Judul di atas memang sedikit provokatif sekaligus mengundang tanda tanya. Bukankah PSSI adalah induk organisasi sepak bola dalam negeri? Lalu bagaimana caranya menyelamatkan sepak bola, dari dan tanpa PSSI?
Keputusan Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), memberi sanksi administrasi dengan membekukan PSSI memang semacam buah simalakama. Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai jalan terbaik untuk merevolusi organisasi sepak bola tanah air, namun di sisi lain hal ini berisiko membuat sepak bola kita terasing dari kompetisi internasional. Terkait jika FIFA menganggap hal ini termasuk intervensi pemerintah yang dilarang dalam statuta FIFA.
Di balik keputusan tersebut, kita juga harus mengakui bahwa sepak bola tanah air begitu banyak mengalami penurunan. Dari tingkat profesionalisme yang terjun bebas (tunggakan gaji tiap musim di beberapa klub), konflik internal manajemen klub, sampai kasus suap yang masih saja jadi rahasia umum.
Inilah mengapa, dalam rangking FIFA, tim nasional (timnas) Indonesia benar-benar terjun bebas ̶ hanya berada di urutan ke-7 region Asia Tenggara. Lebih mirisnya lagi, peringkat FIFA kita sampai berada di bawah negara yang tidak menempatkan sepak bola sebagai olahraga terpopulernya, Filipina.
Pembekuan dari Menpora pada dasarnya adalah buntut dari dua kali ngeyelnya PSSI terhadap aturan pemerintah.
Pertama, saat PSSI nekat menggelar laga Arema Cronus dan Persebaya 2010 di Liga Qatar National Bank (QNB) Indonesia, meski Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) tidak meloloskan izin kompetisi kedua klub. Arema dan Persebaya 2010 dianggap belum bisa lolos karena konflik internal keduanya belum juga diselesaikan.
Kedua, ketika PT Liga Indonesia dengan seenaknya sendiri menunda semua laga di Liga Indonesia mulai 12-18 April “hanya” karena Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang diselenggarakan di tengah-tengah kompetisi. Terkait penundaan itu, ada 12 laga yang tertunda dan BOPI tidak mendapatkan pemberitahuan sebelumnya.
Bukan kali pertama konflik antara Menpora dan PSSI terjadi dalam kurun beberapa tahun ke belakang. Masih lekat dalam ingatan, pada tahun 2010, Menpora saat itu, Andi Mallarangeng tidak mengakui kepemimpinan PSSI di bawah Nurdin Halid dan mencabut fasilitas negara yang digunakan pejabat struktural PSSI.
Hal ini bermula kala pemerintah menjadi inisiator Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang yang kemudian memicu lahirnya dualisme kompetisi sepak bola dalam negeri, yakni Indonesian Super League (ISL) dan Indonesian Premier League (IPL). Saat itu tanggapan FIFA hanyalah berupa teguran keras. Tidak ada hukuman sama sekali.
Meskipun tidak ada hukuman apapun dari FIFA, bukan berarti sepak bola nasional otomatis jadi baik-baik saja. Imbas dari kericuhan kompetisi, pengelolaan liga pun berantakan. Pada akhirnya, Komite Normalisasi mengambil alih tugas pejabat PSSI untuk kemudian menjalankan pemilihan baru di Solo pada 2011.
Tamparan untuk Persebaya, Tamparan untuk Profesionalitas Klub
Salah satu hasil dari KLB di Solo adalah seruan kepada Persebaya 1927 (dari IPL) untuk melebur ke Persebaya yang sedang berlaga di Divisi Utama ISL. Sebuah keputusan yang begitu ditentang oleh Bonek Mania kala itu. Hal ini dikarenakan, bagi Bonek, Persebaya versi ISL (yang saat ini berkompetisi di QNB) adalah Persebaya boneka bentukan PSSI.
Itulah mengapa, Bonek adalah satu-satunya kelompok suporter di Indonesia yang paling bersuka cita atas pembekuan PSSI oleh Menpora beberapa hari lalu. Di saat semua suporter klub lain mulai was-was dan khawatir, Bonek malah menggelar pawai seolah Persebaya 1927 baru saja menjuarai liga.
Sukacita ini semakin bertambah terutama setelah insiden yang terjadi dua hari sebelum KLB Surabaya digelar. Ketika itu, direktur Persebaya 1927, Saleh Ismail Mukadar, ditampar oleh orang tidak dikenal yang memakai atribut salah satu ormas ketika membahas dualisme klub Persebaya di Studio SBO TV, Surabaya, 16 April 2015 lalu. Selain menampar wajah Saleh Mukadar, pelaku juga mengintimidasi presenter acara yang sedang siarang langsung untuk segera menghentikan acara.
Peristiwa inilah yang kemudian memicu kemarahan ratusan hingga ribuan Bonek dan berniat melakukan pembalasan. Meski sang pelaku kemudian menyerahkan diri dan mengaku bahwa ia melakukan atas kemauan sendiri, hal ini tidak membuat para Bonek percaya begitu saja dengan pengakuan pelaku.
Mukadar sendiri juga sangsi bahwa kejadian ini tidak disisipi kepentingan politis dari pihak-pihak yang berseberangan dengan Persebaya 1927, “Karena saya kira, tidak mungkin kalau berdiri sendiri dan insiatif (pelaku) sendiri,” ujarnya.
Tamparan yang diterima Mukadar ini juga memberikan kita gambaran betapa buruknya pengelolaan organisasi induk sepak bola kita. Paling tidak, Persebaya 2010 yang berkompetisi di QNB kemarin menjadi gambaran betapa klub yang tidak didukung oleh warganya sendiri (baca: Surabaya) ternyata tetap bisa dipaksakan eksis hanya karena keinginan segilintir orang di dalam tubuh PSSI.
Di sisi lain, PSSI juga bertanggung jawab atas kenyataan bahwa sebenarnya tidak hanya Arema dan Persebaya yang tidak lolos verifikasi oleh BOPI. Sebab sebenarnya hanya ada lima klub Indonesia yang memenuhi persyaratan. Lima klub itu adalah Semen Padang, Sriwijaya FC, Persija Jakarta, Persib Bandung, dan Persipura Jayapura. Selebihnya? Masih dalam kategori klub semi-profesional. Lolos dengan catatan.
Selain itu, sampai beberapa saat sebelum dimulainya kompetisi musim ini, Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) mengultimatum bahwa ada enam klub yang punya tunggakan gaji musim kompetisi sebelumnya. Tunggakan gaji semacam inilah yang kemudian merupakan bukti betapa tingkat profesionalime sepak bola tanah air masih jauh dari harapan kita semua.
Gaji Terlambat Uang Haram pun Diembat
Apa yang bisa jadi persoalan berikutnya ketika gaji pemain sering dibayar terlambat oleh klub? Praktik suap dan pengaturan skor pertandingan akan tumbuh menjadi jalan alternatif bagi pemain untuk mencari cara agar tetap bisa menghidupi keluarganya tanpa harus bergantung pada ketidakpastian gaji dari klub.
Hal inilah yang pernah dibeberkan oleh legenda sepak bola nasional, Rochi Putiray, dalam talk show di salah satu stasiun televisi swasta Desember lalu. Tanpa tedeng aling-aling, Rochi mengungkapkan bahwa ia sendiri pernah menerima suap sebesar 100 juta rupiah agar tidak mencetak gol pada sebuah pertandingan. Ketika ditanya, kenapa mau melakukan hal itu? Rochi pun menjawab enteng; karena klub tidak membayar gaji saya.
Tanggal 7 April kemarin publik sepak bola kembali dikejutkan dengan berita penangkapan Johan Ibo atas dugaan usaha penyuapan terhadap tiga pemain Pusamania Borneo FC sehari sebelum pertandingan melawan Persebaya 2010. Dua dari tiga pemain tersebut adalah pemain-pemain yang cukup punya nama di kompetisi Liga Indonesia, Erick Weeks dan Okto Maniani.
Tidak hanya menolak, tiga pemain yang hendak disuap ini justru melaporkan kejadian ini. Kontan saja Dandri Dauri, manajer Borneo FC, beserta manajemen klub melakukan upaya penjebakan. Di sebuah restoran cepat saji di Jl. Basuki Rahmat, Surabaya itulah Ibo tertangkap basah beramai-ramai oleh manajemen Borneo FC. Pemain yang sudah tidak memiliki kontrak dengan klub manapun di Indonesia musim ini pun kemudian digelanggang ke pihak kepolisian.
Banyak pencinta sepak bola tanah air terkejut dengan kasus penangkapan ini. Jelas bukan terkejut karena ketidaktahuan akan adanya suap-menyuap dalam sepak bola nasional. Keterkejutan ini lebih kepada; ternyata ada juga pelaku suap yang bisa ditangkap.
Selama ini suap-menyuap di sepak bola tanah air terkesan hanyalah mitos atau dongeng. Diyakini ada, tapi begitu sulit untuk dibuktikan. Seperti hantu gentayangan. Tidak terlihat, semua sama-sama tahu, tapi selalu gagal diselidiki ketika kasus ini mencuat ke permukaan.
Situasi yang begitu pelik karena akar kecurangan ini tidak hanya menggerogoti pemain, tapi juga sudah menjalar ke ofisial pertandingan. Paling tidak kita bisa berkaca dengan kisah pelik yang pernah menimpa Sartono Anwar ketika masih membesut Persibo Bojonegoro sebelum dan sesudah pertandingan melawan Persema Malang pada 9 Oktober 2010.
Saat itu, Sartono Anwar mengaku dihubungi oknum wasit yang meminta uang sebesar 10 juta rupiah. Isi pesan itu menurut Sartono adalah tawaran “bantuan” untuk pertandingan Persibo melawan tuan rumah Persema Malang. “Pertama kali saya pikir orang dari kampung yang bantu pakai dukun, namun ternyata oknum wasit,” kata Sartono. Begitu mengendus ada yang tidak beres, Sartono pun menolak tawaran “bantuan” tersebut.
Hasilnya, Persibo harus mengakui keunggulan tuan rumah Persema Malang dengan skor tipis 0-1, hasil dari penalti di menit ke-94 dari injury time yang harusnya cuma sampai menit ke-3. Kontan saja Sartono mencak-mencak tidak karuan di konferensi pers.
“Tulis saja. Asisten manajer kami, Ahmad Sardjono memang ditawari. Tapi saya tidak mau, karena memang ingin fair play,” kata Sartono emosional.
Masalah ini tidak berhenti di sana, beberapa hari kemudian PSSI malah menghukum Sartono Anwar karena menghina wasit dan menuduh tanpa bukti dengan denda sebesar 50 juta rupiah.
Ya, Anda tidak salah baca. Menolak membayar 10 juta kepada oknum wasit namun malah dihukum lima kali lipatnya oleh federasi sepak bola yang seharusnya melindunginya. Ironisnya, sampai saat ini kasus tersebut tidak pernah selesai diselidiki oleh PSSI. Tidak jelas siapa oknum wasit yang dimaksud Sartono Anwar. Semua menguap dan dilupakan begitu saja.
Hal inilah yang juga disesalkan Dandri Dauri ketika mengetahui Johan Ibo dibebaskan begitu saja oleh Polrestabes Surabaya karena dianggap kurang bukti dan kejahatan (baca: suap) dianggap belum jadi dilakukan.
“Kenapa dia bisa dilepaskan? Apa tidak ada satu pun pasal yang bisa menjerat dia? Sudah kacau negeri ini, sudah sangat kacau,” jelas Dandri jengkel.
Di tengah-tengah kekecewaannya, Dandri cukup beruntung. Ia sempat merekam pembicaraan Ibo saat hendak menyuap dan mempunyai beberapa bukti-bukti lain. Coba kalau Dandri tidak punya? Bisa jadi ia bakal bernasib sama dengan Sartono Anwar yang dianggap menuduh tanpa bukti dan malah bisa jadi pesakitan.
Dandri menyesalkan sikap PSSI yang hanya memberi janji-janji namun selalu minim realisasi, terutama dalam penanganan suap dan pengaturan pertandingan. Pada akhirnya, kasus semacam ini akan menguap dan dilupakan begitu saja.
“Nanti kalau ada kejadian seperti ini lagi dan dibiarkan saja, akan terus terjadi kaya gini, hancur sepak bola kita.”
Dan sebelum kacau dan hancur sepak bola kita, Menpora pun mencoba menyelamatkannya dari PSSI dengan membekukannya.
Sepak Bola Indonesia atau PSSI?
Keputusan Menpora membekukan PSSI tentu akan dilawan berbagai pihak. Bukan hanya dari PSSI, tapi juga dari para pemain, sponsor, terutama suporter yang takut bahwa pesepakbolaan kita akan hancur karena liga tidak akan berjalan normal meski akan dikelola oleh KONI dan KOI untuk sementara waktu.
Ada juga ketakutan yang paling klasik: dihukum FIFA karena intervensi pemerintah. Sebuah mitos yang sudah lama diwacanakan oleh PSSI. Ironisnya, mitos ketakutan inilah yang selalu jadi senjata para pengurus PSSI untuk bertindak seolah begitu kebal hukum, anti kritik, dan anti perubahan. Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai organisasi yang merasa mempunyai wewenang di atas negara, tapi tidak pernah memberikan prestasi dan selalu membuat sepak bola nasional terpuruk tanpa merasa bersalah, kemudian sampai detik ini masih saja mau berlaku seenaknya sendiri?
Selain itu, fakta mengenai tidak ada satupun dari pengurus PSSI yang merupakan mantan praktisi di bidang tersebut, karena — kita semua tahu — hampir semua pengurus PSSI adalah para politisi-politisi parpol, memang cukup jadi pemandangan unik dan lucu. Tidak ada yang salah memang dengan hal itu, tapi bertahun-tahun pula kita tidak pernah melihat PSSI mencoba memasukkan mantan pemain atau pelatih sepak bola ke jajarannya — untuk paling tidak memberi perspektif praktis dari seseorang yang benar-benar “ahli” dalam hal sepak bola.
Bukankah kita harusnya bisa mencontoh bagaimana mantan-mantan pemain seperti Michel Platini atau Franz Beckenbauer di Eropa ternyata juga dihargai dalam organisasi induk sepak bolanya masing-masing hingga merentas jalan menuju organsasi sepak bola sebesar UEFA atau bahkan FIFA? Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan para mantan praktisi (baik pemain, pelatih, atau ofisial pertandingan) semacam ini seharusnya bisa jadi jembatan bagaimana mengorganisir sepak bola dalam skala nasional dan internasional yang baik untuk masyarakat dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.
Sebab bagaimanapun juga, menyerahkan sepak bola bangsa ini kepada orang-orang yang bahkan tidak mengerti bagaimana caranya menendang bola dengan baik dan benar adalah sebuah penyangkalan logika sederhana yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Dan sayangnya hal itu sudah terlalu menyebalkan untuk dimaklumi kembali.
Jika sudah seperti itu, siapa yang sebenarnya lebih penting untuk kita selamatkan lebih dulu? PSSI atau sepak bola Indonesia? ∎