Negative Space dan Tertinggalnya Sepak Bola Kita

Dalam dunia seni, khususnya seni rupa, dikenal sebuah istilah bernama negative space. Menurut Wikipedia, negative space adalah “the space around and between the subject(s) of an image. Negative space may be most evident when the space around a subject, not the subject itself, forms an interesting or artistically relevant shape, and such space occasionally is used to artistic effect as the “real” subject of an image.

Dalam logo FedEx misalnya, ada gambar panah ke kanan dari negative space yang muncul di antara huruf “E” dan “X”.

Bisakah Anda menemukan negative space yang dimaksud?

 

Anggaplah lapangan sepak bola sebagai sebuah kanvas dan kedua tim yang bermain di atasnya adalah elemen-elemen yang membentuk sebuah gambar tertentu. Dari pergerakan pemain-pemain yang ada di atas lapangan tersebut, muncullah berbagai ruang kosong yang menunggu untuk dieksploitasi.

Ruang-ruang kosong ini, ketika berhasil dieksploitasi, maka mereka menjadi relevan terhadap pertandingan tersebut dan mereka pun menjadi negative spaces yang pada akhirnya membentuk satu gambar utuh.

Ganesha Putera, dalam tulisannya yang berjudul Thomas Muller yang Bergerak di Bayang-Bayang sudah menunjukkan bagaimana Thomas Muller sebagai seorang raumdeuter (penafsir ruang) bekerja. Selain Muller, satu pemain lain yang menurut saya amat cerdas dalam membaca dan mengeksploitasi ruang kosong adalah Pedro Rodriguez.

Seringkali, Pedro, sebagaimana Muller, muncul di tempat-tempat kosong yang tak diduga oleh para pemain lawan. Tempat-tempat di mana Muller dan Pedro memberi relevansi pada jalannya laga tersebut yang kemudian menjadi negative spaces.

Ruang kosong adalah sebuah kebutuhan dalam bermain sepak bola. Tanpa adanya ruang kosong, bola, sebagai instrumen utama permainan, takkan mampu digerakkan untuk mencapai tujuan utama sebuah tim: mencetak gol. Tanpa ruang, sebuah tim tak akan mampu mengembangkan permainan dan kemenangan pun harus berhenti sampai angan-angan.

Filsuf eksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, berkata, “Sepak bola menjadi rumit karena keberadaan tim lawan.” Tim lawan itulah membuat ruang kosong menjadi terbatas dan pada akhirnya, ruang kosong pun, apabila tak diciptakan, takkan bisa ditemukan, apalagi dieksploitasi.

Lantas, apa yang membedakan ruang biasa dengan negative space? Sebenarnya, selain ada negative space ada pula positive space. Lihat gambar berikut untuk lebih jelasnya.

Dari gambar di atas, apa yang Anda lihat?

 

Pada gambar di atas, lewat dua perspektif yang berbeda, bisa dilihat dua gambar yang berbeda. Bila Anda melihat dua wajah, maka area berwarna hitam menjadi positive space sementara area putih (yang membentuk vas bunga) menjadi negative space, dan demikian pula sebaliknya.

Dalam sepak bola, memang tak ada istilah negative space, yang ada hanyalah space atau ruang. Maka dari itu, agar tak menimbulkan kerancuan, di sini saya tegaskan bahwa ruang yang biasa dikenal di sepak bola adalah (ruang yang berpotensi untuk menjadi) negative space karena dalam perspektif sepak bola, ruang dilihat sebagai tempat di mana tak ada pemain.

Sebaliknya, sepak bola pun tak mengenal positive space karena positive space merupakan area yang telah diisi oleh pemain.

Sebagaimana telah saya sebut sebelumnya, sebuah ruang kosong, dalam sepak bola, belum tentu menjadi negative space karena ia belum tentu relevan terhadap suatu pertandingan. Maka, sejatinya, pertandingan sepak bola adalah sebuah kontes untuk menciptakan berbagai negative spaces dalam rangka meraih kemenangan. Dari sini, definisi negative space kemudian bisa disederhanakan menjadi “ruang kosong yang memiliki makna”.

Semalam, tim nasional (timnas) Indonesia U-23 harus kembali takluk dari Sang Raja Asia Tenggara, Thailand. Garuda Muda dihajar Nurul Sriyankem dkk. dengan skor telak 5-0 dalam laga semifinal SEA Games 2015, dan dari laga tersebut, terlihat bagaimana kikuknya anak-anak timnas U-23 dalam membaca, menciptakan, dan mengeksploitasi ruang.

Berbagai tekanan yang dilancarkan timnas Thailand berhasil memaksa Evan Dimas cs. untuk “menciptakan” banyak negative spaces.

Saya tak paham secara mendetil soal taktik beserta seluk beluknya, akan tetapi, secara kasatmata saja, terlihat bagaimana celah yang tercipta antara lini belakang dan tengah dengan lini depan timnas Indonesia U-23. Celah ini kemudian menjadi negative space karena di sinilah Thailand mengontrol permainan secara keseluruhan. Celah inilah yang menjadi “ruang kosong yang memiliki makna” pada laga semalam.

Perkara ruang ini barangkali masih jutaan tahun cahaya jaraknya dari pemain-pemain Indonesia yang baru mengetahui satu cara untuk mengalahkan tim lawan: gocek sebanyak-banyaknya pemain lawan. Kita harus sadar bahwa tim tetangga yang dulu statusnya hanya berupa musuh bebuyutan, kini sudah layak disebut sebagai panutan. Kita masih terjebak dalam paradigma bermain yang itu-itu saja.

Saya jadi teringat dengan sebuah obrolan dengan eksanggota staf kepelatihan Indra Sjafri di timnas U-19, Guntur Cahyo Utomo. Dalam obrolan tersebut, Guntur mengatakan bahwa di Indonesia ini, kebahagiaan bermain sepak bola dipecah menjadi banyak bagian-bagian kecil yang sayangnya tak mampu memenuhi kebahagiaan utama yang seharusnya menjadi tujuan.

Gocekan yang bertele-tele misalnya, di Indonesia ini dianggap sebagai sebuah kehebatan, padahal di negara-negara yang persepakbolaannya sudah maju, efisiensi dan efektivitas adalah segalanya.

Kemampuan menggocek lawan memang merupakan salah satu kemampuan individual yang harus dimiliki seorang pemain, akan tetapi, sepak bola adalah permainan 11 melawan 11, bukan 1 lawan 1.

Ketika tujuan bermain sepak bola masih terpaku pada berapa jumlah lawan yang berhasil dilewati, kualitas permainan sepak bola kita, sampai kapan pun, akan di sini-sini saja. Ah, jangankan soal pemahaman ruang, soal teknik dasar seperti first touch saja kita masih kelabakan.

Pada akhirnya, negative space yang terlihat semalam menunjukkan bahwa kualitas persepakbolaan kita belum membaik. Saya tak bicara soal kisruh PSSI dan Menpora, melainkan kualitas permainan sepak bola. Ada yang salah dalam cara kita bermain sepak bola dan selama hal itu belum dibenahi, Piala Dunia akan selamanya hanya menjadi tontonan di negeri ini.

 

Komentar

This website uses cookies.