Malah bukan Johan Cryuff yang meraih gelar pertama internasional untuk Belanda, tapi sundulan Rudd Gullit dan tendangan voli ajaib dari Marco Van Basten yang membawa martabat sepak bola Belanda ke tanah seteru abadi mereka, Jerman Barat. Belanda sukses membungkam Uni Soviet 2-0 di final Euro 1988. Sebuah aksi yang—paling tidak—sedikit mengobati tragedi kekalahan final Piala Dunia 1974 dari Cryuff oleh Franz Beckenbauer di tempat yang sama.
Inilah panggung di mana komposisi sempurna bahwa bakat-bakat cantik negeri Belanda ditempa oleh kerumitan taktik khas sepak bola Italia ternyata tidak hanya menghadirkan jaminan mutu, namun juga melahirkan gelar-gelar bergengsi baik di level timnas, klub, maupun individu. Inilah pondasi Los Galacticos AC Milan di awal era Silvio Berlusconi. Los Galacticos yang bahkan sudah ada sebelum sempat terpikirkan oleh Florentino Perez di Real Madrid bertahun-tahun mendatang.
AC Milan era 1987 hingga 1991 adalah sebuah klub yang ditakuti, dihormati, sekaligus diteladani—bahkan oleh Federasi Sepak Bola Inggris (FA) dengan konsep Premier League-nya. Jika bicara soal jumlah gelar, dalam empat musim itu, Milan memang masih kalah dengan Ajax Amsterdam era Rinus Michels (1965-1973), Barcelona-nya Josep Guardiola (2008-2011), Liverpool era Bill Shankly (1975-1984), atau bahkan era Pele masih aktif bermain untuk Santos (1955-1968). Namun, adalah Milan yang berhasil mengombinasikan bintang lapangan hijau dengan bintang di atas lambang klub mereka untuk jadi embrio kapitalisme dalam menjual citra sepak bola.
Padahal jika mengingat kembali kondisi sebelum Gullit dan Van Basten datang, sejatinya Milan adalah klub kere yang sedang sekarat. Dihantam dua kali degradasi pada dekade tersebut, termasuk soal kasus skandal Totonero yang juga menyeret pahlawan Italia di Piala Dunia 1982; Paolo Rossi, AC Milan berjuang mengembalikan nama besar di bawah asuhan Nils Liedholm. Sayang, sekuat apa pun Liedholm berusaha, klub tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk bersaing. Hal yang persis dialami Milan di tahun-tahun belakangan ini; baik sejak akhir era Massimiliano Allegri, Clarence Seedorf, sampai kemudian Fillippo Inzaghi.
Pada saat keterpurukan itulah Berlusconi datang menyelamatkan saudara tua FC Internazionale itu dari kebangkrutan tepat saat musim panas 1986. Setelah sembilan musim tak juara liga dan hampir dua dekade tanpa gelar Eropa, Berlusconi tidak hanya memoles Milan jadi klub hebat secara permainan dan gelar, tapi juga menjadikannya batu berlian—untuk jadi standar baru bagi klub sepak bola guna membangun merek dagang secara global.
Berlusconi sadar betul, reputasi adalah nilai jual yang tidak hanya menguntungkan klub secara finansial, namun juga dapat menarik minat bintang-bintang kelas dunia agar mau datang. Dampak yang akan berbanding lurus dengan raihan gelar dan sederet prestasi. Sebuah siklus yang akan berulang dan akan melipatgandakan segalanya. Persis semacam bisnis sirkus.
Van Basten segera dibidik dari Ajax satu tahun kemudian. Dengan limosin mewah, Van Basten “dipermak” dengan citra yang luar biasa berlebihan untuk kemudian diperkenalkan media. Saat itu umur Van Basten masih kinyis-kinyis; 22 tahun. Sekalipun semusim sebelumnya baru saja memenangi Sepatu Emas Eropa, Berlusconi tetap mengupayakan persepsi Milanisti bahwa ia sukses membawa pulang “Sang Angsa Utrecht” ke sangkar emasnya. Para fans pun tak kalah lebay dengan membentangkan spanduk; Marco My God.
Kehadiran “Sang Angsa Utrecht” kemudian disusul oleh “Angsa Buruk Rupa” dari PSV Eindhoeven. Berbeda dengan Van Basten, kehadiran Ruud Gullit diiringi dengan sirine mobil polisi. Kehadiran Gullit malah seperti begundal daripada pemain sepak bola. Badannya tinggi besar, kulit hitam, dan rambutnya—terlalu—gimbal! Orang yang tidak mengenalnya barangkali mengira sedang ada pawai penangkapan seorang penjahat di kota Milan. Tapi itu tak pernah jadi masalah, toh, Gullit memang “sebegundal” itu ketika berada di lapangan; liar, lapar, dan membuat takut para bek—secara harfiah. Skuat Milan jadi bervariasi dengan dua orang angkuh dari Belanda. Bedanya, yang satu begitu dingin, yang satu begitu eksentrik.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang berhak melatih dua “angsa” ini? Media Italia pun banyak yang mempertanyakan keputusan Berlusconi ketika menunjuk “Signor Nessuno” (Tuan Bukan Siapa-siapa) Arrigo Sacchi. Bahkan Van Basten pun menggelengkan kepala ketika ditanya soal Sacchi, “Saya sama sekali tak mengenalnya, kalian?” katanya balik bertanya. Sacchi pun membalas enteng segala skeptisme yang berkembang dengan nada satir, “Signor Nessuno tidak punya masa lalu. Ia hanya punya masa depan.”
Benar saja, musim pertama Sacchi di Milan, ia berhasil mengalahkan “Diego Maradona FC” dari kota Napoli dalam maraton melelahkan untuk gelar Scudetto. Sebuah kanal gelar telah terbuka untuk aliran gelar-gelar berikutnya. Terutama ketika dua bulan setelah pawai kesuksesan Milan meraih juara liga, Van Basten dan Gullit juga disibukkan dengan pawai timnas Belanda meraih gelar internasional pertamanya di Euro 1988.
Barcelona-nya Guardiola dengan Milan-nya Sacchi
Sepulang dari tugas negara di Euro 1988, Van Basten dan Gullit mendapatkan teman baru. Dia adalah Frank Rijkaard yang saat itu baru saja memperkuat Real Zaragoza (pinjaman dari Sporting Lisbon), pemain yang konon bisa bermain di mana pun dan berperan sebagai apa pun selain kiper saat berada di lapangan.
Tidak butuh waktu lama, Rijkaard pun segera jadi primadona bersama dua koleganya. Setelah tahun 1988 habis, di bulan Desember mereka bertiga mendapatkan gelar Ballon d’Or dengan Van Basten di posisi pertama, Gullit di posisi kedua, dan Rijkaard di posisi ketiga. Ini kali pertama dalam sejarah, ada tiga rekan satu klub—dan satu negara—berada di posisi tiga besar pemain terbaik. Sebuah rekor yang baru bisa dipatahkan lebih dari dua dekade kemudian oleh Lionel Messi, Xavi Hernandez, dan Andres Iniesta—itu kalau di sini kita mengabaikan kewarganegaraan Messi.
Kehadiran Rijkaard segera mengubah AC Milan yang tadinya sudah kuat, menjadi lebih kuat di musim berikutnya. Second leg semifinal Piala Champion 1989, Milan menjamu Real Madrid di San Siro adalah bukti betapa mengerikannya sengatan permainan anak asuh Sacchi—tidak hanya dari penyerangan, tapi juga dari segi pertahanan. Milan bermain begitu menyebalkan karena terlalu dominannya. Perasaan yang sama bagi setiap musuh Barcelona era Guardiola beberapa tahun ke belakang.
Namun, sekalipun kedua tim cukup identik, sejatinya Milan Sacchi tidak seperti Barcelona Guardiola yang sangat dominan dalam penguasaan bola. Jika prinsip Guardiola adalah sebisa mungkin membuat lawan tidak bisa menyentuh bola, dengan segera melakukan high pressing ketika bola berada di kaki lawan—sekalipun itu ada di area sepertiga lapangan lawan, maka Milan Sacchi sering mempraktekkan gaya bertahan high pressing di area garis pertahanan sendiri. Artinya, Milan Sacchi lebih sering membiarkan lawan mengolah bola daripada Barcelona Guardiola.
Tapi, jangan salah. Bukan berarti hal itu bisa berjalan lebih mudah bagi lawan. Saat itu, aturan offside masih belum seperti sekarang, di mana garis pertahanan terakhir dihitung dari kontak bola terakhir si pemberi umpan. Era itu umpan terobosan untuk pemain coming from behind pun masih bakal dihitung offside juga.
Nah, Sacchi memanfaatkan aturan itu secara maksimal. Bayangkan saja, setiap pemain Madrid hendak memberi umpan langsung ke jantung pertahanan, maka seluruh pemain Milan (kecuali kiper) akan segera maju dari garis pertahanan dan meninggalkan tiga sampai empat pemain Madrid dalam posisi offside. Hal yang kemudian diulang terus sepanjang pertandingan. Situasi yang kemudian membuat pemain-pemain Madrid begitu frustasi.
Taktik ini sedikit banyak telah mencabut akar permainan catenaccio khas klub-klub Italia. Alih-alih tunduk dengan budaya yang sudah dibawa Helenio Herreira ke Inter sejak era 1960-an, Sacchi memilih menggantinya dengan cara bertahan Total Football Belanda era Rinus Michels yang ditunjukkannya di laga pembuka Piala Dunia 1974 melawan Uruguay. Maka tidak ada yang salah ketika Sir Alex Ferguson berkata, “Sacchi telah mengubah sepak bola Italia.”
Real Madrid, klub terbaik abad 20, dibuat kelimpungan meladeni permainan Milan yang merupakan kombinasi chaos-nya permainan Belanda dengan kerapian organisasi Italia. Setelah Carlo Ancelotti, gelandang box to box Milan era itu mencetak gol dari luar kotak penalti, maka jalannya pertandingan jadi lebih mudah. Secara bergantian Rijkaard, Ruud Gullit, Marco Van Basten, serta Roberto Donadoni memasukkan namanya ke papan skor. Skor akhir 5-0, dan Milan menang agregat 6-1.
Di final Milan tinggal menghadapi Steaua Bucharest di Nou Camp. Permainan anak asuh Sacchi pun semakin menggila. Trio Belanda menggilas Steaua dengan skor telak 4-0. Gullit dan Rijkaard berbagi jumlah gol yang sama. Pertandingan begitu berat sebelah dan atmosfer final yang kaku sama sekali tak tampak. Ini adalah gelar Piala Champion pertama untuk Sacchi.
Semusim berikutnya Milan kembali mempertahankan gelar setelah mengalahkan Benfica di final. Tak ada ringtangan berarti selama turnamen. Hanya saja, AC Milan tidak meraih gelar di liga domestik. Hal yang kemudian sering jadi pledoi Adriano Galliani bahwa DNA di darah Milan adalah DNA Liga Champion, bukan DNA Serie A seperti Juventus.
Dan saat Sacchi diminta membandingkan dua tim hebat (AC milan dan Barcelona) tersebut, ia menjawab, “Kedua tim sama-sama berperan krusial dalam evolusi olahraga ini. Namun, saya yang melatih tim terbaik sepanjang sejarah.”