Melepas Kepergian Adam Lallana

Kamera tak hentinya lepas dari sorot sosok Adam Lallana kala Liverpool bersua dengan Chelsea, yang sekaligus sebagai laga penutup di Anfield musim 2019/20.

Wajar saja. Dulu, Lallana dan Liverpool bagai sebuah puisi yang ditulis dengan indah oleh para Kopites. Dan pertandingan itu menjadi yang terakhir baginya di markas Merseyside Merah. Meskipun ia tidak juga dimainkan hari itu.

Kisah memang telah usai, buku sudah ditutup, dan tidak mungkin ada teriakan “Adam menggiring bola” apa lagi “gol untuk Adam Lallana!” seperti beberapa musim lalu, ketika Liverpool buntu dengan permainannya.

Narasi yang tak selalu mulus resmi menyudahi segalanya, tetapi tidak dengan ingatan bagi mereka yang sudi untuk mengenang. Terlebih, ia adalah pemain yang sempat mengisi hati Liverpudlian pada masa lalu, di mana Mane dan Salah belum singgah.

Lallana terlahir dengan sebutan pemain potensial di tanah Inggris, alih-alih julukan kaki kaca dan berbagai sindiran yang lainnya di masa kini. Bermain untuk Akademi AFC Bournemouth, pada usia yang masih belia, Southampton mengendus bakatnya.

Kompensasi untuk akademi Bournemouth tidak tanggung-tanggung, yakni 5 ribu poundsterling untuk anak usia 12 tahun. Tak sampai di sana, angka itu terus berkembang seiring kemajuan yang dihasilkan oleh dirinya di Southampton.

Entah ramuan apa yang diberikan oleh The Saints, Lallana menjadi sosok yang menakutkan pada kala itu. Pada usia 20 tahun, ia sudah merangsak masuk ke dalam posisi inti Southampton, meski harus lengser menuju kasta ketiga atau League One di akhir musim debutnya.

Pemain Southampton mungkin saja bermain setengah hati pada musim 2008/09 itu, lantaran internal The Saints sedang goyah dan mereka mendapatkan penalti poin. Lalu, David McGoldrick, pencetak gol terbanyak mereka, hengkang ke Nottingham Forest seharga 1 juta poundsterling.

Menutup celah itu, pihak The Saints tak tinggal diam, mereka membeli Ricky Lambert dari Bristol Rovers dengan biaya yang serupa. Kehadiran juru gedor anyar tersebut, menjadi tandem yang menyenangkan bagi Lallana.

Di bawah manajer Alan Pardew, mereka berdua mendapatkan caps paling banyak di liga, yakni sama-sama 44. Di musim itu, Lambert memang menasbihkan diri sebagai pemain mematikan dengan angka gol 35 di segala kompetisi.

Akan tetapi, efektifitas Lallana sebagai pelayan juga harus diperhatikan. Sebagai seorang gelandang serang, 20 gol bukanlah angka yang sedikit. Dengan skuad tersebut, Alex Oxlade-Chamberlain muda hanya dimainkan oleh Pardew sebanyak dua kali, itu pun sebagai pengganti.

BACA JUGA:  Perihal Untung dan Rugi VAR di Liga Primer Inggris

Musim berikutnya, Lee Barnard bangkit. Di sisi lain, Lambert semakin menggila. Tak bisa dipungkiri bahwa pencapaian mereka merupakan sumbangsih Lallana dengan dibantu oleh Guilherme do Prado yang baru didatangkan dari Cesena.

Lallana membukukan 10 asis di liga, dengan rataan 0,29 diseluruh kompetisi. Ia menjadi yang terbaik di skuad tersebut. Di akhir musim, The Saints juga berhak untuk promosi walau di peringkat kedua, kalah tiga poin dengan Brighton & Hove Albion.

Lallana diganjar pemain terbaik pada musim itu, yang membuat dirinya menjadi sanjungan publik Southampton. Mulusnya perjalan yang ditapaki berimbas baik untuk klub. Pada musim 2012/13, ia menginjakkan kaki di Liga Primer Inggris.

Menjabat posisi sebagai kapten, masuk dalam tim terbaik pada musim keduanya bersama pemain sekelas Eden Hazard dan Steven Gerrard, serta ditutup dengan pemanggilan oleh timnas Inggris, kurang hebat apa lagi?

Pencapaian itu membuat raksasa yang sedang tertidur lelap terpincut. Dan Liverpool menjadi destinasi selanjutnya. Bersama The Reds yang situasinya tak sebaik saat ini, perjalanan Lallana memang tidaklah mulus. Ia juga tak jadi pilihan utama Klopp akhir-akhir ini.

Akan tetapi, teringat betul tendangan setengah voli dan teriakan Lallana yang membuka baju di malam yang dingin Carrow Road. Golnya membuat Liverpool kembali unggul 4-5 dari tuan rumah, Norwich.

Ia kemudian menubruk tubuh Klopp dan kacamata yang ia kenakan menjadi korban betapa gilanya Liverpool malam itu. Tak ada target juara, hanya tiga poin yang dihasilkan, namun kegembiraannya melebihi apapun juga.

Lallana menjadi tulang punggung awal dinasti Klopp selama melatih The Reds. Walau gagal di Piala Inggris dan juga Europa League, tahun berikutnya ia menjadi nadi bagi sistem penyerangan Klopp.

Tak ayal, titel pemain terbaik Inggris tahun 2016 didapatkan olehnya. Ia berjaya di antara nama-nama besar pemain Inggris lain yang sama-sama menorehkan kejayaan pada tahun tersebut, seperti Jamie Vardy.

Lalu, kehadiran Sadio Mane di Anfield juga tampak seperti berkah tersendiri bagi Lallana. Pemain yang sama-sama dibeli dari Southampton itu memang menjadi momok bagi lawan. Ia adalah motor serangan Liverpool di sisi kanan.

BACA JUGA:  Lenyapnya “Phantom Dribble” Van Basten di Rimba Serie A

Dengan cut-inside, manuver, dan pergerakan yang sulit diantisipasi, Mane berhasil membuka ruang bagi Lallana di tengah. Agresivitas Lallana berupa kecepatan dalam penetrasi menjadi dapat ditampilkan secara sempurna sempurna.

Sejak hilangnya Phillipe Coutinho, peran Lallana hanya menjadi opsi penting bagi Klopp. Ia diplot sebagai gelandang tengah atau bisa juga dimainkan di sayap.

Namun, bumi seakan muram melihatnya pada musim 2017/18. Senjakala dirinya hadir di tengah klub yang sedang sangat bergairah. Ia memang belum habis, tetapi fisiknya berkata lain. Total, pemain kelahiran St. Albans itu hanya bermain sebanyak 15 kali pada musim tersebut.

Puncak kenangan dari sosok magis Lallana mungkin ada di Old Traffold malam itu. North-West Derby yang berkesudahan 1-1, ditutup oleh Lallana pada menit ke-85.

Melalui sayap kanan, ia merangsek masuk dari sisi kiri lawan dan menyambut umpan Andrew Robertson. Gol tercipta dan ia ingin merayakan dengan gagahnya. Namun, menariknya menengok rekor tim kemenangan beruntun di liga ingin dipertahankan dan skor masih sama kuat.

Kisahnya kemudian menemui babak akhir dan ditutup dengan perpanjangan kontrak yang tidak diberikan oleh Liverpool. Namun, Klopp pernah berjanji akan menemani Lallana hingga ada klub yang mau meminang.

Pekan lalu, Lallana memutuskan untuk berlabuh ke Brighton & Hove Albion. Dengan menulis pesan manis, ia menyampaikan rasa terima kasih kepada kedua pelatih di Liverpool yang pernah berjasa untuk perkembangan karirnya.

“Kepada Brendan Rodgers, saya akan selalu berterima kasih atas privilese yang dia berikan untuk mewakili klub ini. Kepada Jurgen Klopp juga, yang menjadi sosok lebih dari sekadar pelatih,” ujarnya

Tak ada tangis untuk kepergianmu, Lallana. Karena publik Anfield sadar bahwa ia akan kembali, entah dalam posisi, jabatan, dan kedudukan apa. Kembali sebagai seorang keluarga.

Juga, walau kini ia memakai pakaian biru, namun mata, hati, dan pikiran kami tetap menganggap bahwa Lallana selalu merah. Sampai kapan pun itu.

Bahwa seseorang yang keluar dengan hormat, tentu ia datang kembali—walau sebagai musuh pertandingan sekali pun—tetap akan mendapatkan hormat yang sama.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa