Nama Iwan Setiawan menjadi perbincangan setelah komentar pedasnya di Piala Presiden dan Piala Jenderal Sudirman. Ketika di hajatan Piala Presiden, Iwan memancing perang urat saraf dengan Persib Bandung.
Meski sempat menang di laga kandang, stadion Segiri, saat Pusamania Borneo FC menundukkan Maung Bandung dengan skor 3-2, Pesut Etam akhirnya gagal lolos ke semifinal setelah menyerang 1-2 di stadion Si Jalak Harupat.
Sementara di Piala Jenderal Sudirman, PS TNI menjadi sasaran psywar ala Iwan Setiawan. Mantan pelatih Persija itu menyebut PS TNI tidak ada apa-apanya dan hanya klub amatir. Sempat unggul 2-0, Borneo FC akhirnya kalah adu penalti. Iwan pun menjadi bulan-bulanan di media sosial.
Tidak hanya itu, Iwan Setiawan kemudian mengundurkan diri sebagai pelatih. Kabarnya, keputusan itu merupakan wujud pemenuhan janjinya pada Nabil Husein, pemilik Borneo FC, bahwa jika kalah dari PS TNI Iwan siap meletakkan jabatan. Sebuah langkah yang bertanggung jawab tentunya.
Publik sendiri kemudian sempat bertanya-tanya, mengapa Iwan Setiawan yang dikenal kalem ketika menangani klub sebelum Pusamania Borneo bisa menjadi sedimikian pongah di depan media?
Meski tak ada pengakuan resmi, perilaku Iwan tersebut disinyalir digunakan untuk mendongkrak popularitas Pusamania Borneo yang notabene adalah klub baru.
Jika menengok lebih ke belakang lagi, pelatih yang semasa melatih Persija kerap memakai baju muslim ini punya rekam jejak dalam hal mengumbar pernyataan bernada negatif untuk menyerang pihak lain.
Pelatih yang sempat melatih Persela Lamongan ini telah mengantongi lisensi A AFC pada 2002 dan Certificaat Koninklijke Nederlandse Voetbalbond Academie dari KNVB, Royal Netherlands Football Association. Lisensi yang cukup untuk melatih di sebuah tim Divisi Utama Liga Indonesia walau usianya baru 34 tahun ketika itu.
Selain punya bekal ilmu kepelatihan yang mumpuni, Iwan mulai dikenal sebagai sosok pelatih dengan lontaran kata yang memicu pro dan kontra di berbagai media lokal maupun nasional. Jejak mengenai mulut besar Iwan Setiawan ini bisa ditemui salah satunya ketika dia melatih di Solo.
Medio Maret tahun 2002, menjadi momen yang akan selalu diingat oleh Iwan Setiawan. Dirinya yang kala itu menjabat sebagai deputi pelatih Muhammad “Mamak” Zain Alhadad, ditunjuk menjadi pelatih kepala setelah Mamak Alhadad memutuskan mundur dari jabatan pelatih kepala Persijatim Solo FC.
Keputusan mundur itu dipicu ketidakcocokan prinsip pengelolaan tim dengan manajemen Persijatim. Ini untuk kedua kalinya Iwan menjabat sebagai pelatih kepala di tim Divisi Utama yang ketika itu merupakan kasta tertinggi kompetisi sepak bola nasional setelah sebelumnya ia menjabat sebagai pelatih kepala Persikabo Kab. Bogor pada tahun 1998-1999.
Iwan lalu otomatis naik pangkat karena manajemen Persijatim saat itu memilih jalur yang efisien dan praktis untuk penunjukkan pelatih kepala. Langkah itu ditempuh karena sedang di tengah musim kompetisi, adaptasi menjadi hal yang patut jadi bahan pertimbangan penting untuk menunjuk pelatih kepala. Sukamto, asisten pelatih kedua pun naik menjadi asisten pelatih pertama.
Pernyataan pertama sebagai pelatih kepala langsung menohok siapa pun di tim. Kepada wartawan Solopos, Iwan mengatakan, “memang harus sedikit bengis dalam menangani anak-anak ketika latihan, kalau tidak begini mustahil bisa menjadi lebih baik.”
Kinerja Iwan membuahkan hasil positif. Persijatim dibawanya naik ke papan atas klasemen Ligina IX grup B. Tim musafir ini mampu bertengger di posisi 4 klasemen Ligina IX sampai pertandingan ke-16.
Pro-kontra publik Solo atas pemecatan (pengunduran diri) Mamak Alhadad diredam oleh Iwan Setiawan dengan pencapaiannya sebagai pelatih kepala Persijatim.
Tapi, kegemilangan Persijatim tak bertahan lama. Mereka mengalami serangkaian hasil buruk. Menelan kekalahan kandang melawan PSIS Semarang dan sanksi yang diberikan oleh Komdis PSSI pada Iwan Setiawan.
Situasi bertambah runyam saat laga melawan Persedikab Kab. Bandung pada 22 April 2002. Saat itu, Iwan masih menjalani hukuman dan menyaksikan laga dari tribun penonton.
Pada pertengahan kedua, Sukamto yang menjadi pemimpin di bench pemain saat Iwan dihukum memasukkan Indriyanto “Nunung” Nugroho untuk menggantikan Cukup Ageng. Tapi, tak berselang lama, mantan pemain timnas Primavera itu digantikan oleh Harri Salisburi.
Indriyanto yang kesal pun membuka tangannya lebar-lebar sambil melepas kaus seragamnya yang menunjukkan gestur ketidaksukaan pada keputusan pergantian tersebut. Indriyanto melakukannya di depan tribun VVIP, tempat di mana Iwan menyaksikan jalannya laga.
Usai pertandingan, para jurnalis pun memburu Iwan Setiawan untuk meminta keterangan perihal pergantian Indriyanto. Meski tak berada di bench, keputusan tim tetap berada ditangannya.
“Saya nyesel masukin Nunung. Hari ini dia nggak main kayak penyerang, masak sebagai penyerang dia nggak bergerak sama sekali. Hari ini dia main kayak perempuan, harusnya dia malu sama penonton Solo,” tutur Iwan tanpa tedeng aling-aling seperti yang dikutip dari Solopos, 23 April 2002.
Sederet ungkapannya itu kemudian ditanggapi Indriyanto dengan singkat, ”saya cuman menyesali, kenapa ia harus berkata seperti itu di depan wartawan.”
Kejadian 13 tahun lalu ini menunjukkan bahwa karakter bicaranya yang blak-blakan sudah dimiliki oleh Iwan Setiawan sejak lama. Tidak heran jika ia kerap melempar pernyataan merendahkan tim lawannya, pemainnya sendiri pun tak luput dari komentar pedasnya.
Apabila benar semua yang dikatakan oleh Iwan merupakan rencana dari manajemen Pusamania Borneo, tampaknya Iwan melakukannya dengan senang hati. Dia fasih melakukan hal seperti itu.
Kontroversialnya Iwan Setiawan, suka atau tidak akan jadi sesuatu yang dikenang dan dirindukan oleh publik sepak bola Indonesia. Bisa jadi tanpa komentar serampangan darinya, keriuhan di media sosial akan berkurang.