Pekerjaan Paling Sulit di Dunia: Menjadi Pelatih Klub Inggris

Media internasional pernah menyebut jabatan Presiden Pakistan, yang pada 2001 hingga 2008 diduduki oleh Pervez Musharraf sebagai pekerjaan paling sulit di dunia. Kala itu seluruh dunia melihat perkembangan Pakistan yang diselimuti kekhawatiran perang, baik akibat dari persoalan dalam negeri maupun dengan negara tetangga.

Klaim itu semakin diperkuat dengan insiden mantan Perdana Menteri Pakistan yang juga tokoh penting Pakistan, Benazir Bhutto, pada 27 Desember 2007. Insiden yang diikuti dengan peledakan bom bunuh diri.

Situasi dalam negeri lantas mencekam. Walaupun kini pemberitaan negatif tentang Pakistan sudah jauh berkurang, kekhawatiran tentang perang dan kekerasan akan terus menyelimuti negeri yang berbatasan langsung dengan India itu.

Lalu, jika bukan menjadi Presiden Pakistan, pekerjaan apa di dunia ini yang sangat menantang dan layak untuk diklaim sebagai pekerjaan paling sulit di dunia?

Menjadi pelatih klub Inggris.

Anda sebagai pencinta sepakbola tentu sudah tahu dari meme yang beredar tentang pelatih yang dipecat hanya semusim (bahkan tidak genap semusim) setelah merengkuh gelar juara. Claudio Ranieri adalah yang paling aktual.

Kisahnya bak dongeng ketika mengantarkan klub semenjana, Leicester City menjadi juara Liga Inggris 2015/2016. Tanpa belanja pemain bintang dan merelakan menjual N’Golo Kante pun Ranieri tetap bisa membawa The Fox tampil bagus di Liga Champions.

Sayang dia tetap harus angkat kaki setelah kekahalan dari Sevilla dan performa buruk di Liga Inggris. Buruk karena sebelumnya mereka juara. Jika perbandingannya tanpa melibatkan musim 2015/2016, maka pencapaian Leicester City musim ini tak ubahnya Leicester yang sebelum-sebelumnya.

Pelatih lain yang juga mengalami nasib serupa Ranieri adalah Jose Mourinho, Roberto Mancini, dan Carlo Ancelotti. Setelah juara, performa tim yang ditangani dianggap tak menunjukkan performa seorang juara bertahan.

Hanya saja, hujatan yang akan terus dialami oleh setiap pelatih sepanjang musim di Inggris lah yang membuat pekerjaan sebagai pelatih di Liga Primer adalah pekerjaan paling sulit.

Anda harus menjawab pertanyaan dari jurnalis hampir setiap hari. Sudah ada konferensi pers jelang dan sesudah pertandingan, tapi wartawan akan tetap terus datang di setiap sesi latihan.

Belum lagi paparazzi yang akan mengintai Anda sepanjang hari. Jurgen Klopp pun di awal kedatangannya merasa heran dengan situasi yang demikian itu. Tidak seperti yang dia rasakan di Jerman.

Jika Anda pernah bekerja sebagai PR atau setidaknya pernah diwawancarai oleh jurnalis, Anda tentu tahu bahwa tidak pernah mudah untuk berbicara di depan wartawan.

Level kesulitannya mungkin serupa dengan saat pertama kali berbicara di depan gebetan atau mertua. Ketakutan salah bicara akan terus menggelayuti benakmu. Dan karena itulah selalu sulit untuk berbicara di depan para wartawan.

Klaim sebagai liga paling populer di dunia semakin membuat pekerjaan ini sulit. Itu berarti Anda tidak hanya bertanggung jawab pada manajemen dan suporter yang selalu hadir di stadion, tapi juga pada fans di seluruh dunia yang terhubung di internet.

Dan kita tahu bahwa netizen adalah kaum yang paling berani. Mereka menghujat apa saja dan tak peduli seberapa kasar hujatan mereka serta pengaruh yang mungkin timbul dari setiap kritikan di laman media sosial.

Dampak buruk internet seperti inilah yang membuat Sir Alex Ferguson enggan untuk aktif di media sosial, juga kebijakannya terhadap pemain dan klub terkait dengan penggunaan media sosial. Juga yang kemudian jadi alasan Emma Watson untuk tak melayani permintaan selfie.

Berbicara tentang pelatih Liga Inggris seperti halnya perempuan membicarakan laki-laki, kaum yang selalu salah. Siapa pelatih Liga Inggris saat ini yang tak dihujat?

Antonio Conte yang sedang menerima pujian lantaran performa apik Chelsea musim ini tak luput dari hujatan. Selalu saja ada yang menyangksikan kehebatannya lantaran musim ini mereka tak bermain di Eropa sembari membandingkan dengan pencapaiannya di Juventus.

Bagaimana dengan Pep Guardiola? Hanya fans Manchester City yang tak ingin dia gagal. Rekam jejak nyaris sempurna miliknya tentu membuat orang ingin melihatnya gagal.

Jose Mourinho yang sudah juara EFL Cup ketika belum ada satu pun pelatih berhasil mengunci gelar juara pun akan terus dihujat jika Setan Merah tak beranjak dari peringkat 6 klasemen Liga Inggris.

Mauricio Pochettino sedang berjuang untuk mengembalikan performa Tottenham Hotspur seperti musim lalu dan membungkam Raymond Verheijen. Sesuatu yang tampaknya akan sia-sia musim ini.

Jurgen Klopp? Dia dipuji musim lalu tapi kini dia mesti mulai menerima jika sudah ada sekelompok suporter yang ingin #KloppOut. Tidak ada kesabaran di Inggris baginya, seperti ketika Borussia Dortmund menunggu tiga musim untuk merengkuh gelar pertamanya.

Tidak lengkap rasanya jika tidak menyebut Arsene Wenger. Orang-orang masih mengganggapnya sebagai spesialis nomor 4 meski musim lalu mereka finis sebagai runner-up.

Posisi yang membuat teman sepermainan kami, Yamadipati Seno dan Isidorus Rio, sesumbar dengan menyebut Arsenal musim lalu adalah juara tanpa mahkota. Lha kamu kira Petromikia 1995 ketika kalah dari Persib Bandung di final Liga Indonesia? Ini Inggris bung, tidak ada juara tanpa mahkota.

Sudah begitu masih pula menyebut Wenger ini terlalu berhemat dalam membangun skuatnya. Padahal pria asal Prancis ini sudah membeli pemain sekaliber Mesut Ozil dan Alexis Sanchez, kalian kira harga 42,4 juta poundsterling untuk Ozil dan 35 juta poundsterling untuk Alexis adalah harga murah?

Tapi, begitulah Liga Inggris. Hujatan akan terus ada. Ejekan akan terus mengalir sesuka hati, sepertinya orang Inggris dan Indonesia memang sama-sama lebih suka berbicara dibanding bekerja keras selayaknya orang Jerman dalam kaitannya membangun sepakbola.

Jadi wajar jika hari-hari ini kita masih menjumpai olokan untuk kejadian keplesetnya Steven Gerrard sekian musim lalu, bahkan SBY pun sudah tak jadi Presiden Indonesia, keplesetnya tetap abadi.

Komentar

This website uses cookies.