Novel Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle selalu menyuguhkan aksi menarik di dalamnya. Holmes dikisahkan sebagai detektif cerdik yang mampu menyelesaikan berbagai misteri kriminal.
Bahkan ciri khasnya menggunakan kaca pembesar dalam melakukan penyidikan sempat menjadi inspirasi besar bagi dunia forensik di Inggris. Tak ayal jika cerita mengenai Holmes diangkat ke layar lebar dan juga ada yang dalam versi serial di televisi.
Tapi, Holmes yang diceritakan tetap-lah seorang manusia. Prinsip makhluk hidup sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan memang benar adanya.
Holmes mengandalkan Dr. Watson sebagai partner utamanya dalam memecahkan misteri. Kedua sahabat yang tinggal di Baker Street adalah dua entitas yang tak bisa dipisahkan.
Holmes tak akan mampu membuat kesimpulan yang tepat tanpa dokumen akurat yang dibuatkan Watson. Intinya, keduanya saling membutuhkan dalam melakukan pekerjaan dengan porsinya masing-masing.
Hal yang sama terjadi di Jerman. Juergen Klopp dianggap sebagai salah satu juru taktik jenius berkat karya indahnya bernama yang bernama Gegenpressing. Taktik yang membuat beberapa tim besar Eropa mati kutu saat Klopp menuai kesuksesan bersama Dortmund. Namun hal itu tak serta merta menjadikan Klopp sosok yang sempurna sebagai pelatih.
Klopp seolah menjadi Holmes yang jenius, cerdik dan eksentrik dengan kacamata serta topi khasnya. Sementara Zeljko Buvac datang sebagai sosok yang memiliki tempat spesial di hati Klopp.
Sebenarnya, selain Buvac, Klopp juga membutuhkan Peter Krawietz sebagai salah satu dari backroom stafnya. Namun mantan video analyst Dortmund itu tak memiliki kedekatan yang lebih dengan Klopp daripada Buvac. Terlebih lagi, Buvac dan Klopp sama-sama merupakan mantan pemain Mainz.
Rasa sayang Klopp terhadap Zeljko Buvac cukup besar. Ada pun ketergantungan akan kebutuhan taktiknya yang (mungkin) hanya bisa dipenuhi oleh pria asal Bosnia. Mungkin Klopp tersihir dengan rambut panjang nan eksotis yang dimiliki Buvac. Ah lupakan, rambut Buvac tidak sebagus rambut Raisa yang pasti.
Buvac adalah partner setia Klopp semasa ia memulai karir kepelatihan di Mainz. Mungkin tanpa Buvac, Klopp tak akan sukses membangun gegenpressing dengan baik kala di Dortmund. Perannya sebagai assisten pelatih sangat membantu memahami visi taktikal yang diinginkan Klopp. Atas etos kerjanya, Klopp memberikan sebuah julukan bagi Buvac yang memang mungkin terdengar agak overrated di mata orang lain.
“Zeljko is a football genius, a master of every practice drill,” Klopp says of his close friend, while Lambert called the 54-year-old: “Very quiet, but excellent. I can understand why Jurgen calls him that [‘The Brain”]. I have seen him working; he does not say much, but is very astute on the game.”
Kini keduanya akan memulai petualangan baru di Liverpool. Seperti Watson dan Holmes yang selalu berpasangan dalam menyelesaikan misteri, kemampuan Klopp dan Buvac akan diuji di ranah Inggris untuk mencari tahu performa buruk Liverpool pada awal musim atau malah beberapa musim belakangan ini. Sungguh sulit. Inggris adalah tempat yang dibilang tidak bersahabat bagi segelintir manajer yang ingin mencari kesuksesan.
Hal pertama yang akan dilakukan keduanya untuk memecahkan masalah di skuat The Reds yakni melakukan survey skuat Liverpool. Melwood menjadi TKP pertama penyidikan Klopp dan Buvac. Keduanya bisa jadi memilah pemain mana yang akan cocok dengan gegenpressing yang bakal diterapkan. Nama pertama yang berpotensi tersingkir adalah Lucas Leiva.
Performa Lucas musim ini bisa dibilang angin-anginan. Dengan gegenpressing yang mengharuskan setiap individu di dalam tim melakukan pressing kepada lawan, rasanya mustahil melihat Lucas melakukan hal tersebut. Pergerakan Lucas dinilai sudah melambat. Semua Kopites pasti menangis ketika melihat Lucas menjadi korban sasaran empuk lawan dalam melakukan serangan.
Nama kedua jatuh kepada Dejan Lovren. Debut indah Lovren kontra Dortmund dua musim lalu tampaknya tak akan berhasil membuat hati Klopp luluh. Mulai sekarang Lovren mesti gencar mencari sex tape dari Klopp untuk mendapatkan jaminan bermain tiap pekannya. Akan ada dua pilihan yang ditawarkan Klopp untuk Lovren: Pergi atau jangan membuat blunder lagi.
Usai mengintrospeksi kedua nama di atas ada satu nama yang membuat Klopp dan Buvac bertanya-tanya. Orang itu tak lain tak bukan adalah Joe Allen. Pemain internasional Wales adalah warisan emas yang ditinggalkan Brendan Rodgers di skuat Si Merah saat ini.
Merujuk kepada double pivot dengan mengandalkan power dan daya jelajah tinggi yang menjadi kesukaan Klopp sewaktu di Dormund, sepertinya Joe Allen tak masuk ke dalam kriteria tersebut. Gaya bermain Allen tampaknya tak akan disukai Klopp. Emre Can dan James Milner/Jordan Henderson yang berpotensi menjadi pilihan utama sebelum Klopp membeli gelandang baru musim depan.
Penulis pun tidak bisa membayangkan percakapan apa yang akan terjadi di antara ketiga orang ini saat saling berhadapan.
“Buvac, siapa pemain brewok ini? Andrea Pirlo wanna be?”
“Itu Joe Allen, bos. Pemain kesayangan pelatih sebelumnya. Dulu gaya bermainnya sempat disamakan dengan Xavi Hernandez karena kemampuan passingnya yang bagus. Umpannya bagus sayang tapi sayang kekuatannya lemah.”
“Persetan, masukkan dia ke daftar jual untuk modal membeli Reus musim depan.”
Di sisi lain, rasanya tak seru jika Holmes tak memiliki musuh yang sama cerdiknya. Maka dari itu Sir Arthur Conan Doyle menghadirkan Professor Moriarty sebagai saingan dari Holmes. Kemampuan analisa Moriarty diceritakan sama hebatnya dengan Holmes.
Begitu pun dengan Klopp, kita belum tahu siapa yang akan menjadi Moriarty untuk memberikan persaingan baginya di EPL. Menurut Anda siapa yang pantas? Siapa pun itu Klopp tak akan menghadapinya sendiri karena ia memiliki Buvac sebagai otaknya.
Pada akhir percakapan ketiga orang tadi, Joe Allen memberikan pembelaan mengenai dirinya. “Maaf, Bos. Tapi saya di sini akan berjuang untuk skuat utama karena saya selalu menampilkan karakter yang bagus setiap pekannya. Pelatih lama tahu itu.”
Well done, Allen.