Menantikan (Kembali) Wakil Italia di Final Liga Europa

Aksi Ronaldo Luis Nazario de Lima yang meliuk-liuk melewati Luca Marchegiani pada menit ke-70 Piala UEFA 1998 menjadi salah satu momen terindah dalam pertandingan tersebut. Di samping hasil akhir yang cukup mencolok (Internazionale mengandaskan Lazio dengan skor akhir 3-0), laga ini juga menandai pertama kalinya partai puncak gelaran Piala UEFA digelar di tempat netral dan hanya berlangsung dalam satu pertandingan.

Perlu diketahui, sejak dihelat pada tahun 1971, kompetisi kasta kedua sepak bola antarklub di Eropa ini selalu menggelar partai final dengan sistem home and away (kandang-tandang). Italia pun patut berbangga karena menjadi negara pertama yang mengirimkan dua wakilnya sekaligus pada final bersejarah yang dihelat di stadion Parc des Princes, Paris tersebut.

Setahun berselang, giliran klub Italia lainnya, Parma, yang memberi kebanggaan kepada negara asal Paolo Maldini ini setelah pada partai final berhasil menenggelamkan Olympique de Marseille dengan skor serupa dengan Internazioale musim sebelumnya. Raihan Parma tersebut sekaligus menjadi raihan terakhir yang bisa ditorehkan wakil negeri pizza di ajang Piala UEFA (kini sudah berganti nama menjadi Liga Europa) hingga sekarang. Sejak Nestor Sensini dkk. mengangkat trofi tersebut, belum ada lagi tim asal Italia yang bisa menjuarai atau bahkan untuk sekedar tampil di partai final sekalipun. Prestasi terbaik diraih Juventus pada musim 2013/14 yang lalu saat mampu mencapai babak semifinal sebelum akhirnya dihentikan oleh wakil Portugal, Benfica. Hal tersebut sangat disayangkan mengingat partai puncak Liga Europa musim tersebut digelar di stadion milik Juventus, Juventus Stadium.

Pada musim 2014/15 ini, sudah ada dua wakil Italia yang menyamai pencapaian Juventus pada musim lalu. Kedua tim tersebut, SSC Napoli dan Fiorentina, akan berhadapan dengan Dnipro Dnipropetrovsk dan Sevilla pada babak semifinal. Tak menutup kemungkinan, salah satu atau malah kedua tim ini bisa melangkah ke babak final dan mengulangi skenario final tahun 1998 maupun 1999.

Hadirnya klub-klub Italia di semifinal Liga Europa dalam dua musim terakhir seolah memberikan sinyal akan kebangkitan wakil dari negara juara dunia empat kali ini di kancah antarklub Eropa, khususnya pada ajang Liga Europa. Suka tidak suka, Italia masih menjadi penguasa di ajang ini di mana wakil mereka total sudah meraih sembilan gelar, unggul atas wakil dari Spanyol, Inggris maupun Jerman yang masing-masing meraih delapan, tujuh dan enam buah gelar.

Bukan itu saja. Dua klub raksasa mereka, Juventus dan Internazionale, masih memegang rekor sebagai klub dengan jumlah trofi terbanyak di kejuaraan ini (bersama dengan Liverpool dan Sevilla), masing-masing dengan raihan tiga gelar juara.

Melihat fakta-fakta tadi, wajar jika tepercik sebuah Tanya, “Ke mana saja perginya tim-tim Italia di kancah Piala UEFA/Liga Europa selama sedekade lebih ini?”

Bila kita runut ke belakang, tepatnya pada akhir dasawarsa 1980-an hingga akhir 1990-an, terlihat betapa dominannya tim-tim Italia di kejuaraan yang pada edisi perdananya dimenangkan oleh tim dari Inggris, Tottenham Hotspur ini. Dari tahun 1989 s/d 1999, perwakilan mereka selalu hadir (minimal satu) di partai puncak, kecuali pada tahun 1996. Dalam rentang waktu tersebut, wakil Italia sukses menggondol gelar juara sebanyak delapan kali (1989, 1990, 1991, 1993, 1994, 1995, 1998, dan 1999). Dari 10 partai final yang melibatkan klub-klub Italia, empat di antaranya bertajuk all-Italian final (1989/90 Juventus-Fiorentina, 1990/91 Internazionale-Roma, 1994/95 Parma-Juventus dan 1997/98 Internazionale-Lazio), yang mana merupakan jumlah terbanyak untuk final antara klub senegara pada ajang UEFA Cup/Europa league hingga kini.

Hanya pada tahun 1992 dan 1997 wakil mereka gagal menunaikan misi tatkala Torino dan Inter harus takluk atas lawannya di partai final pada saat itu, yakni dari Ajax Amsterdam dan Schalke 04. Sedangkan tahun 1996 akan diingat sebagai satu-satunya tahun kegagalan anggota mereka untuk hadir di final dalam periode 11 tahun yang penuh kegemilangan itu.

Bisa dibilang, dekade 1990-an adalah era keemasan bagi sepak bola Italia. Klub-klub mereka berprestasi di kejuaraan antarklub Eropa, baik itu di ajang Liga Champions, Piala UEFA, maupun Piala Cup Winners. Pemain-pemain kelas dunia pun silih berganti datang ke Serie A, mulai dari Ronaldo, Gabriel Batistuta, Pavel Nedved, sampai Juan Sebastian Veron.

Namun, awal dekade 2000-an kemudian seperti menjadi awal kehancuran bagi sepak bola Italia. Krisis keuangan yang menimpa klub-klub besar seperti Fiorentina, Lazio dan Parma memaksa mereka untuk melepas pemain-pemain bintang yang dimiliki untuk menutupi segala utang yang menumpuk.

Sementara klub-klub Italia sibuk mencari cara untuk tetap bisa eksis, klub-klub di liga Inggris, Spanyol maupun Jerman malah tumbuh pesat baik dari kualitas tim maupun dari sisi finansial. Hal inilah yang menyebabkan kedigdayaan Calcio akhirnya terpinggirkan oleh perubahan signifikan dari para pesaing mereka.

Kasus pengaturan skor (baik itu Farsopoli maupun Calcioscommese), rasisme, hingga kerusuhan suporter semakin memperparah keadaan sepak bola Italia itu. Para pemain bintang pun jadi enggan untuk bermain di kompetisi yang sempat dilabeli liga terbaik pada masa jayanya ini. Bahkan, bintang-bintang lokal mereka seperti Marco Verratti dan Salvatore Sirigu malah memutuskan untuk hijrah dari negaranya sendiri.

Hal-hal tersebutlah yang sekiranya berperan besar atas menurunnya prestasi tim-tim Italia di kancah kompetisi Eropa belakangan ini. Namun, bila kita bicara dalam konteks penurunan pada ajang Liga Europa, maka perhatian besar harus kita arahkan kepada orientasi klub-klub itu sendiri terhadap ajang ini.

Harus diakui, ajang ini memang kalah kelas dari Liga Champions, baik dari segi pendapatan, tim-tim peserta, maupun perhatian publik dan media. Sulit bagi kita untuk melihat pemain sekaliber Cristiano Ronaldo ataupun Lionel Messi untuk bisa tampil di ajang ini, kecuali kalau klub mereka sedang mengalami nasib yang begitu nahas.

Walaupun format dan nama kompetisi ini sudah berubah sejak musim 2009/10, tetap saja terlihat kesenjangan yang cukup menganga di antara Liga Champions dan Liga Europa. Padahal, dulunya Piala UEFA sempat menjadi ajang yang amat bergengsi, yakni ketika mereka yang lolos ke Piala Champions hanyalah para juara liga dan mereka yang lolos ke Piala UEFA adalah para runner-up.

Agaknya, hal ini yang membuat tim-tim Italia seperti ogah-ogahan untuk mengerahkan segala kemampuan mereka untuk habis-habisan di ajang Liga Europa. Bisa dilihat dari pemain-pemain yang diturunkan, klub-klub Italia lebih kerap menurunkan pemain-pemain lapis kedua. Ajang Liga Europa, bagi klub-klub Italia, tak ubahnya seperti Coppa Italia yang gengsinya tak seberapa dibanding Serie A.

Dengan kebijakan seperti itu, tak heran bila wakil-wakil Italia kemudian rontok di babak awal. Tak jarang pula, mereka harus tersingkir dari klub-klub yang di atas kertas seharusnya mampu mereka atasi. Maka jangan kaget bila koefisien liga mereka sekarang sudah berada di bawah liga-liga saingan mereka tadi. Perlu diingat bahwa hasil yang diraih di Liga Europa juga berperan dalam menentukan koefisien liga. Untuk itu, sudah saatnya bagi tim-tim Italia untuk lebih serius di ajang ini. Jika masih menganggap enteng, koefisien liga mereka bisa semakin tercecer ke bawah dan terbalap oleh liga lainnya.

Akan tetapi, tampaknya keseriusan sudah mulai diperlihatkan oleh para wakil Italia pada musim ini. Empat wakil yang tampil di babak grup berhasil lolos ke babak 32 besar, di mana tiga di antaranya melaju dengan status juara grup (Internazionale di grup F, Napoli di grup I dan Fiorentina di grup K) dan hanya meninggalkan Torino yang maju ke babak selanjutnya sebagai runner-up grup B.

Pada babak 32 besar, wakil mereka bertambah satu lagi setelah klub asal ibukota, Roma, tersingkir dari fase grup Liga Champions. Roma hanya mampu menempati posisi ketiga di klasemen akhir grup Liga Champions dan harus melanjutkan musim sebagai peserta tambahan babak 32 besar Liga Europa. Kehadiran lima klub Italia sekaligus di babak 32 besar menjadi rekor tersendiri di ajang ini.

Seakan masih ingin bernostalagia di ajang yang penuh kenangan ini, kelima klub tadi sukses menumbangkan lawan-lawannya di babak 32 besar dan berkesampatan menginjakkan kaki di babak 16 besar. Barulah di babak ini wakil mereka mulai berguguran. Internazionale dipulangkan oleh klub Bundesliga, VfL Wolfsburg, Torino dihempaskan wakil Rusia, Zenit Saint Petersburg, sementara Roma harus mengakui ketangguhan sesama klub Serie A, Fiorentina. Akhirnya, Italia pun hanya menyisakan Fiorentina dan Napoli sebagai wakil pada babak perempatfinal.

Walau cuma berdua, nyatanya duo ini sanggup melewati rintangan di babak ini dan berkesempatan untuk tampil di babak semifinal. Lawan mereka pada babak yang krusial ini tentunya bukan lawan yang sembarangan. Sevilla, wakil La Liga, statusnya adalah juara bertahan dan merupakan salah satu dari empat klub pemegang trofi terbanyak di ajang Liga Europa. Apalagi, tim asal Andalusia ini memiliki catatan impresif di mana dari tiga babak semifinal yang telah dilakoni, ketiga-tiganya berakhir dengan kelolosan ke babak final dan sukses menjadi juara. Mereka tentunya ingin mempertahankan gelar dan meraih gelar keempatnya sekaligus mengukuhkan diri sebagai penguasa tunggal ajang Liga Europa.

Sementara itu, wakil Ukraina, Dnipro Dnipropetrovsk bisa dibilang merupakan kuda hitam di musim ini. Keberhasilan mereka menyingkirkan Olympiakos, Ajax dan Club Brugge di fase knock-out menjadi bukti yang tidak dapat disembunyikan lagi. Mereka tentu ingin mengikuti jejak CSKA Moscow, Zenit Saint Petersburg dan Shakhtar Donetsk sebagai klub dari Eropa Timur yang sukses menjuarai kompetisi ini.

Tugas yang diemban Napoli dan Fiorentina untuk membawa kejayaan (lagi) bagi Italia di ajang Liga Europa tentu tidak mudah. Dengan mempertimbangkan lawan dari Fiorentina yang jauh lebih sulit ketimbang Napoli (Fiorentina harus berhadapan dengan Sevilla), harapan besar dialamatkan kepada Partenopei. Mengingat status mereka sebagai tim “buangan” dari Liga Champions, meraih gelar Liga Europa bisa menjadi pelipur lara atas kegagalan melaju ke fase grup Liga Champions pada awal musim.

Motivasi dari kubu Napoli semakin berlipat karena bagi allenatore mereka, Rafael Benitez, jika ia mampu membawa pasukannya ke tangga juara, ia akan menyamai rekor Giovanni Trapattoni sebagai pelatih yang paling banyak menjuarai kompetisi ini. Mr. Trap – julukan Trapattoni – sendiri sudah menjuarai ajang sebanyak tiga kali, bersama Juventus (dua kali) dan Internazionale (satu kali). Selain itu, apabila Rafa berhasil, ia tidak hanya akan selevel dengan Mr. Trap, tapi ia juga akan menjadi pelatih pertama yang sukses menjuarai Liga Europa dengan tiga tim yang berbeda (sebelumnya bersama Valencia pada tahun 2004 dan Chelsea pada tahun 2013).

Baik Napoli maupun Fiorentina akan berjuang keras agar mampu berprestasi maksimal di edisi Liga Europa musim ini. Napoli ingin menambah jumlah gelar mereka menjadi dua (setelah yang pertama di musim 1988/89) dan Fiorentina tentunya berhasrat untuk meraih titel pertamanya setelah pada kesempatan pertama harus gagal setelah ditaklukkan oleh Juventus di final musim 1989/90.

Selain itu, mulai musim ini, pemenang Liga Europa akan berkesempatan untuk lolos ke Liga Champions musim depan, dengan catatan tim yang juara tidak berhasil masuk ke Liga Champions lewat jalur liganya masing-masing. Di Serie A musim ini, Napoli dan Fiorentina masih harus berjuang keras untuk mampu menembus tiga besar. Ajang Europa League bisa menjadi cara alternatif bagi keduanya apabila gagal di jalur domestik.

Kemudian, akan ada keuntungan tersendiri bagi sepak bola Italia jikalau ada wakilnya di musim ini yang berhasil menjadi juara Liga Europa. Selain akan menambah jumlah gelar Piala UEFA/Europa League menjadi sepuluh gelar, wakil mereka di Champions League musim depan pun bisa bertambah menjadi empat tim. Jika kedua wakil mereka bisa melaju ke babak final, all-Italian final kelima pun akan terwujud.

 

Komentar

This website uses cookies.