Pagi buta ini aku ke rumahmu. Jalanan masih buram. Lampu kuning memutih di kejauhan. Tak ada kabut di kota ini. Itu pasti sisa asap knalpot yang tak terhirup pohon semalam. 500 mobil terjual setiap hari di kota ini, menambah jumlah knalpot yang meletupkan terlalu banyak karbon di udara. Klorofil kalah jumlah. Akibatnya kami, penduduknya, jadi terlalu takut merindukan kesegaran pagi.
Tapi kuharap ada kesegaran di ruangmu nanti. Terbuka dari kado yang kubungkus semalam. Satu warna baru dari hubungan kita yang sempat kautanyakan ke mana arahnya. Warna ini akan kamu pakai sore nanti. Saat kita ke kotaku, menyapa rumahku. Bersama, kita yakinkan ayahku. Orang yang selama ini lebih sering mendengar namamu dengan kerutan, bukan senyuman. Sejak ibu mangkat, memang hanya kamu yang pantas dicemburui.
Kamu membukakan pintu dengan senyum terpaksa seorang yang terganggu tidurnya. Pasti kamu lupa dengan hari lahirmu sendiri. Tapi wajahmu berubah setelah kusodorkan kado itu. Ah, kamu pasti baru mengingatnya, lalu membukanya dengan tak sabar. Tapi kemudian wajahmu kembali datar. Ekspresi yang sudah kuduga. Reaksi pemakai baju putih ketika disodori baju berwarna.
Kaos hijau hadiahku.
Warna adalah hidupmu. Warna yang memenuhi hari-harimu sebagai desainer. Warna-warni yang kadang kita bincangkan. Aku masih ingat keherananmu pada Ibu Vera, klienmu, markom perusahaan sabun yang menolak warna ungu dalam bentuk apapun untuk produk dan iklannya. Warna kematian katanya. Membuatmu heran karena itu tak ada di buku-buku teori warnamu. Warna adalah hidupmu. Kecuali warna bajumu. Warna yang sering menjadi obrolan kita. Baju selemari yang semuanya putih. Setiap kali kutanya kenapa selalu warna putih? Putih juga warna jawabmu. Kenapa tidak hitam-hitam seperti seniman lain? Karena aku ketombean, elakmu enteng.
Tapi baju berwarna ini berbeda, lelakiku. Aku memaksamu memakainya hari ini. Hari ketika kamu memintaku ke ayahku. Iya. Memintaku. Momen yang menjadi kado sebenarnya selain kaos berwarna hijau itu. Momen yang sekian lama kita tunda karena menunggu ayunan hati ini sedikit tenang. Ya hatimu, ya hatiku. Kini ayunan itu kurasa telah menemukan rumahnya. Menjadi tenang dan pasti. Maka, tanggalkanlah sehari baju putihmu. Hijau yang ini penting sekali. Karena hijau yang ini adalah jersey tim favorit ayahku.
—-
Sudah sekian tahun sekian bulan, sejak aku memutuskan untuk mengusir warna dari bajuku. Lalu mulai memakai kemeja putih, kaos putih, atau polo putih. Kini aku harus memakai jersey berwarna hijau. Demi kamu. Demi hati dan senyum ayahmu. Syukur-syukur restu.
“Ini jersey klub favorit ayahku. Klub dari ibu kota provinsi,” tambahmu.
Iya, aku tahu.
Tanpa kamu tahu, aku juga penggemar klub itu. Dulu. Waktu kecil aku tak pernah melewatkan pertandingan mereka. Berkerumun di sekitar radio. Berdegup memburu nafas penyiarnya yang terengah-engah. Lalu menahan nafas setiap kali penyiarnya menjerit panjang. Gol, melenceng atau berhasil ditangkap kiper harus ditunggu dengan kesabaran paru-paru. Perlu beberapa detik untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kegilaan yang hilang ketika pesawat televisi mulai mengisi ruang keluargaku.
Belasan tahun kemudian, giliran kegilaan menjadi pendukung klub yang luntur. Sepak bola kita tak pernah belajar dari kesalahan. Bukan hanya sejarah yang terus berulang, tapi juga kebodohan dan kebebalan. Para penjudi meja digantikan para penjudi kursi. Para petaruh digantikan politisi. Aku kemudian nyaris berhenti mengikuti bola kita, meski sayup-sayup masih sering kudengar kabarnya. Tentang tim nasional yang selalu nyaris juara. Tentang pengurus federasi yang abadi. Tentang tawuran suporter yang mencabut nyawa.
Tapi setidaknya, aku kadang masih menonton liga Eropa, meskipun frekuensinya terus menurun setelah klub jagoanku lebih sering kalah. Tapi setidaknya aku masih memperhatikan gerlapnya. Mengamati desain dan warna baju mereka tepatnya. Pengetahuan yang cukup untuk menilai kalau julukan Liverpool itu seharusnya bukan The Reds, tapi The Lust. Sementara merahnya Manchester United itu crimson. The Crimson Devil. Merahnya Bayern itu namanya lava. Merah kebanggaannya AS Roma itu bukan maroon, tapi carmine. Warna darah yang didapat dengan merebus kumbang chocineal yang hidup di kaktus.
“Pakailah sekarang, tak perlu menunggu sampai ke kotaku,” katamu merajuk.
Baiklah. Tapi jersey hijau ini menyedihkan sekali desainnya. Meskipun dari brand ternama, tapi seperti dilempar dari 10 tahun yang lalu. Jadul. Dugaanku, sepuluh tahun yang lalu, jersey ini didesain sebagai seragam latihan klub Eropa. Tetapi, pabrik mencetaknya terlalu banyak. Sisanya kemudian jadi jersey klub Amerika Latin. Masih bersisa sehingga harus dikirim ke Asia Timur. Tetap tersisa, kemudian dikapalkan ke negara dunia ketiga seperti Indonesia. Setelah dipajang di gerai resmi dan tak laku, jersey ini kemudian dihibahkan sebagai bagian kontrak sponsorship dengan klub “profesional” di sini.
Klub profesional yang kesulitan menarik nafasnya sendiri.
—
Sore ini, sudah tiga jam lebih aku duduk di sampingmu. 75 kilometer lagi menuju kotaku. Sepanjang perjalanan tadi, kembali kita berbincang tentang warna. Terpicu puluhan lampu merah yang kita lewati, kamu bercerita tentang warna merah yang sudah sejak lama jadi tanda bahaya. Tentang lampu putih sebagai tanda jalan sebelum digantikan hijau seperti sekarang. Tentang hijau yang digunakan sebagai tanda untuk hati-hati sebelum digantikan kuning. Kuning yang dahulu dipakai Cleopatra untuk memikat lawan, dan kawan yang menjadi lawan.
Tapi lampu merah yang ini entah kenapa tak ditaati. Sudah lama warna hijau menyala, tapi mobil-mobil di depan tak juga bergerak. Terjadi berulangkali mematik tanya. Entah pada siklus lampu hijau ke berapa, tanya itu terjawab oleh keriuhan yang memenuhi udara. Nyanyian-nyanyian yang membuat gentar dada, bukan cuma gendang telinga. Semakin lama gemuruh itu makin jelas. Diikuti gerakan beringas segerombolan manusia. Yang memilih untuk berjalan di tengah aspal menjauhi trotoar, dengan seragam merah-merah.
Mereka bergerak cepat melintas di antara mobil. Seperti diburu sesuatu, secepat air berkelit di antara batu. Mulai tercium tanda bahaya. Terbukti kemudian gerakan itu melambat di depan mobil kita. Setelah salah satu dari mereka menunjukmu dengan mata terbelalak. Lalu berteriak kata yang tak kupahami maknanya. Lalu telunjuk-telunjuk itu beranak pinak jadi puluhan. Mata mereka memerah melihat baju hijaumu. Telunjuk-telunjuk itu berubah menjadi kepalan. Meninju udara sebelum meninju kap dan menggedor kaca mobil kita.
Maafkan aku kekasihku. Aku hanya membeku dan membisu. Melihat kaca pecah, tangan-tangan yang mencengkeram jersey hijau itu, lalu kerumunan orang di trotoar. Bekuku baru pecah setelah sadar ada kursi yang jadi kosong di sampingku. Aku membuka pintu, mencari tahu kenapa kenapa kau meninggalkanku sendirian di dalam mobil. Hal terakhir yang kuingat sebelum aku pingsan – dan akan kuingat sepanjang usiaku – ada merah di hijau tergeletak di trotoar. Hijau yang menjadi kadomu hari ini.
——
“Ayo kita ke stadion, sudah terlalu lama kita nggak keluar,” ajakmu.
Sepak bola kita sekarang sudah berubah, kamu pasti akan kaget. Katamu meyakinkan.
Dan di sinilah kita malam ini. Di dalam stadion kotamu dengan atap teflon transparan. Kamu duduk di kursi khusus asisten pribadi yang menemani kursi rodaku parkir dengan nyaman. Ada 310 tempat untuk kursi roda yang disediakan di stadion ini. Sementara penonton lain duduk di atas single seat yang empuk. Aneka usia, tua muda. Bahkan bayipun ada yang bersorak bersama ibunya. Sebuah pertunjukan keluarga. Rukun bercampur antara jersey hijau tuan rumah dan jersey ultramarine pendukung tim tamu. Pemandangan yang tak mungkin terjadi tiga tahun lalu.
Di bawah sana, berlaga 22 orang di atas lapangan rumput Zeon Zoysia. Pressing tinggi, dominasi possession, liat mengubah-ubah formasi. Formasi 3-4-2-1 dihadapi dengan 4-1-4-1. Tanpa formasi dilawan tanpa formasi. Modern! Tak ada lagi umpan lambung tergesa-gesa yang membingungkan lawan, dan kawan. Ah, apakah aku sudah begitu lama tak peduli, atau memang sepak bola kita yang mengalami revolusi radikal?
Tapi yang menguasai pikiranku malam ini bukan perubahan di sekelilingku. Tapi kamu yang tak berubah. Kamu yang setia duduk di sampingku dengan badai di mata yang selalu meneduhkan, dengan senyum jelita yang meruntuhkan, dengan keanggunan yang bertambah matang, dengan perhatian layaknya seorang ibu yang tak berkurang. Rumus kecantikan yang sempurna untuk dicintai. Duduk 30 menit di stadion ini, cukup buatku memergoki puluhan mata laki-laki yang melirik ke arahmu. Bahkan yang sedang menggendong bayi. Juga menggandeng ibunya bayi.
“Surprise! Happy birthday, my love,” katamu sambil mengeluarkan kue kecil dengan lilin mini. Tepat usai wasit meniup peluit akhir babak pertama. Kamu lalu mengajakku meniup lilin itu. Aku ingin, tapi entah kenapa bibirku tak mampu kubuka.
Perhatian yang sama, cinta yang seperti dulu. Tapi benarkah?
Aku tahu, seperti benih, cinta memang bisa jatuh, tumbuh dan menetap karena apa saja. Kesengajaan maupun dijodohkan. Diusahakan atau kecelakaan. Memilih atau dipilih. Sukarela maupun paksaan. Seperti cinta yang kamu paksakan tetap hidup ini. Cinta yang tetap kau gengam sebagai penebusan dosa, penghapus kesalahan atau mungkin sekedar rasa iba. Kalaupun benar, sungguh ini tak adil untuk wanita sesempurna kamu. Seorang putri yang terpaksa bertahan bersama lelaki, dengan dua kaki – juga yang terselip di antara dua kaki – yang tak mampu lagi berdiri. Bertahan karena merasa sebagai penyebab nasib malang itu.
Aku tahu kamu mencintaiku, sungguh. Tapi itu sebelum tragedi merah di atas hijau. Hijau yang kamu hadiahkan untukku. Ironis memang, 200 tahun yang lalu, kucing-kucing bisulan bernanah setelah dikurung di ruangan bercat hijau. Butuh nyaris 100 tahun sebelum orang menyadari banyak anak-anak dibunuh oleh asap mematikan yang berasal dari dinding warna hijau kamar tidur mereka. Orang lalu menyebut bahan itu arsenik. Warna yang sama juga hampir membunuhku tiga tahun yang lalu. Karena racun yang berbeda tentu saja. Fanatisme.
Tapi kamu tahu, perempuanku, hijau yang mencelakaiku itu bukan hijau yang kamu pilih dengan cinta, tapi hijau yang mereka pilih dengan benci. Jadi ini bukan salahmu, kamu tidak perlu ikut menanggungnya. Aku percaya, kadang hidup ditentukan oleh warna sepotong kain yang kau pakai hari itu. Kamu pernah mencintaiku. Itu kenyataan yang sudah lebih dari cukup. Justru perhatianmu setahun terakhir ini terlalu berlebihan. Tak pantas untukku. Aku yang tak sanggup melindungi rumus kecantikan sempurna itu.
“Aku ke toilet bentar ya,” pamitmu.
Ini saat yang tepat. Aku akan pergi kekasihku. Membawa kursi roda ini menuruni tribun stadion. Lalu menjauh entah kemana. Membebaskanmu melanjutkan hidup tanpaku. Aku pasti akan merindukan suaramu. Bisikan yang menyemangatiku tiga tahun terakhir ini.
Hari ini aku merasa cukup berjuang. Tiga tahun yang melelahkan. Aku akan pergi dan aku tahu ini akan membuatmu bahagia.
—
“Surprise! Happy birthday, my love,” bisikku di telingamu.
Berharap kamu mendengarnya. Lalu merespons dengan sedikit reaksi. Sedikit saja. Sebuah kedipan atau tarikan di bibir. Tapi setelah menunggu beberapa detik, harapku musnah. Padahal aku datang hari ini dengan sedikit asa. Setelah seorang menceritakan kabar tentang gerakan tanganmu pagi tadi. Gerakan pertama setelah sekian lama.
Baiklah, bagaimana kalo kita barengan meniup lilin ini. Api yang berdiri di atas tumpukan lembut, terbuat dari gula, susu kental manis dan butter. Sengaja kubuat warnanya putih, warna kesukaanmu. Satu, dua, tiga…..
Ups!
Tiga tahun ternyata belum cukup untuk membangunkanmu. Tapi aku sabar menunggumu kekasihku. Aku rindu cerita tentang warna-warni itu lagi.
“Aku ke toilet bentar ya,” pamitku. Aku cuma ingin memastikan kamu tidak mendengar isakku ini. Sambil berjalan aku memastikan bunyi-bunyi di sekililingmu itu tetap terdengar teratur. Putus-putus yang membuatku tenang.
Kuhapus air mata di pipi, juga di cermin, lalu menyapu ulang makeup-ku. Lihatlah di sana, seorang perempuan yang tersenyum karena sendirian meniup lilin ulangtahun kekasihnya. Ikhlas menunggu keajaiban menjahit harapan. Berharap selamanya menemanimu. Meskipun aku mengaku pernah juga tergoda.
Pernah satu rentang waktu aku mencoba menjauhi ruanganmu, rumah sakit ini. Menyibukkan diri dengan karierku, dan dengan anak menteri itu. Tapi sungguh aku selalu merindukan diammu. Mata tidurmu menjalar ke mataku menjadi penenang. Tidur pasrahmu memeluk ragaku menjadi kehangatan. Ketidakberdayaanmu menghidupkan hatiku karena merasa dibutuhkan. Setiap bisikan yang kukirim, menguatkan jiwaku lebih dari semangat yang kamu dengar. Ini bukan tentang badan dan otakmu yang lumpuh. Ini tentang hatiku yang lumpuh. Tak bisa bergerak tanpamu.
Lalu tiba-tiba lolong teriakan itu menggedor jantungku.
Berlari aku membuka pintumu. Para perawat itu panik. Paniknya menulari mataku. Sebelum ranjangmu membekukanku. Putih. Kosong. Para perawat gaduh. Ada kursi roda yang raib.
Pasien yang koma 3 tahun itu menghilang.