Mau Bermain Sepakbola yang Bagaimana, Luis Milla?

Spain's coach Luis Milla gives instructions to his players during a training session at the University of Strathclyde Sportsground in Glasgow, Scotland, on July 23, 2012. Spain will play its first soccer match of the London 2012 Olympic Games against Japan on July 26, 2012. AFP PHOTO/GRAHAM STUART

Luis Milla Aspas, nama belakang beliau membuat saya teringat akan eks penyerang Liverpool yang musim ini berkilau bersama Celta Vigo, Iago Aspas.

Ia berusia 50 tahun, mantan pemain Barcelona dan Real Madrid, juga mantan pelatih timnas Spanyol U-21 yang menjuarai Piala Eropa U-21 tahun 2011. Rekam jejak yang lumayan mengilap untuk ukuran pelatih timnas di sebuah negara yang peringkat FIFA-nya berjarak 163 tangga. Spanyol di nomor 10, sedangkan negara kesayangan kita ada di angka 173.

Kalau saja ia bersama Luis Fernandez tidak masuk bursa pelatih timnas Indonesia, tidak akan ada orang di Indonesia yang menggali data untuk mencari biodata Luis Milla. Salah satu data yang cukup penting adalah ia mentas dari La Masia, akademi sepakbola yang tersohor di Catalan.

Mengingat Milla mengenyam karier sepakbola di Barcelona pada periode 1984-1990, jelas sudah bahwa ia pernah bermain di bawah asuhan Johan Cruyff dan tentu saja, berlatih dan bermain bersama salah satu pelatih sepakbola terbaik zaman ini, Pep Guardiola.

Pengaruh Cruyff dan ideologi Catalan, serta statusnya sebagai warga negara Spanyol akan memberi warna yang berbeda bagi timnas Indonesia.

Kurang lebih ia berkata, “Kita (pemain dan pelatih) harus kerja keras, dan saya akan memberikan latihan-latihan seperti gaya saya melatih Spanyol dengan gaya penguasaan bola dan juga pressing ketat.” Jawaban yang sekilas menarik untuk dibaca dan sedap betul untuk dibayangkan, bukan?

Sepakbola Spanyol adalah kombinasi permainan yang kompleks, walau sekilas, terlihat sederhana.

Apa susahnya menguasai bola? Anda tinggal mengumpan bola dengan operan pendek dan menguasai ritme pertandingan. Apa susahnya? Jawabannya, tidak ada. Dengan catatan, kalau itu dilakukan oleh tim-tim dari Spanyol.

Dari tulisan Darmanto Simaepa, kamu akan mengetahui kalau obsesi Spanyol dengan permainan sepakbola yang rancak dan indah, adalah mutlak.

Kata posesion, bagi publik Spanyol, masih menurut Darmanto, merepresentasikan pandangan orang-orang dari jazirah Iberia tentang gaya main sepakbola mereka. Posesion tidak hanya berarti ‘menguasai’ tapi juga mengandung makna ‘indah’. Itu pula alasan Spanyol mampu bermain sepakbola dengan operan pendek dalam tempo yang cepat dan terlihat nyaman.

BACA JUGA:  Aitor Karanka: Perang Informasi dan Pentingnya Persiapan

Kedatangan Johan Cruyff sedikit mengubah paradigma itu. Ia tidak menghapus gaya penguasaan bola ala Spanyol, namun membuatnya makin menakutkan dengan pemahaman tentang konsep ruang.

Muncul kemudian yang di kemudian hari kita kenal sebagai “melakukan operan pendek sembari melakukan permutasi posisi”. Dan permutasi itu, ajaibnya, dilakukan berkali-kali dalam satu pertandingan.

Spanyol tergila-gila dengan umpan-umpan pendek dan penguasaan bola, ditambah, mereka mempelajari ilmu dari Cruyff, yaitu menguasai ruang.

Maka jelas, dari medio 2008-2012, sepakbola Eropa dan dunia hanya melulu tentang timnas Spanyol. Tentang kejeniusan Xavi Hernandez dan Andres Iniesta. Tentang para penyerang hebat yang mampu memaksimalkan ruang di halfspace dan ditunjang kualias penyelesaian akhir yang ciamik seperti David Villa. Tentang krusialnya Sergio Busquets tidak lagi seperti gelandang bertahan murni laiknya Gennaro Gattuso atau Damiano Tommasi, tapi lebih kompleks lagi, ikut terlibat aktif dalam proses penciptaan peluang gol.

Spanyol, harus diakui, mengubah paradigma kita dalam melihat sepakbola.

Dan Luis Milla, jelas memiliki DNA sepakbola ala Spanyol itu di dalam darahnya. Dan ia jelas pula memiliki pemikiran baku bahwa sepakbola terbaik, adalah penguasaan bola dan pressing ketat.

Ia adalah pelatih dari generasi muda Spanyol seperti Thiago Alcantara dan Isco Alarcon yang menjuarai Piala Eropa U-21.

Namun, masalah muncul, yaitu sejak perhelatan Piala Dunia 2014, dominasi Spanyol tak lagi relevan.

Membuat Indonesia bermain seperti Spanyol tentu hak penuh Milla sebagai pelatih. Ia punya kewenangan untuk itu dan Ketua PSSI, Edy Rahmayadi sendiri pernah bilang, bahwa Spanyol akan menjadi kiblat sepakbola Indonesia.

Kalau saja pernyataan ini didengar publik pada medio Pep Guardiola masih di Barcelona dan Spanyol tengah merajai dunia bersama Vicente del Bosque, semua akan terdengar fantastis. Masalahnya, zaman tengah bergeser, dan gaya sepakbola Spanyol, tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk menang.

Ini zaman di mana sebuah usaha membangun akademi sepakbola yang matang dan berkesinambungan mampu membuahkan hasil. Anak-anak muda Jerman di Piala Dunia 2010 adalah sebagian besar dari mereka yang sukses menuntaskan hutang di 2010 dengan gelar juara dunia di 2014 usai proses yang panjang.

BACA JUGA:  Percik-percik Pemahaman: Menyoal Negative Space di Luar Lapangan

Apakah kuncinya hanya ada di gaya bermain Jerman yang taktis dan sistematis serta berdaya juang khas Panser semata? Tentu tidak. Jauh dari itu, ini masalah kesadaran akan pembinaan.

Luis Milla bisa menerapkan gaya main sesuai yang ia yakini cocok dengan ide sepakbola di kepalanya. Tapi ia perlu paham, pemain seperti Yanto Basna dan Hansamu Yama Pranata, tidak didoktrin sejak kecil bahwa bek tengah memiliki peran krusial dalam proses membangun serangan.

Milla juga perlu paham tentang pola pikir kiper di negara kita yang sesekali menganggap tendangan gawang yang bisa melewati garis tengah lapangan, walau tidak berujung pada penguasaan bola timnya, adalah hal baik.

Banyak hal-hal di sepakbola yang sebenarnya sederhana, tapi terlihat kompleks bagi timnas kita. Tentang menguasai tempo demi kepentingan taktik. Tentang fleksibilitas taktik dan pemahaman taktikal yang memadai untuk digunakan dalam banyak pertandingan. Tentang stamina dan kemampuan pemain-pemain kita dalam menekan lawan dengan garis pertahanan tinggi selama 90 menit.

Kita semua tahu, di Piala AFF 2016 kemarin, Boaz Solossa semakin kewalahannya menekan bek lawan di atas menit 70, bukan? Karena dari akarnya, kultur sepakbola di negara kita tidak mendukung harapan PSSI ketika menjadikan Spanyol sebagai kiblat.

Kalau ada yang bertanya ke saya, gaya seperti apa yang sebenarnya cocok dengan sepakbola kita, sampai Nicklas Bendtner pindah ke Barcelona sekalipun (yang mana itu hampir mustahil), saya juga kesulitan menemukan jawaban pasti.

Tidak ada yang khas dari sepakbola Indonesia. Kalau mau jujur, bahkan, negara kita ini miskin identitas perihal gaya main sepakbola.

Tapi demi kepuasan pembaca dan keberlangsungan harapan kita melihat timnas Indonesia juara, saya akan beropini dan menjawab bahwa gaya yang cocok bagi timnas Indonesia adalah gabungan gaya main dari tim rugby, Saracens F.C. dengan tim, New England Patriots.

Selamat bekerja, Senor Milla!

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.