Beberapa waktu lalu, jagad Twitter dihebohkan dengan video pertolongan pertama cedera salah satu pemain Persiraja yang terkapar.
Dalam video yang beredar, tim medis terlihat kurang paham dengan langkah-langkah pertolongan pertama kepada pemain yang cedera.
Mereka beberapa kali mengangkat perut sang pemain, padahal ia terkulai lemah dan tidak memberikan respons.
Suatu waktu saya melihat cuitan @riyandi42 ketika mengajak workshop untuk kejadian kritis di lapangan dan reaksi dari klub negatif. Sedih.
Padahal insiden kritis rentan terjadi dlm olahraga kayak sepak bola.
Meski banyak yg abai, edukasi tetap kudu getol dari berbagai pihak. pic.twitter.com/YLP4kgqoAf
— Ilhamzada (@iIhamzada) November 25, 2021
Video itu sendiri mengingatkan saya tentang insiden yang dialami Christian Eriksen di Piala Eropa 2020 sekitar lima bulan lalu.
Kala itu, Eriksen tiba-tiba jatuh di lapangan. Dengan sigap, Simon Kjaer segera memberikan pertolongan pertama pada Eriksen sembari menunggu tim medis masuk ke lapangan.
Para pemian Tim Nasional Denmark juga langsung mengelilingi gelandang Flamboyan tersebut untuk menyembunyikan proses pertolongan pertama dari sorot kamera.
Kalau saya tidak salah ingat, sebelumnya sudah pernah ada sekitar lima kasus pemain mengalami cedera berat bahkan kehilangan kesadaran akibat insiden benturan ketika pertandingan di Indonesia.
Peristiwa yang paling saya ingat adalah Aji Saka yang terbentur tiang gawang dan mengalami kejang pada 2017 lalu. Ya, peristiwa itu terjadi tepat di depan mata saya.
Saat itu, Aji langsung mendapat pertolongan pertama dari Cristian Gonzales sembari menunggu tim medis datang.
Setelah itu, tim medis mengambilalih dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Syukur kondisinya baik-baik saja dan diperbolehkan pulang usai menjalani pemeriksaan.
Sepakbola adalah salah satu olahraga dengan risiko cedera yang cukup tinggi. Pasalnya, kontak fisik yang melibatkan pemain memiliki persentase yang tinggi sebab bisa terjadi kapan saja.
Terjadinya benturan dengan benda-benda keras di sekitar lapangan, seperti tiang gawang atau bahkan papan iklan pun lumrah terjadi.
Sudah sewajarnya bila para pemain yang merumput di Liga Indonesia (seluruh level) dibekali dengan keterampilan pertolongan pertama, baik itu berupa BLS (Basic Life Support), CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) atau RICE (Rest, Ice, Compression, and Elevation).
September lalu, Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI) sebagai organisasi yang menaungi para pesepakbola profesional sudah melangkah lebih maju.
APPI bekerja sama dengan Borneo FC untuk mengadakan workshop pertolongan pertama. Sayangnya, langkah tersebut berhenti di sana.
Hingga kemudian bulan lalu saya membaca cuitan dari Riyandi Ramadhana tentang tawaran workshop bantuan hidup dasar atau BLS kepada salah satu klub Liga 1 yang ditolak.
Kontek salah satu klub liga 1 untuk kasih workshop bantuan hidup dasar terkait henti jantung ke pemain.. jawabannya “maaf mas kami fokus pertandingan, belum ada kebutuhan workshop” OKESIPP!!! 🙃🙃🙃🙃
— riyandi ramadhana (@riyandi42) October 25, 2021
Klub tersebut beralasan ingin fokus pada pertandingan dan belum ada kebutuhan untuk melaksanakan workshop!
Kalau saya boleh jujur, Liga 1 dan Liga 2 itu statusnya adalah kompetisi profesional, rasanya wajar kalau menolak tawaran workshop.
Jadwal kegiatan mereka sangatlah padat. Mulai dari latihan, bertanding, pemulihan fisik, menganalisis tim lawan dan lain sebagainya.
Belum lagi persaingan antar tim yang semakin ketat. Liga 2 misalnya, yang sebelumnya punya jangka waktu kompetisi cukup panjang.
Akan tetapi, musim ini masing-masing klub kurang lebih hanya menjalani 10 pertandingan saja di babak penyisihan.
Bahkan, 10 pertandingan itu sudah langsung menentukan tim mana yang akan terdegradasi ke Liga 3 dan tim mana yang berhak melaju ke babak 8 besar guna berebut tiket promosi ke Liga 1.
Dari Liga 1 sendiri, kompetisinya tetap digelar dengan sistem penuh. Namun adanya pandemi Covid-19 membuat ajang ini dikemas serial.
Sejumlah pertandingan dilaksanakan di provinsi yang sama atau berdekatan. Setidaknya masing-masing klub akan bertanding empat kali pada tiap serinya.
Jadwal pertandingan Liga 1 juga berkejaran dengan jadwal Tim Nasional Indonesia. Apalagi untuk klub yang pemainnya dipanggil negara, padatnya jadwal tentu melelahkan.
Pelatihan pertolongan pertama sejatinya menjadi kebutuhan penting dalam dunia olahraga, termasuk sepakbola.
Nahasnya, hal tersebut dirasa bukan prioritas oleh pengelola sepakbola Indonesia, khususnya para pengelola klub-klub yang ada.
Padahal, pelatihan semacam ini amat berguna bagi para pesepakbola yang beraksi di lapangan sehingga mereka tahu apa yang mesti diperbuat ketika ada rekan seprofesinya mengalami kolaps di lapangan akibat benturan atau masalah fisik lainnya.
Barangkali, profesionalitas sepakbola Indonesia memang sudah mencapai level adiluhung sehingga workshop semacam ini dianggap hal remeh dan lebih cocok dihelat oleh mereka yang berkecimpung di ranah amatir.
Apalagi federasi maupun operator kompetisi yang terkenal abai dan hanya mementingkan hal-hal komersial juga tak merekomendasikan pelatihan semacam ini. Jadi untuk apa klub-klub tanah air repot melakukannya?
Kalau ada pemain yang cedera dan tertangani seadanya lalu ia mengalami cedera ringan, ya, memang begitu adanya. Andai si pemain mengalami cedera berat, ya, anggapanya sedang apes saja.
Edukasi mengenai pertolongan pertama atau bantuan dasar hidup dalam penanganan cedera yang sangat penting bagi para pemain saja dinilai sepele. Tak menutup kemungkinan hal-hal esensial lainnya juga dirasa tak begitu penting.
Perasaan para pemain bahwa tim sudah memiliki tim medis yang dapat diandalkan akhirnya mengeliminasi keinginan untuk mempelajari dasar-dasar bantuan hidup.
“Ah, sudah ada dokter tim”.
Menariknya, baru-baru ini kedapatan sebuah kasus bahwa Elwizan Aminuddin yang menjadi dokter tim PSS Sleman dan pernah juga bekerja untuk Madura United dan Kalteng Putra rupanya seorang dokter gadungan.
Kalau sudah begini, andai kembali terjadi peristiwa seperti yang dialami pemain Persiraja, siapa yang bisa diandalkan buat menyelamatkan nyawanya.
Rekan setimnya tak tahu cara melakukan memberikan bantuan dasar. Pun dengan tim medis yang kini dipertanyakan proses perekrutannya.
Ah, sepakbola kita memang begitu. Tak pernah mau mengantisipasi segala hal yang mungkin terjadi. Apalagi kalau tak berkaitan dengan sisi komersial.
Mereka baru sibuk bertindak kalau sudah ada kejadian memilukan. Bila tak mampu menangani dengan baik, mereka tinggal menyalahkan pihak-pihak lain sesuai kebiasaan yang dipelihara selama ini. Namanya juga profesional.