Mari Meniru Jejak Portugal, Garuda!

Tidak ada yang lebih indah dibandingkan berhasil meraih puncak prestasi ketika berada dalam kondisi serba terbatas.

Mampu mencapai puncak gunung dengan kaki setengah pincang, kepala migrain, dan hati yang remuk redam. Ditambah lagi dengan perbekalan yang terbatas. Mampu mencapai setengah perjalanan saja mungkin telah terasa membahagiakan.

Tetapi, kepalang tanggung ketika telah mencapai seperempat puncak, lalu menyerah dan turun dari pendaikan. Padahal puncak gunung itu sudah terlihat. Seperti menggoda para pendaki yang kepayahan untuk terus mengayunkan kakinya, lagi dan lagi.

Si pendaki sadar dengan keterbatasannya, kelemahan, dan batas tenaganya sendiri. Namun ia tak ingin menyerah ketika tujuan sudah di depan mata. Dengan menanggung semua rasa sakit itu, ia mendaki puncak gunung dengan perlahan, namun pasti.

Drama yang berakhir manis

Perjuangan si pendaki merupakan wujud sebuah drama kehidupan. Ada emosi dan klimaks yang ingin didaki. Cerita yang disajikan semakin greget dan membuat penonton menahan napas ketika si pendaki menantang alam yang senyata-nyatanya tak mungkin ditundukkan.

Namun si pendaki dengan segala keterbatasannya tak pernah menyerah. Dan hasil yang ia dapatkan begitu manis. Puncak gunung berhasil didaki. Sebuah skenario drama dengan bumbu air mata dan darah.

Drama, juga tersaji di atas lapangan hijau. Dan epilognya terasa manis untuk si pemenang, namun getir untuk yang menjadi pecundang. Pertengahan tahun ini, kita disuguhi drama dari sebuah negara di Semenanjung Iberia, Portugal, yang berhasil menaklukkan Eropa.

Portugal datang ke Prancis, tuan rumah Euro 2016, tidak dengan menyandang status unggulan. Meski mempunyai pemain terbaik dunia dalam diri Cristiano Ronaldo, kans Portugal menjuarai Euro dipandang masih lebih mini ketimbang Italia, Jerman, Spanyol, dan tentu saja tuan rumah, Prancis.

Cara bermain Portugal pun tak dipandang mampu membawa mereka menguasai Eropa. Terlalu bertumpu kepada Ronaldo adalah salah satu pandangan yang umum. Tim asuhan Fernando Santos ini bahkan harus susah payah untuk lolos dari babak penyisihan grup. Mereka lolos tanpa memetik kemenangan!

Portugal memahami kekurangan mereka. Mereka tak mencoba bermain seindah Spanyol atau setaktis Jerman. Portugal bermain sepak bola dengan cara mereka sendiri. Memaksimalkan makna kerja keras dan pengorbanan untuk kemenangan tim.

Dan hasilnya memang semanis madu. Menghadapi Prancis di Stade de France, Portugal dibuat bertahan hampir sepanjang laga. Namun, setelah mandi peluh hampir selama 120 menit ditambah Cristiano Ronaldo yang cedera, Portugal mencecap hasil kerja mereka. Gol tunggal Eder membawa Portugal ke puncak Eropa.

Sepak bola bukan hanya tentang yang kuat dan lemah. Ada satu unsur yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sepak bola: keberuntungan.

Siapa sangka, keluarnya Cristiano Ronaldo tidak mengendurkan semangat Portugal. Namun, semangat pemain lainnya justru terlecut. Mereka tetap bermain rapi dan kolektif.

Tak peduli siapa yang bermain, siapa yang menguasai pertandingan, pemenang ditentukan dengan siapa yang mencetak gol lebih banyak.

Bekal untuk Indonesia di final AFF 2016

Kisah pantang menyerah Portugal di tengah segala keterbatasannya adalah bekal bagi tim nasional Indonesia kala menghadapi Thailand di pertandingan final AFF 2016.

Tim Gajah Putih jelas akan lebih diunggulkan. Materi pemain dan kedalaman skuat yang ideal membuat Thailand mampu melenggang ke partai puncak dengan mulus. Cara bermain mereka pun jauh lebih unggul ketimbang para lawan di kawasan Asean ini.

Bahkan, tim asuhan Kiatsuk Senamuang ini sudah pernah mengalahkan Indonesia di babak penyisihan grup dengan skor 4-2. Ulasan pertandingan tersebut dapat Anda baca di sini.

Bandingkan dengan Indonesia. Dengan pilihan pemain yang cukup terbatas, Irfan Bachdim cedera sebelum AFF digelar, ditambah mepetnya waktu persiapan, Garuda mampu menembus final.

Jangan lupakan juga faktor keberuntungan yang menaungi Indonesia kala dijamu Vietnam di leg kedua babak semifinal AFF 2016. Gol yang dicetak Stefano Lilipaly berbau keberuntungan. Pun dengan kartu merah yang diterima kiper tuan rumah karena menendang pemain Indonesia.

Memang, keberuntungan tak bisa dijadikan modal. Keistimewaan ini baru bisa dilahirkan apabila tim tetap bermain dengan sepenuh hati. Kerja keras yang terus dipelihara adalah syarat mutlak. Portugal bisa mengalahkan Prancis juga setelah melewati menit-menit yang panjang dan sangat melelahkan.

Indonesia bisa menjadi “Portugal-nya Asean”. Bisa saja di final, Zulham Zamrun yang sering mendapat banyak cibiran, justru menjadi pahlawan dengan mencetak gol penentu juara.

Kurnia Meiga Hermansyah, yang selalu kebobolan, di final gawangnya berhasil tetap perawan. Thailand, yang sepanjang kompetisi bermain begitu luar bisa, justru kesulitan menembus lini pertahanan Indonesia. Ritme menjadi kacau dan Indonesia mampu bertahan di dua leg partai final.

Jika sudah begitu, siapa yang bisa memprediksi jalannya sebuah pertandingan dengan sangat akurat. Lantaran bola itu bulat, maka beragam skenario drama bisa saja tersaji. Di atas lapangan, semua kembali ke ketebalan tekad dan ketepatan melaksanan taktik pelatih.

Menjalani dua leg babak final AFF 2016 merupakan sebuah tantangan yang memang sejatinya berat. Seperti si pendaki yang kakinya terluka, Indonesia ditantang untuk menaklukkan gunung yang tangguh bernama Thailand. Jangan sampai, cap spesialis juara dua tetap menjadi milik Indonesia.

Dan yang pasti, jangan lupa, berikan kado perpisahan termanis untuk Alfred Riedl yang akan pensiun tahun ini.

Mari ikuti jejak Portugal, Garuda!

 

Komentar

This website uses cookies.