Rasisme: Musuh Sepakbola, Musuh Kita Semua

Kematian George Floyd yang sempat terekam kamera beberapa waktu lalu akhirnya mengundang rasa simpati dari berbagai kalangan. Gelombang protes dan unjuk rasa dari masyarakat (yang bahkan sebagian besarnya berkulit putih) mulai membanjiri kantor polisi di kota Minneapolis. Beragam slogan seperti ‘Justice for Floyd’ hingga tagar #BlackLivesMatter berkumandang di dunia maya dan dunia nyata. Masalah ini tampaknya tidak saja soal upaya untuk menuntut keadilan, tetapi juga soal rasisme. Masalah rasis tampaknya menjadi musuh bersama, termasuk musuh bagi dunia sepakbola.

Munculnya aksi rasisme yang sering terjadi di liga-liga besar Eropa tidak terlepas dari sejarah bangsa tersebut dan kondisi sosial ekonominya. Di Jerman misalnya, pengaruh Adolf Hitler dan Nazi yang gencar mengumandangkan pemurnian ras bangsa Arya tampaknya masih menjalar hingga saat ini.

Sekalipun peristiwa mengerikan itu sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lampau dan erat kaitannya dengan bidang sosial, politik, dan ekonomi, tetapi dampak peristiwa tersebut masih terlihat sampai sekarang bahkan merambah hingga ke kancah sepakbola. Aksi rasisme masih kerap terjadi dalam lingkup sepakbola Jerman.

Dua tahun lalu, publik Jerman dihebohkan dengan foto Mesut Ozil dan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan. Pose keduanya lantas memicu komentar-komentar pedas dari publik lantaran Ozil sendiri merupakan seorang Jerman yang berdarah Turki.

Permasalahan ini semakin pelik ketika pose tersebut dinilai bermuatan politis. Problem ini makin melebar seiring kekalahan Jerman di Piala Dunia 2018, Ozil menerima perlakuan rasis dan dianggap sebagai biang keladi dari kegagalan Der Panzer untuk lolos dari babak penyisihan grup di Rusia.

“Saya dulu memakai kostum Jerman dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan, tetapi sekarang tidak. Keputusan ini (pensiun dari timnas Jerman) sangat berat karena saya selalu memberikan segalanya untuk rekan tim saya, staf pelatih, dan orang-orang Jerman yang baik. Namun, ketika akar keturunan saya yang berasal dari Turki tidak dihargai dan menggunakan saya sebagai propaganda politik, maka cukup sudah. Itu bukan alasan saya bermain sepakbola, dan saya tidak akan diam. Rasisme jangan pernah ditolerir,” terang Ozil seperti dilansir dari DW.

Lain Ozil, lain lagi dengan FSV Mainz. Baru-baru ini, publik sepakbola Jerman (dan dunia) dikejutkan oleh perilaku seorang suporter Mainz yang mengeluarkan diri dari keanggotaannya karena terlalu banyak pemain berkulit hitam dalam skuad tim kesayangannya.

“Selama beberapa bulan terakhir, saya tak bisa mengasosiasikan diri saya dengan klub ini. Saya merasa seperti berada di Piala Afrika, bukannya Bundesliga. Saya bukan orang rasis, saya pun membencinya. Namun rasanya sudah terlalu banyak. Ketika susunan pemain ini terdiri dari sembilan pemain berkulit hitam dan anak-anak muda Jerman semakin sedikit mendapat kesempatan bermain, ini bukan lagi klub yang selama ini ada di hati saya,” kata sang supporter dilansir dari Detik.

Sebuah klub bisa saja kecewa jika ada seorang suporter yang membatalkan keanggotaannya. Namun pihak Mainz tidak merasa kecewa, apalagi menyesal atas sikap yang mereka ambil. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pernyataan mantan suporter tersebut yang berbau rasis.

“Anda benar, Anda tak bisa lagi mengasosiasikan diri dengan Mainz. Bagi kami, warna kulit tidaklah penting. Yang penting orang itu adalah manusia yang memahami nilai-nilai yang kami yakini. Orang-orang seperti itulah yang kami terima dalam klub,” demikian pernyataan Mainz seperti dirilis dari laman resmi klub.

“Biasanya kami menyesal jika ada anggota klub yang membatalkan keanggotaannya. Namun, kali ini tidak sama sekali.”

Di Italia, sisa-sisa fasisme tampaknya masih mengakar kuat bagi sekelompok orang. Pengaruh Benito Mussolini menyebabkan tingginya rasa nasionalisme bagi para pemujanya sehingga kehadiran kelompok-kelompok lain yang dianggap berbeda perlu ‘dibersihkan’. Pemahaman semacam ini dapat menjadi penyebab munculnya rasisme di Italia yang akhirnya menjalar hingga dunia sepakbola.

Silahkan hitung, berapa banyak kasus rasisme yang terjadi dalam sepakbola Italia. Sejak era Ruud Gullit dan Frank Rijkaard masih beraksi untuk AC Milan hingga saat ini, masalah rasisme masih sering terjadi. Suara monyet, pisang, dan acungan jari tengah masih sering ditemui di antara tribun-tribun stadion di Negeri Pasta.

FIFA sebagai induk organisiasi sepakbola dunia menyadari bahwa masalah rasis sering melecehkan kesucian sepakbola. Sportivitas dan fair play menjadi tercoreng akibat ulah rasis yang sering menghantui para pelaku sepakbola. Kampanye ‘Say No To Racism’, ‘Anti-Racism’, dan ‘Respect’ selalu dilancarkan oleh para petinggi sepakbola untuk memerangi masalah ini.

FIFA juga mengajak federasi sepakbola setiap negara untuk menindak tegas para pelaku rasis. Penggunaan teknologi dalam stadion telah membantu mereka untuk menginvestigasi para pelaku.

Menjelang Piala Dunia 2018 lalu, FIFA mengeluarkan regulasi baru terkait masalah rasis dan diskriminasi yang terjadi di atas lapangan. Wasit memiliki wewenang untuk menghentikan pertandingan dan memberi peringatan kepada penonton, menunda pertandingan hingga batas waktu yang ditentukan, dan jika aksi diskriminasi tersebut masih berlangsung, wasit dapat membatalkan pertandingan.

Kendati demikian, harus diakui bahwa tidak semua jalan yang ditempuh selalu membuahkan hasil yang memuaskan. Beberapa pesepakbola masih sering menerima perlakuan berbau rasis yang mencoreng keelokan sepakbola itu sendiri.

Walau berstatus sebagai salah satu anggota tim nasional Italia, Mario Balotelli adalah pemain yang kerap menerima perlakuan berbau rasis dari para suporter di sana. Tak heran kalau Balotelli pernah melakukan walk out di sebuah laga akibat muak dengan tindak rasis para suporter.

Kevin Prince-Boateng juga salah satu pemain yang pernah merasakan ganasnya mulut para tifosi Italia yang gemar menirukan suara monyet dari tribun. Selain keduanya, masih ada banyak pesepakbola berkulit hitam yang mendapat perlakuan rasis suporter di Italia.

Di Inggris, bangku penonton yang rata-rata dekat dengan pinggir lapangan tampaknya menjadi tempat paling empuk untuk mengacungkan jari tengah. Raheem Sterling pernah menghadapi hinaan tersebut ketika ingin melakukan lemparan ke dalam. Marcus Rashford dan Paul Pogba pun pernah menerima cibiran berbau rasis dari fans sendiri tatkala gagal mengeksekusi penalti di sebuah pertandingan.

Di Spanyol, Dani Alves pernah memberikan reaksi dingin dengan memakan pisang yang dilempar ke arahnya ketika fans Villarreal melempar buah tersebut dari tribun penonton sesaat sebelum Alves mengeksekusi sepak pojok. Ini hanya beberapa kasus yang disebut, sesungguhnya masih ada banyak kasus rasisme yang terjadi dalam dunia sepakbola yang tidak saja dialami oleh para pemain, tetapi juga oleh para suporter.

Rasisme sudah jadi masalah yang amat pelik, termasuk di dunia sepakbola. Itulah sebabnya, beberapa pesepakbola terkenal selalu bereaksi dan melontarkan pendapatnya terhadap masalah tersebut, meskipun terjadi di luar lapangan atau bahkan tidak ada hubungannya dengan sepakbola sekalipun.

Menghadapi masalah Floyd di Amerika Serikat, para pesepakbola menyatakan perlawanan dan solidaritasnya melalui berbagai cara. Lionel Messi, Luca Modric, dan Frenkie de Jong mengunggah postingan ‘hitam’ di akun media sosial mereka dengan tagar #BlackLivesMatter.

Beberapa pesepakbola melakukan selebrasi berlutut satu kaki demi menyampaikan rasa simpatik terhadap kasus kematian Floyd. Di Jerman, dua pemain Borussia Dortmund, Jadon Sancho dan Achraf Hakimi, menyatakan rasa simpatiknya melalui tulisan di kaos saat merayakan gol melawan Paderborn. Sementara penyerang Borussia Monchengladbach, Marcus Thuram, melakukan selebrasi berlutut satu kaki untuk mengenang kematian tragis Floyd saat timnya menghadapi Union Berlin.

Pemain Schalke asal Amerika Serikat, Weston McKennie, tampil dengan ban di lengan yang bertuliskan ‘Justice for Floyd’, sebagai penghormatan dan cara menunjukkan solidaritasnya. Di Inggris, beberapa partai liga dilaksanakan dengan tulisan ‘Black Lives Matter’ menggantikan nama para pemain di bagian jersi.

Para petinggi Bundesliga sudah memutuskan untuk tidak memberikan sanksi terhadap para pemain yang melakukan kampanye kemanusiaan tersebut. FIFA pun menjamin dan melindungi setiap pemain yang peduli akan masalah tersebut. Toh, rasisme merupakan musuh bersama yang harus diperangi.

Rasisme adalah musuh bersama, termasuk sepakbola, maka perang melawannya adalah hal yang harus diperjuangkan demi menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Komentar

This website uses cookies.