Ox the Fox: Dilema Manis Monsieur Arsene Wenger

Telur itu akhirnya pecah juga. Minggu malam, tanggal 2 Agustus 2015, untuk pertama kalinya Arsene Wenger memecundangi Jose Mourinho. Bermain tanpa Alexis Sanchez, pemain terbaik Arsenal musim lalu, skuat asuhan Arsene Wenger masih mampu menggigit lewat anak muda kelahiran Portsmouth, Alex Oxlade-Chamberlain.

Sebagai juara bertahan FA Cup, Arsenal meladeni Chelsea, pemegang tampuk jawara Premier League di ajang Community Shiled, laga pembuka musim 2015/2016. Arsenal keluar sebagai menang dalam laga yang dihelat di Wembley tersebut, meskipun nampak gontai dalam beberapa kesempatan, terutama di babak kedua. Namun, satu gol sudah cukup untuk membungkam narasi Jose Mourinho sebelum dan sesudah laga. Gol semata wayang dicetak Alex Oxlade-Chamberlain pada menit ke-24 babak pertama. Bukan Theo Walcott, bukan pula Aaron Ramsey yang biasa menyumbangkan gol-gol penting. Pembaca harus mencata satu nama ini: Alex Oxlade-Chamberlain untuk musim baru yang mulai bergulir minggu depan.

Sempat tidak menonjol pada 20 menit pertama, Chamberlain steal the show ketika menemukan ruang di sisi kiri pertahanan Chelsea. Berhadapan one-on-one dengan Cesar Azpilicueta, Chemberlain tidak gentar dan merangsek ke dalam kotak penalti. Dengan tenang, bola ia keeping menjauhi marker. Sedikit berkelit, Chamberlain melepaskan tembakan dengan kaki kirinya. Bola melaju deras disokong power dari tumpuan kaki kanannya. Thibaut Courtois berusaha menjangkau, namun telat sepersekian detik adalah bencana. Wembley bergemuruh. Arsenal ungguh satu gol yang bertahan hingga akhir laga.

Chamberlain mengawali laga di sisi kanan lapangan. Absennya Alexis Sanchez yang masih berlibur pasca Copa America menjadi berkah. Kesempatan tersebut berhasil dimanfaatkan dengan baik. Chamberlain seperti memberikan penegasan bahwa melepas Lukas Podolski dan (hampir pasti akan menyusul) Joel Campbell bukan langkah yang salah. Mampu bermain di beberapa posisi di lini serang, Chamberlain memberi Wenger banyak dilema. Sebuah dilema manis, meskipun memusingkan, namun menjadi ekstasi yang menyenangkan.

Ox The Fox

Begini, meskipun banyak didera cedera musim lalu, Chamberlain masih mampu menunjukkan bahwa dirinya adalah valuable assets untuk masa depan. Coba pembaca tengok laga Arsenal ketika dijamu Manchester City. Memang, Santi Cazorla mencuri panggung dengan performanya yang epik. Namun, perhatikan bagaimana Chamberlain dengan lugas menyisir sisi kanan lapangan ketika menyerang sekaligus melindungi bek kanan yang diemban Hector Bellerin. Sebagai “bek sayap tambahan”, Chamberlain tidak hanya fasih berduel. Ia juga punya insting untuk mengubah intersepsi ketika bertahan menjadi serangan balik (transisi).

Sedikit mundur ke belakang, kita intip laga Bayern Munich melawan Arsenal di Allianz Arena. Laga di panggung Liga Champions tersebut berakhir dengan hasil sama kuat, 1-1. Saat itu, Chamberlain ditempatkan sebagai gelandang sentral, sebuah role yang sebenarnya masih belum fasih ia emban. Namun, sepanjang laga, Chamberlain berhasil menunjukkan seberapa dalam kualitas dirinya, Chamberlain mampu mengubah tempo laga, jeli melepaskan umpan, dan tidak takut untuk berakselerasi melewati lawan ketika dibutuhkan.

Dua paragraf di atas memberi gambaran sekilas kemampuan Chamberlain untuk bermain di beberapa posisi sama baiknya. Bermain di sisi lapangan, seorang pemain kudu cerdik ketika ditekan lawan, mampu berpikir cepat, mampu beradaptasi dengan perubahan space sekaligus tempo, mampu menunjukkan intensitas untuk tidak kehilangan bola, punya pressing resistance yang baik, dan mampu mengekspresikan diri secara positif.

Kita ambil poin-poin penting dari paragraf di atas, yaitu cerdik, berpikir cepat, kemampuan beradaptasi, punya intensitas, tenang saat ditekan, dan mampu berekspresi. Poin-poin di atas merupakan pandangan general mengenai hewan rubah (fox) yang bahkan sudah menjadi konsensus seperti dirilis oleh situs whatsyoursign.com. Rubah sendiri juga dihubungkan dengan simbol kebijaksanaan dan gairah.

Selepas laga Community Shield, Chamberlain berbicara kepada Arsenalplayer, “I got a goal at the Emirates Cup, and it’s what i need to do this year, there’s no doubting that and i’m not afraid to say that i need to score more goals.”

Perhatikan kalimat “need to do” dan “score more goals”. Kalimat “need to do” artinya Chamberlain memahami bahwa ada target pribadi yang ingin ia capai. Pemain yang bijak selalu tahu apa yang harus ia lakukan untuk menaikkan level, sekaligus menegaskan gairahnya bahwa Chamberlain ingin “score more goals”.

Sebagai “seekor rubah”, Chamberlain akan memberikan banyak opsi bagi Arsene Wenger. Maka, sebuah dilema jelas akan lahir karena “banyak opsi” tersebut jelas beririsan dengan pemain lain, yang juga sudah bermain apik musim lalu. Chamberlain ideal bermain di sisi kanan, posisi yang Ramsey perankan cukup solid sebagai wide-midfileder. Chamberlain oke saat bermain di kiri, posisi Alexis Sanchez ketika meledak musim lalu. Bahkan, Chamberlain siap bermain di tengah berduet dengan Francis Coquelin, posisi Santi Cazorla ketika menjadi deep-lying conductor. Chamberlain akan menjadi bahan pemikiran pemain lain, sekaligus pemantik para rekannya untuk mengeluarkan kemampuan terbaik. Jika gagal perform, maka jangan heran apabila Chamberlain akan step-up dan mencuri panggung sekali lagi.

Simbolisasi Chamberlain sebagai seekor rubah bukan usaha bombastis untuk melukiskan kualitas seorang pemain. Mungkin penulis sedang terlalu bergairah melihat Chamberlain membuat Monsieur Arsene Wenger “sakit kepala” dan “berbeban dilema”. Tentu, dilema yang manis dan menyenangkan.

 

Komentar

This website uses cookies.