Saya teringat pada suatu masa menyaksikan pertandingan di kancah sepakbola Indonesia yang kental dengan kearifan lokalnya.
Saat itu, bahkan mungkin sampai sekarang, tuan rumah hampir pasti selalu menang. Kemenangan tim tamu layaknya mukjizat yang hanya terjadi sesekali. Pelanggaran keras juga jarang diganjar kartu merah.
Semua klub bermain dengan formasi dan gaya main serupa yakni 3-5-2. Sayap-sayap seperti Aji Santoso, Anang Ma’ruf, Budiman Yunus, sampai Ismed Sofyan bergantian menyisir sisi lapangan.
Mayoritas klub pada waktu itu masih bergantung pada dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk gaji dan operasionalnya.
Imbasnya, klub yang berdomisili di daerah dengan APBD masif berpeluang lebih besar untuk juara.
Hari ini, banyak hal berubah. Antusiasme suporter hadir di stadion meningkat. Dahulu, sulit untuk menyaksikan stadion yang disesaki suporter.
Meriah iya, antusias iya, tapi jarang stadion terlihat penuh. Mungkin hanya pertandingan besar dan klub yang berpeluang juara saja yang stadionnya terlihat penuh.
Saat ini banyak stadion yang disesaki suporter, bahkan tidak hanya di liga teratas, liga di bawahnya pun demikian.
Tidak lagi jadi tontonan ABG tanggung atau para penggila bola semata, saat ini banyak mata yang tertarik untuk melihat pertandingan dari Liga Indonesia.
Masing-masing klub juga makin ikonik dengan ciri khasnya. Bali United dengan pengelolaan klub yang profesional. Persebaya dan PS Sleman yang mendapat dukungan fanatik dari para suporternya. Hingga Persib yang acap mengejutkan dengan merekrut pemain asing tenar.
Dalam ilmu pemasaran, hal-hal tersebut sangat penting. Setiap klub mandiri karena tidak lagi bergantung dana APBD dan investor kakap semakin banyak berinvestasi di sepakbola Indonesia.
Dari sisi permainan, banyak klub yang sudah mengadopsi formasi modern dengan gaya permainan yang ‘tidak hanya’ melambungkan bola dari belakang langsung ke depan.
Musim 2019 lalu kita bisa melihat bagaimana PSS bermain dengan gaya bermain yang memikat walau sejumlah kekurangan kudu dibenahi.
Kita beruntung hidup di era media sosial. Media sosial digunakan klub untuk berinteraksi dengan suporternya.
Di satu sisi, klub menjadi lebih dekat dengan fans dan transparan. Di sisi lain, media sosial digunakan suporter untuk mengawasi gerak-gerik klubnya.
Pada momen tertentu, pengawasan itu dibutuhkan untuk menekan klub. Tentunya menekan dari sisi positif.
Alhasil, klub jadi terpacu untuk melakukan suatu perubahan yang lebih baik serta meninggalkan segala hal yang berbau negatif.
Perangkat pertandingan juga serupa. Setiap keputusan salah atau janggal akan segera mendapat atensi besar warganet.
Terbongkarnya jaringan mafia sepakbola beberapa tahun belakangan semoga menjadi angin segar.
Meski tidak seratus persen menghilangkan kecurangan dalam pertandingan, diharapkan kualitas perangkat pertandingan meningkat, pun dengan kualitas sepakbola Indonesia.
Semua mata menyorot setiap kejadian dalam pertandingan dengan kritis. Hal tersebut mempersempit peluang mafia sepakbola untuk terus terlibat.
Bahkan sejumlah perangkat pertandingan asal Indonesia sudah dipercaya sebagai wasit FIFA.
Hal tersebut membuktikan kualitas sebenarnya dari perangkat pertandingan kita jika tidak ‘diganggu’ mafia.
Namun jangan buru-buru membandingkan dengan kualitas perangkat pertandingan dari negara Asia lain atau bahkan Eropa. Dari sisi kesejahteraan saja ada perbedaan jauh.
Dari sisi jaminan perlindungan terhadap mereka saat memimpin pertandingan juga berbeda. Nyaris tidak pernah ditemukan wasit di Eropa sana yang dipukuli para pemain atau suporter.
Sepakbola Indonesia memang masih jauh tertinggal. Tidak perlu repot membandingkannya dengan kompetisi di Eropa sebab di level Asia Tenggara saja kita makin ketinggalan. Bahkan oleh Filipina yang dahulu pernah kita taklukkan dengan skor 13-1.
Apalagi peringkat Indonesia di rangking FIFA dan AFC yang juga kian merosot dari waktu ke waktu. Untuk yang terakhir, bahkan berimbas pada jatah klub-klub Indonesia beraksi di kompetisi Asia.
Sejujurnya, sepakbola Indonesia tak bisa dikatakan terlalu jelek. Ada hal-hal positif yang bisa kita lihat dari iklim sepakbola nasional.
Namun poin-poin positif tadi tak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh federasi (PSSI) guna mengatrol sepakbola Indonesia agar menjadi lebih hebat.
Dahulu, sepakbola Indonesia dianggap sebagai kompetisi yang kampungan, lebih identik dengan adu jotos dan permainan mafia. Peminatnya pun terbatas sekali.
Kini, sepakbola Indonesia punya nilai jualnya sendiri di mata sponsor. Para pemain berkualitas pun tertarik untuk merumput di sini guna merasakan atmosfer luar biasanya.
Klub-klub juga berupaya semaksimal mungkin untuk membenahi diri mereka agar semakin profesional dan mandiri. Interaksi yang terlihat dari mereka dengan para fans membuktikan hal tersebut.
Dengan berbagai perbaikan yang serius, sepakbola Indonesia bisa semakin baik. Tidak sekadar meriah, tetapi juga profesional. Kemudian, prestasi (baik di level klub maupun tim nasional) akan menjadi akibatnya.
Sekarang, ada satu pertanyaan yang hanya bisa dijawab para pengurus PSSI. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang ada, sebetulnya mereka ingin membawa sepakbola Indonesia ke mana?