Adanya kejuaraan sepakbola kelas wahid seperti Copa America, Piala Dunia, Piala Eropa dan lain sebagainya bikin sepakbola selalu punya cerita. Baik sebelum, selama, hingga sesudah kompetisi tersebut berjalan. Tak heran bila football writing pun ikut ramai dalam periode-periode seperti itu via koran, tabloid dan majalah sepakbola.
Dahulu, salah satu kebiasaan kita adalah mencari poster yang berisi jadwal pertandingan (berbentuk bagan) yang umumnya ada dalam suatu majalah atau tabloid. Kita lantas menempelkannya di dinding kamar guna memantau jalannya kompetisi.
Menuliskan nama tim yang bertanding berikut skornya, lalu melihat siapa yang melaju dan siapa yang gugur menjadi sebuah keasyikan tersendiri yang awet dalam ingatan.
Jika kita mencermati perkembangan media cetak berbasis olahraga, khususnya sepakbola, dalam satu sampai tiga dekade belakangan ini maka kita bisa menyebut beberapa nama yang populer dan menjadi idola khalayak.
Bagi Anda generasi yang lahir pada kisaran 1970-an sampai awal 1990-an pasti mengenal BOLA, majalah BOLA Vaganza, Hai Soccer (SOCCER), GO (Gema Olahraga), Total Sport, TopSkor, Skor, TopSoccer, Libero, dan lain-lain.
Siapa di antara kita yang saat ini tetap berlangganan, atau minimal masih rutin membaca berita di media cetak bersegmen olahraga?
Saya yakin, tinggal sedikit orang yang masih intens melakukan itu. Entah karena dirinya sudah beralih mengunyah berita-berita dari media daring atau karena media cetak tersebut sudah tidak melanjutkan kiprahnya akibat pergeseran teknologi dan kebiasaan manusia.
Banyak pakar yang mengungkapkan bahwa pergeseran era dari media cetak ke media daring adalah keniscayaan.
Siapa yang enggan berubah dan adaptif, merekalah yang akan digilas perubahan itu sendiri.
Beberapa puluh tahun lalu saya adalah pelahap media-media cetak olahraga. Hampir semua media pernah saya nikmati.
Zaman ketika masih kuliah dahulu, dengan uang bulanan yang pas-pasan, tentu bukan perkara mudah untuk berlangganan majalah atau tabloid olahraga.
Jadi, pilihannya adalah sesekali membeli atau menguatkan kaki untuk berdiri sambil membaca di lapak-lapak koran yang ada, ditimpali lirikan penjual koran yang sedang cemberut.
Era tenggelamnya media cetak olahraga di Indonesia bisa dikatakan mencapai puncaknya saat BOLA pamit pada Oktober 2018 silam.
Dibanding tabloid atau majalah bersegmen olahraga lainnya, BOLA memang yang paling berkelas dan punya sejuta penggemar.
Seperti yang sudah diduga, media cetak yang rontok digantikan oleh media-media daring berbasis olahraga, khususnya sepakbola yang terus bermunculan. Baik berupa turunan langsung dari media cetak maupun yang dibangun secara independen.
Riuhnya media-media sepakbola berbasis daring membuat para penggila sepakbola mengalihkan atensi mereka.
Bermodal kuota internet dan gawai, mereka tinggal berselancar guna mencari berita, ulasan pertandingan, dan hal-hal lain terkait sepakbola di laman-laman yang ada.
Saya sebagai penikmat sepakbola pun melakukannya. Makin sering membaca lewat gawai dan menelusuri beberapa laman penyedia bacaan terkait football writing.
Pandit Football merupakan salah satu yang paling enak dinikmati. Bisa dikatakan, mereka adalah pionir media daring sepakbola di Indonesia bersama Bolatotal.
Pandit Football mulai muncul pada sekitar 2012 dalam kanal khusus di media daring Detik.
Pandit Football digawangi oleh anak-anak muda pada zamannya itu sangat menarik perhatian.
Mereka tampil tidak monoton sebatas teks ulasan atau berita, tetapi juga memuat analisis taktik sepakbola yang dilengkapi grafis dan statistik.
Dulu sekali, saya pernah ikut sebuah acara diskusi tentang football writing yang dihadiri oleh salah satu founder Pandit Football, Zen RS.
Dari acara itu saya akhirnya sedikit paham inner circle-nya anak-anak bola yang hobi “main” di arena media daring sepakbola, termasuk ketika mereka akhirnya hengkang ke media daring umum yang berbasis berita.
Saya berharap Pandit Football tetap eksis agar gairah literasi sepakbola di kalangan anak muda tidak padam. Pasalnya, bergerak di dunia daring dengan segmen sepakbola juga tidak mudah.
Banyak yang tumbang dan akhirnya gulung tikar. Alasan utamanya adalah biaya operasional yang tidak sedikit.
Sementara investor banyak yang menarik diri karena keuntungan yang diinginkan tidak didapat. Football Tribe Indonesia yang sempat mewarnai skena football writing jadi salah satu contohnya.
Harapan serupa juga tercurah untuk Football Fandom (yang juga merambah dunia penerbitan buku), dan The Flanker karena bergerak di segmen yang sama.
Sebab bagaimanapun juga, laman-laman berbasis sepakbola tersebut memiliki kekhasan yang tak bisa disamai oleh media-media daring besar seperti Detik, Kompas, Bolacom, dan bahkan Goal.
Semoga literasi sepakbola di Indonesia terus terawat. Panjang umur, football writing.