berlangsung. Kompetisi menyisakan dua pekan, dan bagi Perugia, partai ini adalah satu dari serangkaian laga hidup mati yang harus mereka jalani dalam upaya salvezza atau menyelamatkan diri dari jeratan degradasi.
Seorang pemandu bakat hadir dalam laga tersebut, ia ditugasi khusus untuk mengamati seorang pemain bernomor punggung 18 bernama Marco Negri. Sang pemain berhasil mencetak sebuah gol dan sebuah assist untuk kemenangan Perugia. Namun sayang, di pertandingan terakhir, Perugia menyerah atas Piacenza yang merupakan rival langsung sesama klub papan bawah. Meski berhasil membukukan 15 gol pada musim tersebut, Negri gagal menyelamatkan Perugia dari degradasi.
Ewan Chester adalah pemandu bakat yang menyaksikan perjuangan ini. Ia ditugasi oleh Walter Smith, manajer klub tempatnya bekerja kala itu, Rangers FC. Sekembalinya ke klub yang bermarkas di kota Glasgow ini, Chester membuat laporan singkat. Dalam laporannya, Chester menuliskan bahwa Negri bukanlah seorang penyerang yang mau bekerja keras. Ia tidak melakukan tracking back, tidak pula melakukan pressing kepada pemain belakang lawan. Namun jika klub ingin mencari penyerang yang mampu mencetak 30 gol dalam semusim, dialah orangnya.
Lebih jauh, Chester menyebut kelihaian Negri mencetak gol berupa sundulan jarak pendek, tap-in hingga eksekusi penalti. Mengamati gol-gol Negri kemudian, penilaian tersebut memang tidak salah.
Dari laporan pengamatan yang dibuat Chester, klub memutuskan untuk mengikat sang penyerang gondrong dan berjanggut lebat itu. Waktu itu, usia Negri masih 26 tahun, usia emas pesepak bola. Dengan Piala Dunia 1998 sudah di depan mata dan pelatih Italia saat itu Cesare Maldini telah memberi sinyal positif untuk memilihnya, maka mendatangkan pemain yang tengah termotivasi seperti Negri sepertinya tepat. Ditambah lagi, pada masa itu terjadi fenomena yang disebut publik Britania sebagai Italian invasion, yaitu membanjirnya pemain-pemain asal Italia yang sukses bermain di klub-klub Inggris maupun Skotlandia.
Negri ditransfer dengan nilai 3,5 juta poundsterling, plus bayaran 18 ribu per pekan, menjadikannya salah satu penerima gaji tertinggi di skuat. Kedatangan Negri diiringi ambisi besar Smith untuk membawa Rangers meraih 10 gelar liga beruntun. Dan untuk itulah ia merasa perlu mendatangkan tukang gedor gawang lawan yang jempolan seperti Negri.
Kedatangan Negri membuat Rangers memiliki empat pemain Italia karena saat itu mereka juga diperkuat oleh Gennaro Gattuso yang masih muda, eks Fiorentina Lorenzo Amoruso dan eks Juventus Sergio Porrini. Keberadaan mereka tentu akan memudahkan adaptasi. Pemain terkenal lain seperti Peter Van Vossen, Joerg Albertz, Brian Laudrup hingga Paul Gascoigne juga menghuni tim ini sehingga aroma kontinental amat kentara.
Negri memberi pembuktian atas harga dan ekspektasi besar yang berada di pundaknya. Ia mencetak dua gol dalam laga debut liga lawan Heart of Middlothian, lalu mencetak lima gol dalam kemenangan Rangers atas Dundee United. Satu gol di antaranya bahkan menyamai apa yang dilakukan Gazza bersama tim nasional Inggris di Piala Eropa tahun 1996, yaitu mengontrol bola melewati kepala bek lawan lalu menghajar bola dengan sepakan voli. Bedanya, Negri mencetak gol dengan tendangan lob melewati kepala penjaga gawang. Gol yang amat cantik dan elegan.
Torehan tersebut masih belum apa-apa. Ia lantas mencetak 23 gol hanya dalam 10 laga awal. Rata-rata golnya tersebut adalah yang tertinggi di Eropa saat itu, sekaligus memecahkan rekor demi rekor. Selanjutnya, Negri mencetak tambahan lima gol yang menutup tahun 1997 dengan manis: 28 gol dalam setengah musim.
Namun ada yang janggal dari penampilan Negri. Di lapangan, Negri tidak terlihat menikmati pertandingan atau menghayati kebersamaan dengan rekan setim. Selebrasi golnya sangat dingin dan nyaris tanpa senyuman. Di ruang ganti, ia juga terkenal sebagai pribadi yang pendiam.
Rekan-rekan setimnya seperti Albertz sampai berkomentar bahwa Negri memang tidak seperti pesepak bola kebanyakan. “Ia adalah pemuda yang baik, namun di luar lapangan saya tidak terlalu mengenalnya. Tapi ia jelas bukan tipe orang yang gemar mengunjungi klub malam,” ungkap pria Jerman ini.
Dari kegiatan luar lapangannya itulah justru bencana terjadi. Saat sedang bermain squash bersama Porrini, bola yang memantul keras tanpa sengaja mengenai mata Negri. Cedera mata tersebut cukup parah sehingga memaksa Negri absen cukup lama dari lapangan, dan disusul cedera-cedera berikutnya.
Ironisnya, sekembalinya ke lapangan, Negri hanya total mencetak 2 gol liga dan tiga gol di Piala Skotlandia dalam sisa musim. Penurunan drastis tersebut akhirnya membuat gelar juara liga Rangers direbut oleh rival abadi, Celtic FC plus hanya menjadi runner-up di Piala Skotlandia karena menyerah dari Hearts.
Bagi Negri sendiri, rangkaian penurunan performa tersebut juga menutup rapat pintu tim nasional yang berlaga di Piala Dunia Prancis 1998. Dalam skuat yang diumumkannya, Cesare Maldini mengandalkan Christian Vieri, Alessandro Del Piero, Filippo Inzaghi dan penyerang senior Roberto Baggio dalam barisan penyerangnya. Ini tentu saja merupakan pukulan telak.
Musim-musim selanjutnya, ketajaman Negri benar-benar menguap. Setelah sempat dipinjamkan ke Vicenza, Negri kembali lagi ke Ibrox, di mana pelatih Dick Advocaat yang menggantikan Smith berupaya mengembalikan ketajamannya. Upaya tersebut menemui kegagalan karena Negri kembali tidak berguna di lapangan. Ia kemudian hanya bermain di tim cadangan.
Belakangan, terkuaklah fakta mengejutkan tentang seklumit karir Negri di Rangers, seperti terungkap dalam otobiografinya berjudul “Moody Blue – The Story of The Mysterious Marco” yang dipublikasikan awal tahun 2015 ini. Daily Mail menceritakan sedikit dari isi otobiografi ini tentang sebuah kejadian serius saat Negri bermain dengan tim cadangan tahun 2000.
Saat menghadapi tim cadangan Aberdeen, Negri mendapat tekel keras hingga tulang keringnya terluka. Hasil diagnosa dokter mengungkapkan terdapat luka dalam di tulang kering, namun bukan masalah serius, hingga Negri diperbolehkan kembali bermain beberapa bulan kemudian.
Namun, sekembalinya ke lapangan, rasa sakit masih dirasakan. Hasil pemeriksaan lanjutan di rumah sakit Ross Hall di Skotlandia menunjukkan terjadinya inflamasi (peradangan) pada tulang keringnya. Kondisi semakin mengkhawatirkan karena dari sampel darah yang diperiksa, terdapat infeksi lymphogranoluma atau lymphosacroma –sebuah indikasi umum yang terjadi para penderita HIV/AIDS.
“Saya lantas diharuskan menjalani perawatan. Meski tidak divonis sebagai pengidap positif HIV/AIDS, namun ini adalah kenyataan pahit yang tertuang dalam laporan medis, dan ini begitu sulit saya cerna dan tidak mungkin saya abaikan,” tulisnya.
“Saya harus kembali ke Italia, di mana saya bisa menghadapi hal ini dengan dukungan keluarga. Saya meminta pengacara saya untuk membantu proses pemutusan kontrak dengan Rangers, dan syukurlah mereka bisa menerimanya. Sekembalinya di Italia, saya melanjutkan pemeriksaan di rumah sakit Bologna, dan saya beruntung bahwa ternyata tidak ada yang serius, bahkan saya tidak memerlukan perawatan,” tutupnya.
Negri kembali bermain, dan Bologna menjadi klub selanjutnya. Hanya bertahan semusim di klub yang pernah diperkuat Roberto Baggio tersebut, Negri kemudian berpindah ke Cagliari dan Livorno. Meski mampu mencetak 8 gol dari 10 laga di Livorno, Negri kemudian memilih untuk menutup karirnya di klub yang membesarkan namanya, Perugia pada musim 2004-05. Total, Negri mengukir 154 penampilan dan mencetak 95 gol dalam 10 tahun karir profesionalnya sebagai pemain.
Selepas pensiun, tidak banyak yang mengetahui keberadaan Negri yang memang misterius ini, bahkan rekannya selama di Rangers, Lorenzo Amoruso juga mengaku sudah bertahun-tahun tidak mendengar kabar darinya, hingga ia meluncurkan otobiografi yang menjawab segala misteri ini.
Berbicara tentang Amoruso, ternyata terdapat cerita menarik tentangnya, yang juga turut memecahkan misteri penurunan karirnya di Rangers. Seperti dikutip dari Mirror, cerita ini juga tertulis di otobiografi Negri. “Amoruso adalah seorang Alpha Male. Dia selalu memaksakan pendapatnya kepada orang lain, dan dia adalah tipe orang yang akan berkeliling dunia supaya dipandang orang lain,” tulisnya dalam otobiografi.
“Inisial namanya adalah LA (Los Angeles), dan kadang saya berpikir cukupkah kota tempat Hollywood berada itu menampung sifat besar kepalanya. Suatu ketika seorang anak muda Italia, bukan pesepak bola, pernah mendatangi Walter (Smith) untuk melakukan trial seraya berkata bahwa ia mengenal Amoruso, dan Amoruso menjanjikan kepadanya bahwa Walter akan memberinya izin untuk itu. Tentu saja Walter memberinya izin secara simbolis, lalu dengan sopan menunjukkan pintu keluar.”
“Amoruso membuat saya muak. Ia seperti menusuk saya dari belakang. Saya memang dengan bodohnya menceritakan keluhan saya kepadanya pada masa-masa sulit itu, dan saya berharap musim segera usai. Namun saya tidak menyangka selang beberapa hari, Walter memanggil saya ke kantornya, lalu menasihati saya.”
“Walter lebih mendengarkan Amoruso daripada saya, dan sejak saat itu hubungan saya dan Walter memburuk. Walter menyukai pemain yang rapi, yang mengenakan dasi menuju tempat latihan dan rajin bercukur. Saat itu, saya tidak bisa menerimanya dengan baik. Setelah keluar dari kantornya, saya mulai memberontak seperti anak kecil dan melakukan beberapa hal yang tidak profesional yang tentu saja memperburuk keadaan. Saya menyesal, dan seandainya waktu bisa diputar kembali, saya akan melakukan hal yang berbeda,” tutupnya.