Mengingat Kembali Petrokimia Putra: Juara Tanpa Mahkota Ligina Pertama

Jauh sebelum gegap gempita Indonesia Super League (ISL), ada suatu liga yang tak kalah meriah. Liga Indonesia (Ligina) dulu merupakan liga kasta tertinggi yang sempat memperoleh sponsor utama pabrik rokok dan bank nasional.

Musim 1994/1995 adalah musim pertama Ligina bergulir. Setelah sebelumnya ada dua kompetisi, yakni Perserikatan yang amatir dan Galatama yang semi-profesional. PSSI melakukan gebrakan dengan menyatukan kompetisi tersebut dalam tajuk Liga Indonesia.

Penyatuan liga yang menurut Akmal Marhali adalah dosa terbesar dari PSSI.

Petrokimia Putra Gresik adalah klub eks Galatama yang tampil di Ligina. Bersama Persegres Gresik, mereka bahu membahu demi nama Gresik.

Skuat Petrokimia Putra jelas lebih mentereng jika dibandingkan saudara tuanya. Jacksen F. Tiago, Widodo Cahyono Putro, dan Carlos De Mello adalah nama-nama tenar yang bermain di Petrokimia Putra.

Perjalanan Petrokimia Putra menembus final tidak mudah. Sebelum kedatangan Jacksen dan Carlos De Mello, Petrokimia Putra, tak jauh berbeda dengan saudara tuanya, Persegres.

“Setelah masuknya Jacksen dan Carlos (Carlos De Mello), permainan kita membaik dan bahkan menjadi juara grup timur,” ucap Sasi Kirono, salah satu palang pintu andalan Petrokimia Putra.

Jumlah klub yang berpartisipasi cukup banyak, yaitu mencapai 34 klub. Saking banyaknya, PSSI mengambil kebijakan membagi kompetisi menjadi dua wilayah, Timur dan Barat.

Dua klub asal Gresik, Petrokimia Putra dan Persegres Gresik, masuk dalam Wilayah Timur. Nasib mereka timpang. Petrokimia Putra menjadi juara grup di atas Pupuk Kaltim, Assyabaab, dan Barito Putra. Sedangkan Persegres mengakhiri kompetisi di posisi ke-14, dua tingkat di atas jurang degradasi, persis yang terjadi saat ini.

Empat tim teratas masing-masing wilayah, berhak masuk babak delapan besar. Petrokimia Putra saat itu bergabung bersama Persib bandung, Assyabaab, dan Medan Jaya.

Petrokimia Putra lolos ke semifinal dengan menempati posisi kedua di bawah Persib Bandung. Tiga dari empat tim di Wilayah Timur yang lolos ke delapan besar, mampu lolos ke semifinal.

Di semifinal, Petrokimia Putra melawan Pupuk Kaltim. Saat itu, pertandingan semifinal dilangsungkan di Stadion Gelora Bung Karno, pada 28 Juli 1995. Umur saya saat itu baru dua tahun, belum mengenal apa itu sepak bola. Yang kenal hanya bola-bola kecil yang selalu saya kenyot. Dot.

Petrokimia Putra mengandaskan perlawanan Pupuk Kaltim dengan skor tipis, 1-0. Satu-satunya gol dicetak oleh idola saya sepanjang masa, Widodo Cahyono Putro, yang kini melatih Sriwijaya FC karena “terlempar” dari kursi panas Persegres Gresik United.

Di semifinal yang lain, Barito Putra dikandaskan Persib dengan skor serupa, 1-0. Satu-satunya gol Persib Bandung dicetak Kekey Zakaria.

Jadilah di final mempertemukan dua klub terbaik masing-masing kompetisi, Galatama dan Perserikatan. Galatama diwakili Petrokimia Putra dan Perserikatan diwakili Persib Bandung.

Final dilangsungkan di Stadion Gelora Bung Karno pada 30 Juli 1995. Pertandingan final ini dipimpin oleh Zulkifli Chaniago. Untuk para suporter Petrokimia Putra, nama Zulkifli Chaniago akan selalu mereka kenang. Bahkan mereka menantang kedatangan sang wasit ke Gresik. Gembuk lek wani rene.

Di sini drama dimulai.

Petrokimia Putra yang bermain dengan skuat intinya diunggulkan menang. Gol dari Petrokimia Putra yang dicetak oleh Jacksen F. Tiago pada menit ke 30 dianulir wasit. Keputusan yang sangat bisa diperdebatkan. Tapi ya sepak bola tanpa kontroversi, tanpa perdebatan itu kurang sedap.

Jacksen F. Tiago mengakui bahwa malam sebelum pertandingan, ia dan Widodo C. Putro dipanggil oleh pengurus Petrokimia Putra. Mereka dipaksa untuk mengalah.

“Kita tahu kita akan kalah. Pengurus berpesan, apa pun yang terjadi, kita terima saja. Jangan banyak protes kepada wasit,” ucapnya.[1]

Sesaat setelah berpesan, pengurus Petrokimia Putra langsung pulang ke Gresik dan beberapa saja yang masih bertahan di Jakarta.[2] Hal senada juga diungkapkan oleh Sasi Kirono, mantan pemain Petrokimia Putra yang saat ini menjadi asisten pelatih Persegres Gresik United.

Ia mengatakan bahwa saat itu, kita seharusnya menjadi juara. “Gol kita dianulir. Aneh. Tapi mau bagaimana lagi, kita tidak punya bukti. Zaman dulu teknologi belum seperti sekarang,” ucapnya.

Laga pun berakhir dengan kemenangan Persib. Skor 1-0 dicetak oleh Sutiono Lamso di menit ke-76. Widodo C. Putro sendiri dinobatkan sebagai pemain terbaik Ligina. Peri Sandria, yang bermain untuk Bandung Raya, dinobatkan sebagai pencetak gol terbanyak dengan torehan 34 gol.

Masa lalu ya masa lalu. Tapi bagi sebagian orang, memori buruk ini tak bisa dilupakan. Titel Juara Tanpa Mahkota tak berarti. Sejarah hanya akan mengingat siapa yang menjadi pemenang, bukan siapa yang menjadi pecundang. Bukan siapa yang dicurangi dan siapa yang bermain curang. Hidup Petro!

 

Referensi:

[1] Aqwam Fiazmi Hanifan & Novan Herfiyana, “Persib Undercover: Kisah-Kisah Yang Terlupakan”, Bandung, 2014, h. 180.

[2]Ibid

Komentar

This website uses cookies.