Melihat Ante Rebic yang Sesungguhnya

Melihat Ante Rebic yang Sesungguhnya

“Sejujurnya, saya tidak tahu harus berkata apa. Ia (Ante Rebic) ingin pergi karena ia akan menjadi satu-satunya penyerang yang menetap di Frankfurt. Ia berjudi, dan kalah. Hari-hari berikutnya tidak akan mudah baginya.”

Sekadar kilas balik, inilah potongan wawancara dengan Wolfgang Steubing, manajer tim dari Eintracht Frankfurt, Oktober tahun lalu tentang situasi yang dihadapi oleh Rebic di AC Milan. Akibat tidak kunjung dipercaya bermain sebagai starter, pemain berkebangsaan Kroasia itu bahkan sempat diisukan akan kembali ke Frankfurt setelah menghabiskan setengah musim saja di Milan.

Namun siapa sangka, di tengah kebangkitan yang diusung I Rossoneri, nama Rebic kembali berkibar berkat dua gol yang dicetaknya ke gawang Udinese pada pertandingan pekan ke-20 Serie A Italia musim 2019/2020.

Rebic pun berselebrasi, meski tidak sampai melompat-lompat kegirangan. Selebrasi yang sebetulnya cukup dingin untuk momen yang membuat San Siro serasa berguncang. Seperti seseorang yang telah bernafas lega setelah berhasil keluar dari segala kesulitan. Setidaknya, ia berhasil membuktikan bahwa ucapan Steubing tadi salah besar.

Musim sebelumnya, Rebic menjadi andalan lini depan Frankfurt. Di tangan pelatih Adi Hutter, Rebic membentuk trio penyerang maut bersama kompatriotnya, Luka Jovic dan penyerang asal Prancis, Sebastian Haller. Trio ini begitu menakutkan karena berhasil membukukan total 40 gol di Bundesliga Jerman pada musim 2018/2019, termasuk berhasil lolos hingga babak semifinal Liga Europa.

Akan tetapi, seperti halnya cerita-cerita klasik yang terjadi pada klub papan tengah, armada Frankfurt pun dipreteli. Jovic dibeli Real Madrid dengan harga 60 juta euro, dan Haller dilego ke West Ham United dengan nilai 40 juta euro. Luar biasa, bukan? 100 juta euro untuk dua pemain saja.

Bagi Die Adler, hal ini merupakan bisnis yang baik. Namun untuk Rebic tidak. Sebagai pemain, kehilangan rekan-rekan sehati di lini depan membuatnya kecewa. Maka ketika datang tawaran dari Milan, khususnya setelah berbicara dengan Zvonimir Boban sebagai kompatriot sekaligus sosok legenda sepak bola Kroasia yang pesonanya begitu sulit untuk diabaikan, Rebic pun memilih hengkang ke Stadion San Siro.

Rebic datang jelang penutupan bursa transfer musim panas 2019 dengan skema peminjaman dua musim dan opsi pembelian senilai 25 juta euro. Transfer ini cukup menyita perhatian. Pasalnya, Rebic disiapkan sebagai kejutan penutup yang disajikan oleh duet Boban dan Paolo Maldini setelah mereka gagal mendatangkan pemain Atletico Madrid yang semula diharapkan mampu mengisi pos trequartista, Angel Correa.

Rebic jelas tipe pemain yang berbeda jika dibandingkan dengan Correa. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi antusiasme pendukung Milan mengingat reputasi yang dimiliki pemain kelahiran kota Split tersebut.

Setahun sebelumnya, pemain bertinggi badan 185 cm ini menjadi anggota inti tim nasional Kroasia yang lolos hingga final Piala Dunia 2018. Ditambah kecemerlangan di Bundesliga dan Liga Europa musim sebelumnya, Rebic dipandang sebagai sosok kenyang pengalaman internasional meski usianya masih 26 tahun.

BACA JUGA:  Menentang Opini Arsene Wenger

Secara teknis, Rebic juga bakal berguna karena ia mampu memainkan hampir semua posisi di lini depan. Tentu saja dengan curriculum vitae yang gemilang tadi, ekspektasi tinggi langsung memenuhi pundaknya. Terlebih, sepakbola Italia bukan hal asing baginya mengingat ia pernah membela Fiorentina dan Hellas Verona.

Namun sebagaimana kita tahu, Milan menjalani awal musim yang seperti bencana. Rebic jarang dimainkan oleh Marco Giampaolo, pelatih Milan saat itu. Hingga Giampaolo dipecat pada pertengahan bulan Oktober lalu, Rebic baru memainkan tiga pertandingan berseragam I Rossoneri sebagai pemain pengganti. Hal inilah yang kemudian mengundang komentar prihatin dari Steubing, mantan bosnya di Frankfurt.

Mulai Berubah Sejak Pergantian Formasi

Nasib Rebic pun sempat terkatung-katung kala Stefano Pioli ditunjuk sebagai pelatih. Ia tidak juga mendapat kepercayaan menempati salah satu tempat di tridente lini depan Milan yang sudah disegel Hakan Calhanoglu, Krzysztof Piatek, dan Suso Fernandez. Hal ini berlangsung hingga akhir tahun 2019 dan membuatnya diisukan segera kembali ke Frankfurt.

Awan hitam mulai meninggalkan Rebic seiring kedatangan penyerang veteran, Zlatan Ibrahimovic. Kedatangan Zlatan membuat Pioli berpikir untuk menggunakan pola 4-4-2 dan ternyata di situlah Rebic dapat menyeruak sebagai kepingan penting.

Formasi 4-4-2 sejajar membutuhkan dua elemen serang yang penting yaitu penyerang kedua (second striker) yang dinamis, serta gelandang sayap yang mampu menyerang sekaligus bertahan dengan sama baiknya. Rebic memiliki segala atribut yang dibutuhkan untuk itu.

Potensi besar pemilik 3 gol bareng timnas Kroasia itu sebetulnya telah terlihat ketika ia dipasang sebagai pemain pengganti dalam laga melawan Cagliari (11/1) silam. Meski hanya bermain sebentar, namun pergerakannya yang eksplosif sebagai penyerang kedua sempat merepotkan barisan belakang Gli Isolani. Dari situlah Pioli memberikan kepercayaan kepadanya untuk menjadi starter dalam laga Coppa Italia melawan SPAL.

Meski tidak mencetak gol atau membuat asis, tetapi Rebic dipercaya bermain penuh sebagai pendamping Piatek di lini depan. Sepakbola memang tidak sekadar statistik belaka, dan dalam pertandingan ini, Rebic mampu membuktikan bahwa ia semakin dekat dengan performa terbaiknya.

Ada beberapa momen positif yang ditunjukkan Rebic, namun luput dari pencatatan data statistic. Contohnya ketika gol Piatek terjadi. Jika Anda memperhatikan proses gol tersebut, Rebic dengan cerdik mengalihkan perhatian Tiago Cionek, bek SPAL yang mengisi half-space pertahanan. Akibatnya, ketika Ismael Bennacer melepas umpan terobosan ke arah Piatek, Cionek terlanjur salah posisi karena teralihkan oleh keberadaan Rebic. Piatek pun lolos dan tinggal berhadapan dengan kiper Etrit Berisha.

Selanjutnya, Rebic juga nyaris memberi asis pada babak kedua andai penyelesaian Piatek lebih baik. Padahal, Rebic sudah meloloskan diri dari kawalan berkat kekuatan fisik yang membuatnya memenangkan duel satu lawan satu dengan Cionek.

Tambahan lagi, Rebic sempat melepas dua tendangan keras ke arah gawang, sayangnya arah tendangannya masih terjangkau oleh Berisha. Potensi besar ini jelas makin terlihat, dan sepertinya tinggal menunggu waktu saja bagi Rebic untuk benar-benar mencuri headline media.

BACA JUGA:  Aroma Amerika di Venezia

Bersinar Ketika Menghadapi Udinese

Momen itu akhirnya terjadi juga pada laga melawan Udinese, akhir pekan lalu. Rebic muncul saat Milan benar-benar membutuhkannya. I Rossoneri bermain begitu buruk pada babak pertama sehingga tertinggal satu gol. Lini tengah mereka begitu kepayahan menghadapi trio Rodrigo De Paul-Seko Fofana-Rolando Mandragora di kubu lawan. Pioli pun melihat Giacomo Bonaventura sebagai titik lemah di posisi gelandang kiri dan memutuskan untuk memasukkan Rebic.

Keberadaan Rebic membuat serangan Milan semakin tajam, karena di sisi kanan Samu Castillejo dan Andrea Conti bergantian membombardir, sedangkan Rebic Bersama Theo Hernandez menyisir sisi kiri. Hal ini juga membebaskan Rafael Leao untuk berkreasi dari wilayah tengah.

Rebic pun mampu mencetak gol pertamanya bagi Milan, hanya beberapa menit sejak menginjakkan kakinya di lapangan setelah mendapatkan umpan silang dari Conti. Setelah itu, Theo Hernandez mencetak gol kedua melalui tendangan first time yang begitu spektakuler dari luar kotak penalti.

Udinese memang memberikan perlawanan hebat melalui gol Kevin Lasagna, hingga skor kembali imbang. Namun pada momen inilah Rebic menunjukkan kualitas sebenarnya.

Ketika pertandingan memasuki menit ke-93, Rebic mendapatkan bola liar hasil giringan Zlatan yang dihadang bek Rodrigo Becao dan William Troost-Ekong. Dengan ketenangan luar biasa, Rebic mengontrol bola dalam beberapa sentuhan sebelum melepas tendangan kaki kiri ke gawang Juan Musso.

San Siro pun seperti meledak selama beberapa saat. Sekelompok penonton yang terlihat sedang menuju pintu keluar pun kembali ke tempat duduknya untuk berselebrasi dan turut meneriakkan nama Rebic yang diucapkan secara lantang oleh announcer stadion.

Rasanya, momen inilah yang mampu mengubah segala peruntungan bagi seorang Rebic. Meski membutuhkan waktu yang cukup lama, namun pada akhirnya Milanisti mampu melihat Rebic yang sesungguhnya.

Memang tidak ada jaminan bahwa sosok setinggi 185 sentimeter itu akan mengulangi performa seperti ini dalam pertandingan-pertandingan ke depan. Namun dengan kepercayaan diri yang mulai datang, akan datang pula kepercayaan dari Pioli untuk terus menurunkannya, baik sebagai gelandang sayap maupun penyerang.

Kecepatan, kekuatan, kengototan, dan penyelesaian akhir yang akurat dari Rebic dapat menjadi senjata baru bagi lini depan Milan yang sebelumnya amat miskin kreasi dan ketajaman.

Sekali lagi, dalam sepak bola memang tidak ada kepastian mutlak. Mengusung euforia berlebihan pun bukan sikap yang bijak, apalagi baru sekali ini saja Rebic menunjukkan kemampuan terbaiknya.

Seorang Nikola Kalinic pun pernah mencetak dua gol ke gawang Udinese ketika berbaju Milan, namun selanjutnya ia melempem hingga akhir musim. Semoga saja nasib Rebic tidak seburuk kompatriotnya itu, karena tentunya ia memiliki potensi yang lebih besar di tangan pelatih yang sudah tahu cara memanfaatkan kelebihannya.

Komentar
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast