Ribut Waidi, PSIS Semarang, dan Medali Emas SEA Games 1987

PSIS Semarang tak begitu diperbincangkan belakangan ini karena lama tak berlaga di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Tim kebanggaan publik Semarang ini ironisnya kembali hangat diperbincangkan setelah pertandingan “drama” dengan PSS Sleman di Divisi Utama 2014 lalu.

Padahal, sejatinya PSIS adalah salah satu tim legendaris Indonesia. Pada masa lalu, Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang adalah klub sepak bola yang dikenal karena prestasinya.

Bermarkas di Stadion Jatidiri, klub berjuluk Mahesa Jenar tercatat sebagai juara Divisi Utama V (1999). Uniknya musim berikutnya mereka terdegrasi. Tapi, PSIS cepat bangkit dengan menjuarai kompetisi Divisi I Nasional 2001 untuk kembali berlaga di Divisi Utama.

Sedikit merunut ke belakang, ketika sukses menjadi jawara Liga Perserikatan pada tahun 1987, PSIS melahirkan salah satu generasi emas terbaiknya. Kala itu skuat PSIS diisi penggawa hebat seperti FX Tjahjono, Saiful Amri, Budiawan Hendratno, Budi Wahyono, dan sang pemain andalan, Ribut Waidi.

Ribut Waidi lahir di Trangkil, Pati, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Desember 1962. Ia adalah salah satu legenda sepak bola Indonesia.

Namanya melambung ketika ikut mengantarkan PSIS Semarang meraih gelar juara Perserikatan pada tahun 1987, dalam partai final, di Stadion Gelora Bung Karno, PSIS melibas Persebaya Surabaya dengan skor 1-0 melalui gol kemenangan yang dicetak oleh Tugiman. Walau tidak mencetak gol di final, Ribut Waidi dinobatkan sebagai pemain terbaik di pertandingan tersebut.

Ribut mengawali karier sebagai pesepak bola bersama PS Sukun Kudus pada tempo 1976 hingga 1980. Setelah itu, pemain yang bermain sebagai gelandang (atau sayap kanan) ini melanjutkan petualangannya bersama Persiku Kudus (1980), PS Kuda Laut Pertamina Semarang (1981-1984), dan PSIS Semarang (1984-1992). Bersama PSIS inilah kariernya melejit.

Setelah mengantarkan Mahesa Jenar menjadi juara, ia dipanggil PSSI untuk membela tim nasional di SEA Games 1987 Jakarta.

BACA JUGA:  Andai Hariono Menjadi Seorang Pelatih

Julukan sebagai salah satu legenda sepak bola Indonesia tidak terlalu berlebihan untuk diberikan kepada Ribut Waidi. Betapa tidak, dialah pencetak satu-satunya gol penentu kemenangan Indonesia atas Malaysia pada SEA Games 1987.

Di pertandingan itu, Malaysia dan Indonesia berusaha saling mengalahkan untuk merebut medali emas. Tapi, hingga 2 x 45 menit skor tetap 0–0.

Peluit panjang wasit ditiup pada menit 90+2. Laga kemudian dilanjutkan ke babak tambahan. Menit ke-105, menyisir dari sayap kanan dengan ditempel satu bek Malaysia, Ribut Waidi menggiring bola dengan lincah. Lepas dari kawalan, pemain berambut ikal itu kemudian melepaskan tembakan mendatar ke gawang Malaysia.

Untuk pertama kalinya tim nasional meraih medali emas cabang sepak bola sejak pertama ikut SEA Games pada 1977. Setelah itu, tim nasional kembali meraih medali emas di SEA Games Manila 1991.

“Yang lebih menegangkan lagi, gol itu terjadi pada menit ke-15 perpanjangan waktu pertama. Waktu itu jalannya pertandingan memang sangat menegangkan,” kenang Ribut.

Itulah kenangan yang paling tak terlupakan bagi Ribut. Saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, jantung Ribut ikut bergetar. Ia tak kuasa menahan air mata. “Meski saya anak ndeso, saya sudah ikut memberikan yang terbaik bagi bangsa ini melalui sepak bola,” kata Ribut.

Saat itu jutaan pasang mata menyaksikan kepiawaian Ribut dalam mengolah si kulit bulat dan menyelamatkan tim nasional di depan publiknya sendiri. Ribut pun diarak mengelilingi lapangan.

Apalagi, kemenangan itu terasa sangat manis karena Indonesia akhirnya sukses di bawah bayang-bayang pahit SEA Games 1979. Saat itu, di stadion, bulan, dan lawan yang sama pada final SEA Games, Indonesia dihempaskan Malaysia 0-2 pada 30 September 1979.

Memang, pertandingan akan lebih panas jika Indonesia melawan negeri jiran. Rivalitas sebagai sesama negeri melayu dan konflik yang kerap melibatkan kedua negara membuat kemenangan atas Malaysia memang lebih menyenangkan.

BACA JUGA:  Asnawi Mengejar Impian di Lapangan Hijau

Sejak saat itu, Ribut selalu dipanggil ke tim nasional. Sepanjang 1986-1990, pemain yang selalu memakai nomor punggung 10 ini membela tim nasional ke Piala Kemerdekaan, kualifikasi Piala Asia, serta Pra-Piala Dunia.

***

Ribut Waidi meninggal pada 3 Juni 2012 di usia 50 tahun. Dia meninggalkan istri dan tiga anak. Kepergian almarhum membawa duka yang mendalam bagi keluarganya. Sebab, sebelumnya tidak ada tanda-tanda Ribut Waidi menderita penyakit tertentu.

Di antara para pelayat saat itu, terlihat Mantan Ketua PSIS Ismangoen Notosapoetro dan pelatih Cornelis Soetadi. Selain itu sejumlah rekan pemain Ribut Waidi di PSIS seperti Ahmad Muhariah, Sudaryanto, dan Budi Wahyono ikut hadir mengantarkan Ribut Waidi ke peristirahatan terakhirnya.

”Kami kehilangan sosok pemain besar di negeri ini. Saat dia (Ribut Waidi) di lapangan, semua menjadi mudah. Bisa dikatakan, biarkan saja ketika dia sedang menguasai bola, pasti nanti dia tahu apa yang terbaik bagi timnya,” kata Cornelis yang sempat menjadi asisten pelatih di PSIS di masa Ribut Waidi dkk bermain.

Pada 1992, Ribut Waidi memutuskan pensiun sebagai pemain. Akan tetapi, hidupnya tidak bisa lepas dari dunia sepak bola. Menjalani profesi di Pertamina sebagai pengawas di Depo Pengapon, Semarang, Ribut mendirikan sebuah sekolah sepak bola di Semarang.

Untuk mengingat jasa serta pengabdiannya kepada bangsa dan negara serta Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang mendirikan patung Ribut Waidi sedang menggiring bola di Jalan Karang Rejo, jalur utama menuju Stadion Jatidiri, Semarang.

Selamat jalan maestro, semoga tenang di alam sana. Ragamu boleh saja mati, tapi prestasimu takkan lekang di ingatan kami.

 

Komentar
Penulis bernama asli Sayyid Muhammad Haedar Al-Kaff. Menjadi fans manchester city sejak 2010. Nasionalis yang menganggap sepakbola Indonesia sebagai darah dan sepakbola luar negeri sebatas hiburan. Kini menjadi freelance writer yang menulis apa yang harus ditulis. Bisa dihubungi melalui akun twitter @haedaralkaff