Pelajaran Bahasa Indonesia Untuk Arsenal

Ditinggal sembilan pemain intinya, Arsenal melawat ke Allianz Arena, kandang Bayern Munchen. Masih belum cukup, kembali tersiar kabar sebelum kick-off bahwa Laurent Koscielny harus duduk manis di bangku cadangan karena cedera panggul. Sempurna, sepuluh pemain pilihan pertama cedera. Kamis (5/11) dini hari waktu Indonesia, skuat asuhan Arsene Wenger tersebut melewati salah satu 90 menit yang panjang dalam hidup mereka.

Skor akhir menunjukkan betapa Bayern yang superior. Lima kali jala Petr Cech dikoyak dengan cara-cara sederhana. Namun, anehnya, tidak ada perasaan hampa melihat lima gol bersarang di gawang kiper asal Ceko tersebut. Ya, sejak sebelum laga melawan Bayern ini, perasaan realistis sudah mengakar dan membantu memaklumi siksaan-siksaan yang bakal diterima para pemain Arsenal. Mungkin memang banyak Gooners sedunia sudah merelakan laga ini bahkan sebelum wasit meniup peluit tanda sepak mula. Sekali lagi jujur, bukan hasil akhir yang membuat kopi pagi setelah pertandingan itu terasa asin. Melihat Mathieu Debuchy yang pontang-panting menutup ruang dan dikerjai pemain-pemain Bayern justru menjadi sembilu tersendiri.

Begitu Hector Bellerin divonis akan absen di laga ini, nama Debuchy langsung naik ke permukaan. Bek kanan asal Prancis tersebut menjadi satu-satunya pilihan realistis untuk pos yang ditinggalkan Hector Ballerin jika dibandingkan dengan Callum Chambers, yang belum juga menunjukkan gelagat bakal fulfill ekspektasi tinggi banyak pihak. Ironis, sebelumnya Debuchy diproyeksikan menjadi pilihan pertama menggantikan Bacary Sagna. Sayang, cedera panjang membuat sentuhan bola dan kemampuan reading the game-nya terjun bebas. Bek yang didatangkan dari Newcastle United tersebut belum pernah lagi tampil konsisten saat diberi kepercayaan. Sosok Bellerin yang melesat dan berkembang sangat sempurna seperti menjadi momok bagi Debuchy.

Pelajaran bahasa Indonesia

Oke, Debuchy memang tampil buruk dan tidak konsisten sejak bebas dari cidera dan saat mendapatkan kesempatan bermain. Namun, saat melawan FC Hollywood, beberapa pemain Arsenal juga tidak bermain dengan urgensi yang nyata. Begini, tim asal London Utara tersebut membutuhkan hasil positif untuk membuka jalan lolos ke babak 16 besar Liga Champions. Hasil imbang memang masih akan disyukuri. Namun, kemenangan tentu akan terasa sangat melegakan, seperti hujan di tengah kemarau panjang. Nah, di tengah situasi seperti ini, mulai dari barisan pertahanan, gelandang, dan penyerang tidak menunjukkan pemahaman yang seragam. Alpa, beberapa pemain Arsenal justru membantu Bayern memenuhi hasrat balas dendam.

BACA JUGA:  Memaklumi Performa Liverpool Musim 2015/2016

Tengok bagaimana Gabriel Paulista telat satu detik untuk naik untuk memicu jebakan offside bagi gol pertama Bayern yang dicetak Robert Lewandowski. Lalu, Francis Coquelin dan Santi Cazorla yang tidak awas dengan space di depan duet bek sentral. Gol David Alaba menjadi sajian yang begitu nyata bagaimana double pivot membiarkan seorang pemain menguasi bola selama hampir 10 detik dan membuat tiga hingga empat sentuhan sebelum melepaskan tembakan sederhana dari depan bek tengah. Masih ada Joel Campbell yang seperti demam panggung kronis ketika turun bersama Arsenal untuk pertama kalinya dalam sebuah high intesity game. Lalu, Alexis Sanchez juga seperti kekurangan darah dan tidak menunjukkan sentuhan terbaiknya, justru ketika Arsenal sangat membutuhkan tenaganya.

Paragraf di atas memang terasa pahit, namun bukan dengan tujuan blaming secara buta. Penulis ingin menegaskan bahwa para pemain internasional ini bermain dengan tajuk “Pemain Arsenal”. Nama-nama seperti Debuchy, Gabriel Paulista, Joel Campbell, atau Alexis Sanchez akan selalu menyiratkan konteks besar bernama Arsenal Football Club. Begitu pula sebaiknya, Arsenal akan selalu berafiliasi dengan pemain-pemain tersebut. Jika ada tajuk berita “Arsenal Dibantai Bayern Munchen” atau “Arsenal Merana di Allianz Arena” artinya pemain-pemain tersebut yang dibantai dan dibuat merana.

Seperti pemahaman majas pertautan dalam khazanah ilmu Bahasa Indonesia, Arsenal dan para pemainnya adalah sifat totem pro parte dan pars pro toto. Jika pernah belajar Bahasa Indonesia di bangku sekolah, pembaca pasti akrab dengan ragam majas, mulai dari personifikasi, hiperbola, ironi, hingga majas pertautan atau sinekdoke. Majas sinekdoke adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mewakili hal lain di luar arti kata yang diungkapkan. Majas ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu totem pro parte dan pars pro toto.

Totem pro parte yaitu gaya bahasa yang menyebutkan bagian besar dari sesuatu untuk mewakili sebagian. Contohnya, perhatikan kalimat berikut, “Arsenal berhasil mencetak satu gol ke gawang Bayern Munchen pada menit ke-69”. Subjek kalimat tersebut tentunya merujuk kepada Oliver Giroud yang membuat gol dengan sepakan salto. Bagian besar (Arsenal) mewakili sebagian (Giroud). Untuk The Gunners, para pemain yang mengenakan emblem meriam di dadanya akan selalu bertalian dengan klub. Seperti disinggung di atas, jika Arsenal yang terbantai, artinya para pemainnya yang berdarah-darah.

BACA JUGA:  Liverpool vs Everton: Benci Tapi Cinta

Pars pro toto adalah gaya bahasa yang menyebutkan bagian kecil dari sesuatu untuk mewakili keseluruhan. Contohnya, “Kaki-kaki lelah Arsenal diterjang Die Roten di Allianz Arena.” Kaki-kaki lelah yang digaris bawah pada kalimat di atas merupakan bagian kecil (para pemain) untuk mewakili keseluruhan (Arsenal). Jadi, jika pembaca berbicara Alexis Sanchez, Mesut Ozil, atau Mathieu Debuchy artinya sedang membicarakan Arsenal dalam konteks besar yang diwakilinya. Pemain-pemain akan dicatat dalam ingatan sebagai pemain Arsenal, yang mana pernah “dikerjai” Bayern Munchen. Oleh sebab itu, memahami bahwa diri ini bagian dari ingatan klub seharusnya cukup membuat pemain terpacu untuk terus memelihara urgensi dan menjaga mental diri.

Pada akhirnya, seperti kata kak Dennis Bergkamp, “When you start supporting a football club, you don’t support it because of the trophies, or a player, or history, you support it because you found yourself somewhere there, found a place where you belong.” Kalimat legendaris tersebut memang ditujukan untuk fans, namun tidak ada salahnya untuk diperas, diperam, dan dihayati para pemain. Bermain dengan emblem meriam, artinya memahami bahwa di dalam gejolak ledakan mesiu, kamu menemukan sebuah ruang aktualisasi diri dan tempat terbaik untuk selalu disebut: rumah.

#COYG

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.