Ruang kosong yang memiliki makna, di dalam sepak bola, harganya sangat mahal. Di lapangan, membiarkan ruang kosong dieksploitasi lawan sepanjang laga artinya bunuh diri. Namun, apakah ruang kosong yang memiliki makna hanya milik 90 menit di lapangan hijau saja? Jelas tidak, karena mata rantai penting bagi sepak bola juga ada di luar lapangan hijau, yaitu terkait sematan niat di antara faktor teknis dan non-teknis.
Tulisan ini berusaha menyahut sebuah artikel polesan Yoga Cholandha yang berjudul “Negative Space dan Tertinggalnya Sepak Bola Kita”. Di dalam artikelnya, Yoga menyinggung kekalahan Indonesia U-23 dari Thailand U-23 di semifinal SEA Games 2015 dengan skor 5-0. Selain menampilkan kekalahan, timnas U-23 juga menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia masih jauh dari memahami betapa pentingnya memaknai ruang. Berikut salah satu narasi dalam artikel tersebut:
“Saya tak paham secara mendetil soal taktik beserta seluk beluknya, akan tetapi, secara kasatmata saja, terlihat bagaimana celah yang tercipta antara lini belakang dan tengah dengan lini depan timnas Indonesia U-23. Celah ini kemudian menjadi negative space karena di sinilah Thailand mengontrol permainan secara keseluruhan. Celah inilah yang menjadi “ruang kosong yang memiliki makna” pada laga semalam.”
“Ruang yang memiliki makna” dalam sepak bola sangat berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi. Letupan-letupan individu dalam wujud gocekan misalnya, bukan sesuatu yang buruk. Namun, proses kreativitas tersebut harus berada dalam kerangka efektivitas yang ingin dicapai, misalnya untuk penetrasi, perpindahan ruang, dan tujuan kompaksi tertentu. Bahkan, saat ini, aspek efektif dan efisien tidak lagi diterapkan dengan memindahkan bola dari kaki ke kaki saja, namun memindahkan atau mengarahkan lawan supaya menuju ke sisi atau ruang tertentu menggunakan bola.
Secara garis besar, dari ajang SEA Games 2015 yang lalu, masalah ruang yang urgensinya sangat tinggi pun timnas kita masih susah payah untuk memahami. Masalah ruang sangat berkaitan dengan proses teknis, yaitu dari pemahaman akan bentuk permainan, menerapkan taktik, mengukur kompaksi, mengatur jarak antarpemain, dan lain sebagainya. Intinya, masalah ruang berkaitan dengan ranah teknis. Namun, apakah masalah sepak bola Indonesia hanya berhenti di masalah teknis? Tentu tidak, ada masalah lain yang yang musti dibenahi dan letaknya bukan di dalam lapangan.
Negative space di luar lapangan
Seperti yang penulis singgung di bagian lead tulisan ini, “ruang kosong yang memiliki makna” tidak serta merta terjadi karena urusan teknis semata. Ada satu bagian non-teknis yang sangat krusial. Satu bagian, karena ada begitu banyak faktor non-teknis yang sangat layak untuk dikupas. Ingat, tujuannya bukan untuk membuka borok suatu instansi atau seseorang. Ini semata untuk menjadi bekal menuju sepak bola modern, manusiawi, dan memiliki makna.
Pada kesempatan ini, penulis ingin berbicara soal visi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), visi adalah kemampuan untuk melihat pada inti persoalan, pandangan atau wawasan ke depan, dan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak tampak melalui kehalusan jiwa dan ketajaman penglihatan. Masih menurut sumber yang sama, visi juga berarti pengamatan. Pengertian tersebut akan digunakan sebagai kerangka berpikir dan pembanding. Kita mulai dari dalam lapangan untuk memberi sedikit gambaran.
Dari dua laga timnas U-23 melawan Thailand dan Vietnam, ada satu irisan yang sama, yaitu masalah ruang dan kompaksi yang melahirkan negative space. Irisan tersebut dilukiskan dengan baik oleh Qo’id Naufal lewat artikelnya yang berjudul “Indonesia U-23 vs Vietnam U-23: Gagal Mengatur Tempo, Gagal Mengontrol Ruang, dan Gagal Berprestasi”. Pertanyaannya, kenapa hal itu terjadi, bahkan sampai dua kali? Yoga Cholandha sekali lagi menemukan pembenarannya, yaitu sepak bola kita memang tertinggal. Kedua, unsur-unsur, termasuk Sumber Daya Manusia (SDM), meskipun tidak seluruhnya, kurang aware dengan cepatnya perkembangan filosofi sepak bola dunia.
Masalah kompaksi dan pemahaman ruang bisa dicapai dengan pelatihan yang intensif dan kemauan untuk belajar. Dua syarat tersebut harus dimiliki tim pelatih dan pemain sendiri. Ini soal pengetahuan, bukan lagi sebatas passion dan punya modal (baca: uang) untuk menjalankan liga atau kompetisi. Ingat, unsur terpenting dari kompetisi adalah manusia yang berada di dalamnya. Kompetisi yang sehat terdiri dari jiwa yang kuat dan hal itu nampak dari SDM yang hidup dan berkembang menyertainya.
Dari paragraf di atas terlihat bahwa urusan kompaksi dan ruang berawal bukan hanya dari pemahaman taktik saja, tetapi dari sisi kemauan untuk berkembang mengikuti filosofi sepak bola kekinian. Kini kita kaitkan perihal filosofi dengan visi yang sudah penulis singgung di atas. Kita tekankan pada sisi melihat inti persoalan, wawasan ke depan, dan pengamatan.
Melihat inti permasalahan memang bukan tugas ringan karena ada banyak aspek yang musti dibedah. Namun, dari dua laga melawan Thailand dan Vietnam, sering kita melihat pemain terlalu sering menggocek bola. Bukan hanya di dua laga tersebut, timnas U-23 juga sering terlalu lama menggoreng bola ketika masih di babak kualifikasi. Kalimat di atas memang tidak bisa dijadikan justifikasi, namun bisa menjadi gambaran bahwa “sampiran” masih terlalu molek ketimbang “isi” bagi sepak bola Indonesia. Alasannya, ketika U-19 masih diasuh Indra Sjafri, timnas mampu menunjukkan bentuk permainan modern dan efisien. Artinya, ada visi (mau memahami) perkembangan sepak bola dunia. Inti masalahnya: kenapa pemikiran demikian tidak dilanjutkan dan justru timnas U-23 bermain dengan bentuk yang berbeda dan justru dengan sistem yang “terasa” kuno?
Nah, mempunyai modal wawasan ke depan juga bukan barang murah. Idealnya, timnas merupakan sebuah kelompok pemain yang disaring dari sistem kompetisi yang sehat. Di dalam kompetisi, klub hidup dan berlomba. Di dalam kehidupan klub, ada pembagian tim utama dan akademi. Keduanya harus saling menunjang dan tidak mengeliminasi kesempatan masing-masing. Namun, dilihat dari sistem kompetisi sepak bola kita saat ini, jelas bahwa visi (wawasan) ke depan masih belum maksimal. Bakat-bakat terbaik kadang berada di bawah radar dan tidak terdeteksi. Visi wawasan ke depan juga berkaitan dengan persiapan yang ideal. Jika kita hidup dan memaklumi Tur Nusantara Jilid I dan 2, maka persiapan ideal macam apa yang harus kita perjuangkan?
Terkait pemahaman, satu syarat utama adalah membuka keran inspirasi dan kemauan berkembang. Ketika melawan Thailand, lalu Vietnam, timnas seharusnya paham betul dengan pola permainan lawan. Saat pengamatan, timnas seharusnya sudah tahu apa yang perlu dilakukan di atas lapangan. Namun, hal ini tidak terlihat. Kenapa? Mengamati bukan sebatas melihat dan mencatat. Mengamati artinya memaknai, menyaring inti sari, kemudian menerapkan hasil pengamatan tersebut dalam output yang positif. Kembali, ini soal kemauan dan sejauh mana pemahaman akan sebuah perkembangan sepak bola modern.
Percik-percik ketertinggalan melahirkan banyak negative space yang melemahkan sepak bola Indonesia dari luar lapangan. Seperti kata Qo’id Naufal dalam artikelnya, jangan berbicara mental dahulu karena modal besar berupa daya serap pengetahuan sepak bola modern pun kita tertinggal sangat jauh. Sebelum membicarakan mental, coba teropong lagi sampai mana kita membangun nilai diri dan kekuatan percaya diri. Teropong visi bukan soal hitam di atas putih atau membuat cetak biru saja. Visi adalah garis putih yang benar-benar dipatuhi. Pada akhirnya, apakah kita sudah mampu untuk secara rendah hati mengakui bahwa, Ya, kita harus benar-benar berubah.