Sani Tawainella yang Melawan Benci

“Negara kita sedang sakit”. kalimat itu yang dipilih Prince Ea untuk menggambarkan kegelisan Amerika Serikat. Namun bukan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden yang ia maksud sebagai sakit.

Prince menegaskan bahwa warga negerinya sendiri itulah sumber sakit. Dan mereka patut segera sadar karena membutuhkan “pengobatan”.

 

“Orang-orang takkan berubah ketika mereka sudah merasa nyaman. Ketika kita memilih pemimpin yang membuat kita nyaman, ia takkan menuntun kepada perubahan. Ia akan menuntun kita kepada ilusi. Ilusi seperti memilih pemimpin dan pulang ke rumah dan menyaksikan episode Game of Thrones seraya berpikir perubahan telah kita lakukan. Bahwa kewajiban mereka sebagai warga negara telah usai.”

Intinya, Prince mengatakan bahwa perubahan tak bisa digantungkan oleh satu orang. Perubahan baru terjadi saat individu secara kolektif memutuskan untuk mengubah situasi yang tak mengenakkan dengan cara yang mereka yakini.

Seorang pemimpin baru bisa mengubah situasi kalau yang dipimpin mau mengikuti visi pemimpin. Hal ini berarti tiap-tiap individu memiliki peran penting dalam perubahan. Mereka adalah mesin yang menggerakkan sebuah perubahan. Dan hal inilah yang harus disadari tiap individu.

Simon Pieter Soegijono, dalam disertasinya berjudul “Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon” menyuarakan hal serupa. Ia mengangkat peran-peran kecil seperti papalele dalam penyelesaian konflik Maluku yang terjadi antara tahun 1999 hingga 2002.

Rasa saling percaya di antara papalele terbangun kuat. Mereka saling melindungi, dan menjaga kelangsungan komunikasi. Para pedagang keliling ini tak mau larut dalam kelamnya konflik. Mereka memberi contoh bahwa perbedaan bukan sebuah perintang.

Saat kekerasan menjadi pemandangan lumrah, papalele berusaha dengan caranya sendiri untuk bertahan. Mereka berusaha sebisa mungkin menjaga roda ekonomi agar tetap berputar. Mereka menghidupkan transaksi jual-beli, juga menghidupi asa tukang ojek yang sekali waktu menjadi kurir.

Satu dari sekian banyak tukang ojek itu bernama Sani Tawainella.

Selain namanya yang lebih dikenal karena kisahnya telah naik ke sinema dalam judul “Cahaya dari Timur,” tak banyak yang berubah dari Sani. Ia telah menyabet titel baru sebagai “artis”. Pun kini telah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Maluku berkat prestasinya membawa Maluku juara Piala Medco U-15 pada tahun 2006.

Namun hal tersebut tak mengubah kehidupannya secara drastis. Ia masih tetap menjadi tukang ojek.

Kantornya yang jaraknya 50 kilometer dari Tulehu membuatnya harus mencari penghasilan tambahan. Setidaknya untuk membayar bensin. Dan tentu saja, ia tetap mengajar sepak bola. Ia melatih sepak bola di PPLP Maluku, dan sesekali menengok ke SSB yang ia bangun dengan jerih payahnya sendiri, Tulehu Putra.

Meski nasibnya tak benar-benar berubah, hal itu tampak tak pernah jadi masalah bagi Sani. Katanya, dalam sebuah wawancara dengan JPNN,

”Beta di kantor diledek teman-teman sebagai artis”.

Tapi, tak apalah. Beta bisa membuat masyarakat Tulehu dan Maluku bangga. Itu sudah membuat beta senang.” Ia bahagia.

Karena ada sebuah perubahan yang benar-benar terjadi setelah sekian lama ia berjuang. Ia menjadi bagian lainnya dari persatuan Tulehu dan Maluku yang kini lebih kuat pasca-konflik. Ia, sebagai generasi tua, telah berhasil ikut bagian dalam upaya membangun iklim yang baik bagi generasi berikutnya tumbuh dan berkembang.

Sejenak saya merasa perjuangan Sani ini sesuai dengan esai yang pernah dituliskan Aan Mansyur berjudul “Mengajar orang Dewasa”. Biar saya kutipkan bagian favorit saya. “Coba ingat pelajaran sejarah Anda; perbudakan, penjajahan, konflik antarsuku dan agama, penyingkiran orang-orang dengan kepercayaan tertentu, Orde Baru, atau Soeharto. Tanyalah diri Anda: Siapa yang bertanggung jawab atas semua itu? Jawabannya, tentu saja, orang-orang dewasa.”

Sani sadar betul, anak-anak harusnya memiliki mimpi yang besar. Seperti Ikal dan kawan-kawannya dalam guratan Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi.

Seperti gambaran fantasi anak-anak dalam cerpen Hans Christian Anderson. Anak-anak harusnya mengkhayal perihal hal-hal utopis dan mengejar khayalan itu. Membuat bumi menjadi tempat yang lebih layak dihuni. Dan tak seharusnya mereka hidup dalam kebencian yang merupakan warisan dari orang dewasa.

Pada masa konflik Maluku itulah, Sani memutuskan perlu bertindak sesuatu. Ia memutuskan untuk mewujudkan imajinasinya tentang anak-anak Tulehu yang tak keranjingan menyaksikan perkelahian dan kekerasan di jalanan. Ia ingin anak-anak Tulehu, negeri yang telah dianugerahi PSSI itu sebagai “Kampung Sepak Bola” kembali mencintai sepak bola.

BACA JUGA:  Negative Space dan Tertinggalnya Sepak Bola Kita

Ia percaya anak-anak Tulehu adalah anak-anak Tulehu. Anak-anak yang sejak masa bayinya, sebagaimana dilansir di Kompas, sudah dikenalkan dengan sepak bola. Ia kemudian memutuskan untuk melatih anak-anak bermain sepak bola di Lapangan Matawaru, Tulehu, yang merupakan fasilitas umum. Bersama Rafi, ia kemudian mengajarkan anak-anak Tulehu bermain sepak bola.

Awalnya tampak mimpi Sani adalah mimpi yang sederhana dan dengan mudahnya berhasil ia raih. Tiap sore, setelah mencari nafkah, Sani, sesekali ditemani Rafi, akan menyambut anak-anak untuk melatih mereka bermain sepak bola.

Dan anak-anak kecil di Tulehu, termasuk nama-nama Alfin Tuassalamony, Rizky Pellu, Hendra Adi Bayauw, Sadek Sanaky, Salim Ohorella, Hari Zamhari, mulai lepas dengan dunia yang penuh kebencian itu.

Bakat mereka pula berkembang, dengan pola latihan Sani yang disiplin sesuai yang ia pelajari saat menjadi bagian dari Timnas U-15 dan mengikuti Diklat Ragunan yang dilaksanakan PSSI. Mereka juga menjadi akrab satu sama lain karena setelah latihan, Sani mengajak mereka bersenda gurau sebelum pulang.

Juga Sani mengajarkan bersekolah itu penting dan tak segan memarahi anak didiknya jika menggunakan sepak bola sebagai alasan. Sani mengajarkan bahasa sepak bola – disiplin, tanggung jawab, keceriaan— terhadap anak-anak tersebut.

Namun, tantangan menjadi pelik di masa Maluku benar-benar damai pada tahun 2006. Tantangan di masa damai jelas berbeda jauh saat konflik. Di masa itu, Sani tak lagi harus memandang sepak bola sebagai wahana eskapis bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Anak-anak itu butuh turnamen dan hal itu berarti anak-anak yang ia didik perlu fasilitas yang lebih baik. Ia perlu mendirikan SSB.

Maka dari itu, ia mendirikan SSB yang ia namai Tulehu Putra. Namun memberikan nama itu tak serta merta menyelesaikan masalah.

Ia yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek, jelas pontang-panting kepayahan untuk bahkan membiayai mereka membeli satu set kostum. Persoalan menafkahi keluarga dan mengelola klub adalah masalah yang tak kunjung selesai menghantamnya bertubi-tubi.

Di masa-masa sulit macam itu sering ia terlibat konflik dengan Rafi. Ia berdebat dan terus berdebat. Hingga akhirnya Rafi yang tak puas dengan cara Sani mengelola Tulehu Putra memutuskan mengakuisisinya dan membuat Sani kembali menjadi tukang ojek. Menghilangkan separuh semangatnya yang selama ini muncul saat melatih sepak bola.

Namun, dari kehilangan inilah, sepertinya Tuhan sedang mempersiapkan persatuan generasi berikutnya di Maluku.

Ia boleh saja didepak, tapi kemampuannya sudah keburu terdengar ke mana-mana. Bakatnya terdengar hingga ke telinga Josef Matulessy, pelatih SSB Passo.

Josef merekomendasikan Sani untuk membantunya melatih di SSB Passo. Rekomendasi Josef sempat ditolak pemilik SSB. Mengingat Passo sendiri adalah daerah yang mayoritas umat kristiani, sementara Sani dari Tulehu – daerah dengan mayoritas muslim. Pemilik klub mengkhawatirkan akan terjadi tindak diskriminatif akibat konflik di masa lampau.

Namun kemampuan Sani menjadi daya tarik lain. Ia, pada akhirnya melatih SSB Passo. Ia dihadirkan untuk menghadapi Piala Maioa, turnamen U-15 tingkat Provinsi yang diselenggarakan oleh PSSI Maluku.

Turnamen yang ditujukan menjadi seleksi pemain dan pelatih yang akan memperkuat Tim Maluku U-15 untuk Piala Medco pada 2006. Sani menjabat sebagai pelatih kepala dan Josef menemaninya sebagai asisten. Ia kini digaji dan tak perlu begitu risau soal keuangan.

Sani, meski merupakan seorang muslim, tak pernah mendapat tindakan diskrimitatif sebagaimana ditakutkan. Josef, dan anak-anak yang ia latih di SSB Passo berbahasa dengan bahasa yang sama: bahasa sepak bola.

Mungkin mereka sama seperti Sani yang ingin berlari jauh meninggalkan konflik dan ingin hidup tenang menikmati hidup yang mereka yakini. Mungkin mereka sudah jengah untuk menyalahkan. Atau mungkin adalah pola latihan Sani yang tepat guna dan sesuai kepada anak-anak.

Sani, meski ia tahu tuntutannya melatih di SSB Passo, tak ingin membuat anak-anak tergila-gila berkompetisi hingga mereka lupa kesenangan bermain sepak bola. Pun sama seperti yang ia tanamkan di Tulehu Putra, ia tak ingin anak-anaknya lupa bahwa mereka juga patut bersekolah.

BACA JUGA:  Tantangan Menjadi Penggemar Bundesliga di Indonesia

”Seusai latihan, beta usahakan mereka tetap senang dan terhibur. Misalnya, beta mainkan gitar, lalu anak-anak menyanyi. Atau menceritakan enaknya hidup di Jakarta dan memotivasi mereka agar suatu saat mereka bisa ke Jakarta.”

Metode ini membuahkan hasil. Di Piala Maioa, SSB Passo menjadi tim yang ditakuti dan memiliki semangat juang tiada henti. Semangat juang dan latihan yang sesuai berhasil mengantarkan tim ini sampai ke Final.

Sayangnya di final Passo harus bertemu dengan Tulehu Putra. Sani kembali bertemu dengan mantan anak didiknya yang menyayanginya, dan juga Rafi. Laga yang intens dan sarat emosi ini berakhir mengecewakan bagi Passo. Laga itu dimenangkan oleh Tulehu Putra dengan skor 1-0.

Meski kalah, tampak sekali Tuhan memang sayang betul terhadap Sani. Sani sudah beberapa kali gagal dalam hidupnya. Ia gagal menembus U-15. Gagal dalam mengurus Tulehu Putra. Dan kini gagal mengantar Passo jadi juara.

Tapi Tuhan selalu menunjukkan rencana baik-Nya kepada Sani. PSSI Maluku menyaksikan Sani yang berhasil melatih Passo sebagai suatu hal yang spesial. Dengan catatan pernah membina pemain dengan mayoritas muslim di Tulehu Putra, dan kini melatih pemain mayoritas kristen di Passo, Sani dirasa pantas menjadi pelatih Tim Maluku U-15 yang akan diberangkatkan ke Jakarta.

Semua orang tampaknya sadar betapa Sani kemudian dicintai sekaligus dihormati oleh pemainnya. Sementara Rafi menolak untuk dinaikkan sebagai asisten pelatih. Posisi asisten pelatih tersebut digantikan oleh Josef.

Setelah diemban kepercayaan untuk melatih Maluku U-15, Sani dan Josef bersepakat untuk mengambil keputusan besar. Tim Maluku U-15 diisi oleh pemain muslim dan kristiani.

Sangat jenius, jika dilihat dari kacamata masa depan. Sangat riskan, jika melihat masa lampau. Tapi ia tampak percaya bahwa pemain pilihannya inilah yang akan menjadi gambaran Maluku di masa mendatang.

Jelas pilihan yang diambil Sani tak mudah. Anak-anak itu sedang berada di fase remaja, fase di mana emosi sedang meledak-ledak. Anak-anak itu adalah saksi nyata dari dendam di masa lampau.

Mungkin anggota keluarga mereka menjadi saksi nyata bagaimana mereka disiksa dengan mengatasnamakan agama. Mungkin malah tetangga, teman, atau orang dekat mereka yang bernasib serupa. Mereka sedang berada dalam konflik paling hebat dalam hidup mereka – apakah patut merelakan kebencian, atau memeliharanya.

”Yang beta nilai ketika itu adalah kemampuan anak. Kalau dia memang dibutuhkan dalam tim, pasti beta masukkan. Beta tak melihat dari mana asalnya atau apa agamanya. Semua bermain untuk Maluku, to?”

Tim Maluku U-15 yang ia asuh kini, singkatnya, adalah tim yang penuh pengorbanan. Mereka semua memiliki permasalahan yang menumpuk di kepala mereka.

Dan mereka berusaha sangat keras untuk berdamai dengan itu semua. Konflik jelas tak terhindarkan lagi akan terjadi. Namun Sani lagi-lagi berupaya membuat pemain-pemain yang ia amanatkan itu ingat, bahwa mereka satu Maluku. Dan harusnya mereka membuat orang-orang Maluku bangga melalui sepak bola.

Lambat laun, tembok dendam itu runtuh juga.

Semangat juang dan motivasi ini membuat arahan-arahan dari Sani kian terdengar dan meresap ke benak pemain. Mereka melangkah sebagai satu Maluku. Mereka masuk dan membayangkan tetangga, keluarga, teman-teman, dan bahkan orang-orang Maluku patutnya bangga dengan mereka.

Hasilnya manis. Mereka melangkah mulus ke final dan mengalahkan Tim Jakarta U-15. Adu penalti 4-3 beserta trofi Medco menjadi oleh-oleh yang mereka bawa pulang dari Jakarta.

Dan apa yang diimpi-impikan Sani menjadi nyata. Kemenangan Maluku U-15 di Piala Medco itu menjadi headline di berbagai surat kabar di Maluku. Juga menjadi buah bibir bagi masyarakat. Ia, sebagaimana yang dikatakan di JPNN, disambut di Bandara Pattimura, Ambon. Mereka diarak dan namanya dielu-elukan bagaikan pahlawan.

Mereka semua memang pahlawan. Mereka telah mengajarkan Maluku, dan bahkan Indonesia, bahwa persatuan bisa direngkuh dengan cara-cara sederhana dengan perjuangan sepenuh hati. Semisal percaya bahwa sepak bola bisa mencairkan pertengkaran dan melupakan kebencian.

 

Komentar