Sembilan Puluh Menit di Taman Film

Hari itu, jalanan Bandung nampak sedikit lengang dari biasanya. Jalanan yang biasanya dipadati oleh hiruk-pikuk kendaraan yang malang melintang terlihat sedikit adem ayem. Nampaknya para penghuni yang menasbihkan hidupnya di sekitaran kota Bandung tampak menyisihkan waktunya hanya untuk melihat jagoan mereka yang sedang meretas asa di kancah internasional.

Iya, memang hari itu, Rabu 27 Mei 2015, Persib Bandung menghadapi partai yang ditunggu-tunggu oleh para penikmat step-over Atep atau pun para penggemar duo M. Ridwan dan Supardi. Persib akan berhadapan dengan kesebelasan Kitchee SC yang jauh-jauh datang dari hongkong untuk bertarung dalam babak 16 besar AFC CUP 2015. Laga tersebut sejatinya merupakan laga terakhir sebelum Indonesia mendapatkan sanksi gara-gara, ya sudah-lah yah jangan dibahas.

Jam menunjukan pukul tiga sore, waktu di mana biasanya para penggiat kehidupan mulai merasakan udara segar karena telah terbebas dari tugas kantor yang menumpuk atau pun tugas dari dosen yang tak kunjung hadir. Saya memutuskan untuk pergi ke Taman Film, wahana bagi para bobotoh yang tak ingin repot-repot pergi ke café. Meski sebenarnya kewajiban saya sebagai pencari ilmu belum selesai karena masih harus menikmati indahnya praktikum di sore hari. Daripada ketinggalan step-over dari lord Atep. Praktikum mah kuma engke weh.

Dari kejauhan, saya sudah merasakan riuh-gaduh para bobotoh yang menyempatkan untuk menonton tim kesayangan mereka. Chant-chant dari para casual, para mahasiswa, bapa-bapa, dan tak ketinggalan anak beatdown —yang katanya sedang tren— setuju untuk menyalurkan energi mereka guna mendukung Pangeran Biru. Mereka mengorbankan sembilan puluh menit dalam hidup mereka. Mengorbankan. Kata yang sangat berarti bagi klub yang dipuja-puji oleh para bobotoh.

Pengorbanan tersebut mungkin terasa sepele bagi orang-orang yang tak menyukai sepak bola, apalagi tak memiliki rasa cinta yang cukup kuat terhadap sebuah klub sepak bola. Sebenarnya hanya dengan mencurahkan sembilan puluh menit untuk menonton pertandingan tersebut, para bobotoh tersebut yang tentunya mempunyai latar belakang masing-masing berbeda telah menunjukan bahwa mendukung bukan hanya sekadar ucapan manis di mulut. Menonton pertandingan —di mana pun dan bagaimana pun— merupakan cara yang paling sahih bagi seorang penggemar untuk menunjukan seberapa besar cinta dia terhadap klub tersebut.

Soal pengorbanan tersebut memang sangat kompleks untuk dijelaskan. Mereka yang datang pada saat itu tak menyadari bahwa mereka telah melakukan hal yang besar yang sepertinya terlalu kecil untuk dibesarkan. Meluangkan waktu bukanlah perkara mudah. Meski sebenarnya gampang, tuntutan kehidupan yang naif sering membatasi waktu. Mungkin mereka tidak mudah untuk datang ke Taman Film yang terletak di bawah jembatan layang Pasupati tersebut. Mungkin juga mereka mesti membereskan dagangan mereka terlebih dulu, menemui bos mereka, mengejar dosen pembimbing yang tak kunjung datang, atau pun menjemput sang anak dari sekolah. Tapi satu hal yang pasti, mereka yang datang pada saat itu telah menyempatkan untuk hadir menonton pertandingan yang akan menjadi satu dari sekian ratus pertandingan yang akan dilihat dalam seluruh karir mereka dalam berkehidupan.

Ngomong soal hadir pun, banyak yang memperdebatkan antara hadir secara langsung di stadion atau cuman nonton dengan layar. Ada yang berpendapat bahwa “real fans where he get their seats”. Tapi tak semua orang yang menasbihkan diri sebagai Bobotoh bisa menghadiri langsung tim mereka di stadion. Entah karena masalah biaya, jauhnya stadion, atau pun waktu yang lebih memungkinkan mereka untuk menonton di layar kaca. Tak seluruh orang dapat menjadi Pocong atau pun Syeikh Puji yang sering terlihat kamera televisi menghadiri hampir seluruh pertandingan Persib. Atau pun tulisan I Love ANTV yang lebih sering menghiasi tribun utara. Tapi sudah pasti jelas, tujuan mereka sama. Mencintai klub mereka. Meski dengan cara, jalan, dan di tempat yang berbeda. Dedikasi mereka hanya untuk klub yang dipuja.

Dengan menonton saja dapat membuktikan seberapa jelas dedikasi yang diberikan seorang fans terhadap idolanya. Jelas dedikasi tersebut sepertinya tak akan menyaingi dengan apa yang telah diberikan seorang almarhum Ayi Beutik terhadap Persib. Mungkin telah banyak waktu ia meninggalkan sang istri di rumah, sang anak yang butuh bantuan mengerjakan PR, untuk menyaksikan hal yang telah membuatnya “hidup” sampai akhir hayatnya. Jika bukan karena sebelas pemain yang berkaus biru yang berlambangkan Persib di dada yang selalu ia tonton, mungkin ia tak akan bertemu dengan istrinya sekarang atau pun anaknya tak akan diberi nama Jayalah Persibku dan Usab Perning.

Beliau pernah berujar, “Jika menghitung untung rugi, dukungan kita tak akan murni lagi”. Quotes yang sangat dalam dan bermakna bagi para bobotoh khususnya saya. Ketika memutuskan untuk meluangkan waktu untuk menonton pertandingan sang pangeran biru, nonton mah nonton. Tak seharusnya memikirkan lagi apakah kita telah dirugikan dengan datang ke stadion atau pun nobar dengan mengeluarkan biaya. Karena menonton bukan hanya sekadar kebutuhan ragawi semata. Tapi itu merupakan bentuk dukungan juga terhadap klub yang kita cinta. Sampai kapan pun, sembilan puluh menit Persib memasuki lapangan tak akan tergantikan oleh apa pun.

Kembali ke Taman Film, babak pertama sudah dimulai. Laga yang berlangsung di Si Jalak Harupat tersebut berjalan menegangkan. Menegangkan karena tak ada lagi kesempatan kedua alias tidak ada leg kedua. Jika kali ini kalah, tamat sudah. Meski pertandingan berjalan seimbang, Kitchee SC mampu mencuri dua gol lewat sundulan Juan Carlos menit ke-32 dan sepakan Lam Ka Wai menit ke-43. Hingga babak pertama berakhir, tampak tukang kopi pun sedikit tak ikhlas dalam menjalankan pekerjaannya. Babak pertama sudah ketinggalan dua gol, jika kalah tak ada kompetisi lagi. Kopi pun akan terasa lebih pahit jika Persib mengalami kekalahan.

Babak kedua bergulir kembali, para bobotoh sudah kembali ke posisi yang paling nyaman. Di saat seperti inilah, tampak para penonton tak mempunyai masalah sedikit pun. Ketika menonton klub yang dicintai, seakan tak ada hal apa pun yang membebani kehidupan. Raut wajah yang terlihat pun tak menunjukan raut wajah penuh hutang-piutang ataupun tugas yang belum dikerjakan. Di saat kalah sekalipun, kerutan wajah seakan menunjukan kepuasan karena Persib bermain hari ini. Apalagi jika bermain apik. Kalah pun seperti ada maknanya.

Permainan yang ditunjukan oleh para penggawa Maung Bandung terasa lebih spartan, karena para penggawa Maung Bandung tak ingin mengecewakan bobotoh yang sudah menunggu-nunggu mereka untuk berprestasi di kancah Internasional. Meski pada akhirnya, ke-spartan-an tersebut tak berhasil membuat Persib Bandung mencetak gol. Laga berakhir 0-2 untuk kemenangan tim Kitchee SC. Harapan untuk terus melaju di kejuaraan “kasta ke-2” se-Asia tersebut akhirnya harus pupus. Mau bagaimana lagi, toh namanya sepak bola. Menang kalah sudah biasa (katanya).

Setelah laga berakhir, para penonton pun pulang dan kembali untuk menjalani kehidupannya. Jika harus memilih, sembilan puluh menit akan terasa sebentar untuk mengobati penatnya kehidupan. Kalau diibaratkan handphone, menonton Persib adalah charger. Dengan berbagai hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, maka tubuh butuh tenaga untuk menghadapinya. Dengan menonton itulah akan menjadi alat yang paling tepat bagi kita untuk rehat sejenak dan mengisi tenaga dan disegarkan dengan berbagai aksi yang dilakukan oleh para penggawa Persib.

Seperti charger pula, handphone akan diisi dayanya secara berkala dan sesuai jadwal yang telah dibuat yaitu disaat telah kehabisan baterai. Menonton pun seperti itu. Jadwal pertandingan akan selalu menjadi patokan untuk beraktivitas maupun untuk membuat janji. Sudah dipastikan, kebanyakan bobotoh akan membuat janji sebelum atau pun sesudah pertandingan berlangsung. Ketika beraktifitas maka jam pertandingan tersebut akan dijadikan jam istirahat.

Tak sedikit saya mendengar perkataan “Kela solat mah, sababak deui” atau yang dapat diartikan “Nanti solat mah, sebabak lagi”. Kick-off yang kebanyakan bertepatan dengan waktu untuk menunaikan ibadah bagi umat muslim pun seakan menjadi perdebatan otak antara memilih untuk menunaikan ibadah terlebih dahulu atau menonton terlebih dahulu. Kebanyakan lebih memilih untuk menggunakan istirahat babak pertama sebagai waktu untuk menunaikan ibadah. Menonton pun kerap diprioritaskan tanpa mengesampingkan prioritas-prioritas lain sebagai seorang manusia.

Hal tersebut menunjukan bahwa sepak bola punya sisi lain dan sudut pandang yang beragam. Sepak bola kini bukan hanya sekadar permainan, ataupun sekadar gol yang tercipta. Sepak bola juga bukan sekadar sebelas pemain yang tertata rapih dalam line-up. Kini pemain ke-12 atau bisa disebut seorang “fans” telah menganggap bahwa tim yang didukungnya lebih dari sekadar klub sepak bola. Ini juga soal hidup, dan seberapa besar klub tersebut menyusupi kehidupan dan selalu terpikirkan dalam segala aktivitas yang sedang dikerjakan.

Sisi lain tersebut yang justru sering terpinggirkan oleh banyaknya permasalahan yang menimpa persepakbolaan Indonesia. Jika di Eropa kemewahan begitu tersaji dari setiap klub maupun dari laga yang disajikan, di sini semua tertutup oleh carut-marut yang menutupi potensi sebenarnya dari sebuah laga. Sudah dapat menonton saja, sebuah hal yang mewah bagi kita. Sepak bola yang merupakan olahraga negara ini —meski tak tertuang dalam Pancasila— harusnya didukung oleh segala elemen yang memiliki tanggung jawab. Tidak dengan dihalang-halangi oleh konflik yang terus menerus terjadi. Sudah bosan rasanya wajah sepak bola Indonesia hanya diisi oleh negatif. Minimal, kita hanya ingin melihat pertandingan. That’s all.

Dan akhirnya para manusia yang telah melihat pertandingan yang akan menjadi sejarah dan akan diceritakan kepada anak atau pun cucu kelak, kembali pada prioritas-prioritas lain. Sungguh indah melihat orang dengan pelbagai rupa dan raga yang berkumpul demi tujuan yang sama, menonton klub kecintaannya dan demi menunjukan seberapa besar dukungan dia terhadap klub tersebut.

Ketika banyak orang memperdebatkan siapa yang terbaik di antara Messi dan Ronaldo atau pun siapa yang benar antara PSSI atau pun BOPI, sudah bisa menonton Persib berlaga saja sungguh merupakan kenikmatan yang tak terkira. Dan tak banyak yang bisa menyadarinya, bahwa dengan menyaksikan Persib berlaga saja nikmatnya sudah tak terkira. Sembilan puluh menit yang tersaji sudah cukup mengobati rasa rindu akan kehadiran pemain. Apalagi dengan kondisi persepakbolaan kita yang di mana laga pramusim lebih banyak dibanding kompetisi resmi. Dikit-dikit, bubar.

Jika harus memilih, saya lebih menikmati hari di mana sembilan puluh menit tersaji di lapangan. Tubuh terasa ikhlas untuk digunakan melihat liak-liuk para pasukan Maung Bandung yang bertanding hari itu. Melihat hal seperti ini, sepak bola memang bukan sekadar permainan. Sepak bola sudah menjadi kehidupan dan bagian yang tak terpisahkan dari sosok seorang manusia. Seakan sembilan puluh menit menjadi tameng untuk berlindung dari kehidupan sebenarnya yang memang berat untuk dijalani.

Cuaca sore hari di Bandung hari itu pun cerah, secerah para Bobotoh yang telah terpuaskan dahaganya akan pertandingan si Pangeran Biru. Meski kalah, setidaknya mereka sudah dapat meluangkan waktunya untuk melihat kesebelasan yang dicintainya berlaga. Hari itu pun saya tutup dengan praktikum di perkuliahan yang terasa menjengkelkan. Coba saja sepak bola lebih dari sekadar sembilan puluh menit. Mungkin, banyak alasan untuk mengelak dari kewajiban kehidupan yang terasa berat ini. Huh.

 

Komentar

This website uses cookies.