Menerka Wajah Fans Liverpool

Akting memukau Joaquin Phoenix saat memerankan tokoh antagonis, Joker, pasti terekam dengan brilian di memori para penikmat film. Hal itu juga yang membuat film garapan Todd Phillips tersebut menjadi raja di box office.

Film berdurasi 122 menit itu mengungkap bagaimana Arthur Fleck mengejar cita-citanya menjadi seorang pelawak. Alih-alih sukses, mimpi Arthur malah jauh panggang dari api. Bahkan di salah satu scene, Arthur terlihat menangis kendati wajahnya dipoles dengan riasan badut tertawa.

Sebelum Liga Inggris mengadakan syukuran untuk mengubah namanya jadi Liga Primer Inggris pada awal 1990-an silam, Liverpool adalah penguasa kompetisi dengan torehan 18 gelar. The Reds seperti mobil balap super kencang yang jauh meninggalkan para pesaingnya.

Akan tetapi, era Liga Primer Inggris bak sebuah malapetaka untuk mereka. Kesuksesan seolah enggan menghampiri Stadion Anfield, markas angker kepunyaan Liverpool.

Selama tiga dekade pamungkas, The Reds dan seluruh pendukungnya di muka Bumi hanya sanggup melihat tim-tim lain seperti Arsenal, Chelsea, Manchester City dan Manchester United bergantian memeluk trofi. Tim sekelas Blackburn Rovers dan Leicester City bahkan sudah lebih dahulu merasakan nikmatnya mengangkat trofi Liga Primer Inggris di pengujung musim.

Sebenarnya, Liverpool beberapa kali punya kesempatan untuk menahbiskan diri sebagai yang terbaik di Liga Primer Inggris. Namun takdir justru mendekatkan mereka dengan kesialan yang bahkan terlihat sangat komikal.

Di bawah arahan Gerard Houllier dan Phil Thompson pada musim 2001/2002, Liverpool menunjukkan performa yang elok meski dihajar dua kekalahan di tiga partai awal Liga Primer Inggris.

Dibantu penampilan menawan Michael Owen yang sangat subur dalam urusan mencetak gol, The Reds menyemai asa meraih titel. Namun nahas, hasil imbang kontra Everton dan kekalahan dari Tottenham Hotspur jelang kompetisi selesai membuyarkan skenario juara Liverpool. Arsenal jadi tim yang tertawa puas belakangan.

Saat ditukangi Rafael Benitez di musim 2008/2009, Liverpool tampil gagah dan melaju kencang di papan atas. Mereka jadi kesebelasan yang sangat agresif dengan menggelontorkan gol paling banyak. Sepanjang musim, The Reds cuma kalah dua kali.

Tatkala semua tampak meyakinkan, Steven Gerrard dan kolega justru punya masalah di dalam diri mereka sendiri. Liverpool punya kecenderungan inkonsisten dan membuang banyak poin saat berjumpa tim-tim yang di atas kertas, bisa mereka taklukkan. Mimpi juara pun musnah di pengujung kompetisi sebab mereka hanya finis di peringkat dua, di bawah United.

Musim 2013/2014, kali ini di tangan Brendan Rodgers, Liverpool kembali menyengat dengan tajamnya duo Daniel Sturridge dan Luis Suarez. Memeluk trofi kampiun bak mimpi yang siap jadi kenyataan.

Realitanya? kegagapan kembali mengganggu The Reds. Semua pihak tentu ingat bagaimana Gerrard terpeleset secara ‘fantastis’ di partai melawan Chelsea pada pekan ke-36 dan akhirnya mereka pun tumbang. Keharusan bangkit di laga selanjutnya melawan Crystal Palace juga berakhir durjana sebab keunggulan 1-3 sampai menit ke-80, luluh lantak gara-gara sepasang gol Dwight Gayle sehingga skor akhir menjadi 3-3. Trofi Liga Primer Inggris pun melayang ke kubu City.

Bergeser ke musim 2018/2019 kemarin, segala pembenahan yang Liverpool butuhkan, dikerjakan secara intensif. Jürgen Klopp sebagai juru taktik pun siap dengan formula terbaiknya.

Ciamiknya penampilan The Reds bikin mereka terus ada di papan atas. Namun lagi-lagi, penyakit bernama inkonsistensi menggerogoti dari dalam. Di sejumlah partai yang sepatutnya bisa dimenangkan, Liverpool malah kehilangan angka. Alhasil, gelar juara melayang karena selisih sebiji angka dengan sang pemuncak, City.

Seabrek kegagalan itu mendatangkan olok-olok dari suporter rival. Mereka selalu menganggap jika Liverpool adalah badut nan komikal di Liga Primer Inggris. Belum ada satu kesebelasan pun yang mampu menyaingi The Reds perihal ini.

Saya memiliki kawan bernama Ibnu. Sepanjang bergaul dengannya, saya mengetahui jika ia adalah fans garis keras dari sebuah klub di Italia yang bukan Juventus. Namun pada akhirnya, saya tahu jika ia juga menggemari Liverpool.

Capaian apik The Reds di Eropa dalam beberapa musim terakhir dan aksi menawan yang mereka tunjukkan di awal musim ini bikin Ibnu semakin berani menepuk dada. Apakah suporter Liverpool yang lain juga seperti ini?

Ibnu telah berubah. Seolah terlahir kembali, ia tak lagi malu mengaku sebagai Kopites. Ibnu tak ragu menyerang sana-sini, mencibir dan menghina rival, terutama fans United seperti saya, yang lebih sering bersembunyi di goa karena performa timnya amburadul.

Berkaca pada penampilan Liverpool di Liga Primer Inggris sejauh ini, wajar kalau optimisme menggeliat di dada suporternya. Namun berbeda dengan sebelumnya, faktor mental bisa jadi penentu nasib mereka di akhir kompetisi. Siapa yang bisa menduga jika kaki-kaki para penggawa yang saat ini lincah dan kuat justru berat dan lunglai jelang garis finis?

Tepat 30 tahun berlalu sejak terakhir kali Liverpool merangkul gelar liga. Kini, semuanya tampak mendukung mereka, pun begitu dengan semesta. Salah satu buktinya adalah The Reds tetap bisa menang meski tidak bermain sebaik biasanya. Hal ini, kadang menjadi syarat mutlak untuk beroleh status terbaik.

Buat saya, pendukung Liverpool mirip dengan sosok Joker. Mereka adalah orang-orang sendu yang menutupi wajahnya lewat riasan badut tertawa. Raihan Piala FA, Piala Liga atau Liga Champions memang amat membanggakan, tapi dahaga puluhan tahun akan gelar Liga Primer Inggris merupakan hal yang tak bisa mereka sembunyikan.

Saya pun menaruh penasaran yang besar dengan hasil akhir Liga Primer Inggris musim 2019/2020. Akankah fans Liverpool menghapus riasannya untuk kali pertama sepanjang sejarah atau riasan badut tertawa itu semakin ditebalkan guna menutupi kesenduan akut dari wajah mereka?

 

Komentar

This website uses cookies.