Tanpa perlu disangkal dan diperdebatkan panjang lebar, FC Barcelona adalah sebuah klub hebat, terpandang, dan bermental juara. Tujuh gelar liga dalam sepuluh tahun terakhir adalah bukti nyata bahwa dominasi tim Catalan di Liga Spanyol adalah mutlak.
Fakta yang agaknya susah dibantah, mengingat kesebelasan ini punya tradisi juara yang panjang dan sejarah kejayaan yang paten.
Terkenal dengan filosofi permainan yang atraktif, kemegahan Camp Nou dan semangat revivalis khas Catalan, serta kompetensi akademi sepak bola La Masia yang begitu mahsyur di dunia, Barcelona adalah simbol sebuah kesebelasan yang layak disebut sebagai tim terbaik di dunia.
Terbaik dari segi finansial, profesionalisme, permainan di atas lapangan, kapabilitas taktik, hingga pesona para pemainnya, terlebih lagi, Sang Messiah dari Rosario, Lionel Messi.
Tapi, blunder besar dilakukan Barcelona perihal dukungan klub dan rilis pernyataan resmi presiden klub, Josep Maria Bartomeu, yang menyuarakan dukungan pada Lionel Messi yang saat ini tengah tersandung kasus penggelapan pajak.
Messi, seperti yang sudah kita semua tahu dari berita yang viral di media, terkena kasus penggelapan pajak yang menimpanya dengan dakwaan mengemplang pajak dari tahun 2007 sampai 2009.
Pengadilan tinggi Spanyol juga sudah mendakwa kapten timnas Argentina yang memutuskan pensiun dari timnas usai Copa America 2016 dengan hukuman kurungan penjara 21 bulan dan denda mencapai 3,6 juta euro.
Denda yang sebenarnya kelewat mudah untuk dibayar dan dilunasi Messi mengingat, ia bersama Cristiano Ronaldo dan LeBron James adalah tiga olahargawan berpenghasilan tertinggi menurut survey Forbes per tahun 2016.
Dan dukungan yang disuarakan Bartomeu dan segenap klub FC Barcelona, adalah sebuah absurditas yang aneh, menggelikan, juga salah sasaran.
Membela kriminalitas
Menggelapkan pajak adalah tindak kriminal, apa pun, bagaimanapun dan siapa pun pelakunya. Itulah kenapa upaya yang dilakukan Barcelona dengan menyuarakan dan menunjukkan tagar #WeAreAllLeoMessi adalah sebuah sikap yang konyol, bebal dan menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
Barcelona mengajak para penggemarnya, juga siapa pun yang berafiliasi dengan mereka, guna memberikan dukungan kepada Lionel Messi, melalui berbagai cara semisal dengan mengunggah foto, kutipan, tulisan atau catatan apa pun bentuknya yang berkaitan dengan kasus pajak Messi dan berupaya untuk menggunakan tagar seperti yang ditulis di atas.
Bartomeu, dalam rilis pernyataannya lewat cuitan di akun Twitter resminya per 8 juli 2016 lalu, berujar bahwa siapa pun yang menyerang Messi dengan kasus pajak ini, sama artinya dengan menyerang Barcelona dan sejarah hebatnya.
Sebuah pernyataan yang kelewat tolol untuk diucapkan seorang presiden klub, terlebih, sang megabintang tengah tersandung kasus yang tidak sepele dan terancam hukuman penjara hampir mendekati dua tahun lamanya.
Ini menjadi makin absurd karena diucapkan oleh presiden klub Barcelona dan konyolnya lagi, didukung oleh segenap elemen di klub tersebut dengan tagar #WeAreAllLeoMessi itu tadi.
Sikap Barcelona yang membela Lionel Messi menunjukkan kepada khalayak bahwa di satu sisi, dalam sudut pandang tertentu, klub ini mendukung kejahatan yang dilakukan La Pulga. Bahkan, dengan tagar yang mengisyaratkan bahwa kita semua adalah Leo Messi, secara semiotik, Blaugrana ingin agar semua orang menjadi seperti Messi, yang mengemplang pajak dan menjadi seorang kriminal.
Dalam konteks kasus pajak Messi, tagar seperti itu sungguh menunjukkan sikap yang sangat buruk dari manajemen Los Cules dan segenap elemen di dalamnya.
Sikap Barcelona adalah contoh buruk
Andai dikomparasikan dengan beberapa dakwaan yang menimpa banyak pemain dari klub lain, satu yang mungkin masih hangat di ingatan adalah dakwaan yang menimpa David De Gea perihal kasus kekerasan seksual yang menimpanya pada tahun 2012 dan baru dinaikkan ke permukaan pada pertengahan Juni 2016 lalu saat Spanyol bersiap menghadapi Piala Eropa 2016.
Kasus kekerasan seksual yang menimpa De Gea memang membuatnya terancam dipulangkan timnas Spanyol dan menerima dakwaan berat serta sangat memungkinkan bahwa ia akan menjadi tersangka dan menerima hukuman penjara.
Dan lihat yang dilakukan Manchester United kemudian. Tidak ada pembelaan. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada dukungan dan tidak ada tagar. Sikap yang bagus dari segenap manajemen United.
Membela pemain, untuk suatu kontroversi atau kesalahan yang mereka lakukan di dalam atau di luar lapangan memang baik, tapi memahami konteks dakwaan dan tindak kriminal yang mereka lakukan, klub harus sadar bahwa pemain terikat kontrak profesional, dan segala tindakan kriminal yang mereka lakukan, bisa mencoreng citra klub dan merusak reputasi atau club’s stature di mata masyarakat global.
Itulah kenapa sikap Manchester United perihal kasus De Gea adalah contoh yang baik. Tidak ada dukungan. Dan tidak ada reaksi berlebih seperti yang dilakukan oleh Bartomeu.
Satu keputusan tepat dari Ed Woodward, setidaknya, sebuah hal positif yang bisa ia lakukan bagi United selain salah satunya, sukses mengontrak Jose Mourinho.
Perlukah klub membela pemain?
Karena satu dan lain hal, saya tidak setuju bahwa klub perlu membela seorang pemain yang terbukti bersalah dan terlibat tindak kriminal karena itu mencoreng citra baik sebuah kesebelasan itu sendiri.
Tapi untuk berbagai alasan lainnya, saya rasa klub dan segenap elemen di dalamnya perlu membuat si pemain tidak merasa sendiri dengan memberikan dukungan moril yang bersikap pribadi dan tertutup. Jadi hanya di lingkup internal mereka saja, tidak perlu sampai membuat tagar dan membombastikan dukungan bagi seorang terpidana.
Contoh yang paling apik adalah bagaimana Sunderland langsung memutus kontrak Adam Johnson ketika yang bersangkutan tersandung kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual pada anak di bawah umur. Sebuah pilihan sikap yang bijak dari Sunderland.
Ada lagi contoh yakni keputusan Didier Deshamps yang mencoret Karim Benzema dari timnas Prancis karena kasus rekaman video seks yang menimpa si pemain dengan Mathieu Valbuena.
Sikap Deschamps yang mencoret Benzema perlu diapresiasi karena ia berani mengabaikan fakta bahwa pemain Real Madrid ini adalah ujung tombak utama Les Bleus dan berani memilih mengorbankan si pemain dan menjaga keutuhan skuatnya.
Atau bagaimana sikap Manchester United yang mencoret nama Eric Cantona dari skuat musim 1994/1995 usai tendangan kungfu fenomenalnya terhadap suporter Crystal Palace, Matthew Simmons. Sebelum pengadilan mendakwa Cantona hukuman dua minggu penjara (yang kemudian diganti menjadi kerja sosial selama 120 jam), manajemen United sudah lebih dulu memastikan mencoret nama Cantona dari skuat resmi musim itu.
Itu masih ditambah dengan denda 20 ribu poundsterling. Dan ditambah larangan bermain selama delapan bulan dari FA. Hebatnya, Sir Alex Ferguson bahkan menawari perpanjangan kontrak bagi Cantona dan dua musim setelahnya, menjadikannya kapten tim. Sebuah sikap yang luar biasa dari United.
Itulah beberapa contoh sikap-sikap dari kesebelasan profesional yang sepatutnya menjadi contoh bagi banyak tim profesional lainnya perihal cara mereka menangani pemain-pemain yang terikat kontrak dengan mereka.
Pemain perlu tahu bahwa mereka profesional, bukan amatir. Dan profesionalitas itu bisa dibuktikan ketika mereka tersangkut kasus dan klub bebas untuk tidak peduli atau ikut campur dengan hal itu.
Dukungan moril yang bersifat pribadi lebih layak dan sangat cocok dilakukan daripada membuat tagar dan menyuarakan dukungan di media sosial yang membuatnya menunjukkan bahwa segenap elemen di klub mendukung si pemain yang terbukti sudah melakukan tindak kriminal.
Karena satu dan lain hal, mendukung seorang pemain yang terlibat kriminalitas bisa diartikan secara simbolik bahwa kesebelasan bersangkutan juga mendukung tindak kejahatan yang dilakukan si pemain.
Entah Lionel Messi atau pemain profesional dari kasta sepak bola rendah sekalipun, a crime is a crime, dan klub yang berjalan dengan cara profesional seharusnya paham hal ini sebelum bertindak lebih jauh.
Shame on you, Barcelona.