Mengenal Cedera dalam Futsal

Pada 18 hingga 25 Mei 2015 yang lalu, bertempat di Gelanggang Olahraga (GOR) Amongrogo dan GOR Pangukan, Yogyakarta, berlangsunglah Futsal Super League (FSL) seri II Grup A. Tim-tim yang tergabung dalam grup ini cukup terkenal di kalangan pecinta futsal, yaitu Libido Bandung, Electric PLN Jakarta, Pingdus, Jaya Kencana, Futsal Kota Bandung, Bie The Great, Swap Jakarta, dan Brilyan Sportindo. Pemain-pemain yang berlaga juga banyak yang sudah menjadi buah bibir seperti si kembar Ekapong dan Ekkaphan Suratsawang (Electric PLN) yang merupakan pemain tim nasional (timnas) Futsal Thailand, Bayu Saptaji (Libido) yang pernah bermain dan juara di Liga Futsal Tiongkok bersama Dalian Yuan Dinasty dan Adriansyah Runtuboy (Pingdus) yang baru berusia 18 tahun namun sudah menjadi pemain terbaik di Rafhely Specs Cup 2015. Turnamen ini semakin meriah karena ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Penunjukan Yogyakarta sebagai tempat penyelenggaraan FSL Seri II seakan mengafirmasi bahwa kota ini memang menjadi daerah potensial untuk pengembangan futsal. Di kota gudeg ini kita bisa melihat banyak sekali lapangan futsal bertebaran seperti jamur di musim hujan. Maraknya permainan futsal, barangkali adalah dampak dari semakin sedikitnya ruang dan lapangan untuk bermain sepak bola, sehingga futsal pun menjadi alternatif. Namun, meski sudah sering dimainkan, banyak para pelaku futsal yang belum mengetahui risiko-risiko yang mungkin terjadi ketika bermain futsal. Padahal, futsal bisa mengakibatkan cedera ringan mulai dari memar akibat benturan, patah tulang seperti yang pernah saya rasakan, sampai dengan kematian seperti yang dialami almarhum Basuki dan Adjie Massaid.

FIFA Medical Assesment and Research Center (F-MARC) juga mengatakan bahwa literatur ilmiah mengenai futsal belum sebanyak sepak bola, meskipun animo terhadap futsal semakin meningkat. Padahal, pemain profesional yang terdaftar di situs resmi FIFA saja mencapai 1 juta orang. Atas dasar ini, pada tahun 2010 lalu lembaga yang dipimpin oleh Jiri Dvorak, seorang dokter dari Republik Ceska, melakukan sebuah studi retrospektif untuk mengenali pola-pola cedera pada futsal. Studi berjudul Injury Risk of Playing Football in Futsal World Cup tersebut menggali kembali cedera-cedera yang terjadi pada tiga edisi Piala Dunia Futsal sebelumnya yang masing-masing berlangsung pada 2000, 2004 dan 2008.

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang cedera dalam futsal, ada baiknya kita mengenal lebih dulu beberapa perbedaan antara futsal dan sepak bola.

Tabel 1. Beberapa perbedaan peraturan antara sepak bola dan futsal

Melalui perbedaan-perbedaan di atas, kita bisa melihat bahwa futsal dimainkan dalam luas lapangan yang lebih sempit daripada sepak bola. Dampaknya, karakter permainan pun pasti akan berbeda. Dalam sebuah studi berjudul Match Demands of Professional Futsal, Alvarez J. C. menyimpulkan satu hal, bahwa futsal merupakan olahraga dengan intensitas sangat tinggi karena menuntut pemainnya untuk melakukan sprint lebih sering, berbeda dengan sepak bola di mana sprint hanya mendapat sekitar 5% dari total distance covered seorang pemain, sementara 20% lainnya bersifat lari cepat dan 75% sisanya berjalan atau jogging.

Kembali kepada studi yang dilakukan oleh Jiri Dvorak tadi, hasilnya ternyata tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara sepak bola dan futsal dalam hal mekanisme dan lokasi anatomi terjadinya cedera.

Jenis mekanisme cedera dalam futsal

 

Seperti halnya sepak bola, futsal juga masih didominasi oleh cedera akibat benturan. Dalam publikasi berjudul Injuries and Illnesses of Football Players During the 2010 FIFA World Cup disebutkan bahwa dalam tiga edisi Piala Dunia terakhir (2002, 2006 dan 2010) masing-masing berturut-turut insidensi cedera akibat benturan adalah 73%, 73% dan 64%.

Lokasi anatomi terjadinya cedera dalam futsal

Dari gambar di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hampir semua area tubuh rentan mengalami cedera ketika bermain futsal. Sementara bagian paling sering mengalami cedera adalah alat gerak bawah, terutama sekali lutut, paha, engkel dan otot betis. Hal ini tidak berbeda dengan sepak bola di mana lokasi anatomi itu jugalah yang paling rentan mengalami cedera.

Hasil studi ini mengonfirmasi bahwa, meskipun memiliki banyak aturan dan intensitas permainan yang berbeda, sebenarnya pola cedera dalam futsal dan sepak bola hampir sama. Hanya saja, intensitas yang lebih tinggi pada futsal, di mana sprint lebih banyak dilakukan, membuat para pemain harus lebih waspada untuk memilih futsal sebagai recreational sport. Saat melakukan sprint, otot-otot membutuhkan banyak oksigen untuk memproduksi energi. Oksigen tersebut diperoleh dari darah yang dipompa oleh jantung. Semakin sering sprint, semakin cepat pula jantung memompa untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Celakanya, apabila seseorang tersebut jantungnya tidak terlatih, maka jantung akan kepayahan untuk memenuhi kebutuhan otot, sehingga bisa saja berujung pada serangan jantung, seperti yang dialami Basuki dan Adjie Massaid.

 

Komentar

This website uses cookies.