Semua Waktu di Dunia untukmu, Sebastien Haller

Sebastien Haller menjalani kemoterapi untuk melawan kanker testis. (Alexandre Simoes/Borussia Dortmund via Getty Images)
Sebastien Haller menjalani kemoterapi untuk melawan kanker testis. (Alexandre Simoes/Borussia Dortmund via Getty Images)

CEO Borussia Dortmund, Hans-Joachim Watzke bersedia memberikan “semua waktu yang ada di dunia” untuk Sebastien Haller. Sang striker harus menerima kenyataan pahit bahwa di usia emasnya, ia harus menepi dan berjuang di medan lain untuk melawan kanker testis yang terdeteksi di tubuhnya sejak Juli lalu. Haller belum sempat bermain dengan seragam kuning-hitam kebesaran Dortmund.

Terkini, kabar bahagia datang dari striker Pantai Gading tersebut setelah kembali menjalani latihan terpisah di Ajax sembari melanjutkan rehabilitasi di Amsterdam. Kabar ini dikonfirmasi oleh pelatih Ajax Amsterdam, Alfred Schreuder yang dengan senang hati menerima Haller untuk melakukan pemulihan di eks klubnya.

Awal musim panas 2022 terasa sempurna bagi Sebastien. Ia baru saja memenangkan gelar Eredivisie bersama Ajax dengan capaian individu yang luar biasa. 34 gol berhasil ia koleksi dari semua ajang yang diikuti oleh De Godenzonen. Haller masuk dalam deretan striker elit Eropa dan ia merayakannya dengan liburan bersama keluarga.

Bersamaan dengan momen itu, ia sedang bersuka cita karena transfernya ke Borussia Dortmund berjalan lancar. Segalanya berjalan baik dan tanpa hambatan sebelum ia kembali ke Pantai Gading untuk membela panji negaranya di ajang Kualifikasi Piala Afrika 2023.

31 Mei 2022, ia merasakan sakit begitu hebat di bagian perut ketika bepergian dengan rekan senegaranya. Selama beberapa hari ia mengonsumsi obat-obatan untuk meredakan rasa sakit itu, lalu hilang beberapa saat ketika Haller pulang dari tugas bersama timnas.

Namun, kesakitan di perutnya tak benar-benar hilang, rasa itu terus datang secara berulang hingga mengganggu pencernaannya. Sampai akhirnya Haller datang ke kamp pra musim Dortmund di Swiss. Ia melakukan pemindaian MRI di sana dan singkat cerita Haller mendapati bahwa ada tumor ganas di organ vitalnya.

Haller terpukul namun dengan optimis ia percaya akan bisa kembali sembuh dan merumput. Kondisi yang sangat sulit karena bukan hanya kariernya yang terancam, tapi juga hidupnya berada dalam kondisi berbahaya. Haller menghabiskan banyak waktu di rumah sakit.

Ia menjalani kemoterapi secara rutin dalam empat fase yang masing-masing berlangsung selama tiga minggu. Setelah perjuangan yang melelahkan, senyum Haller akhirnya kembali terbit di Signal Iduna Park awal September lalu saat dirinya hadir di laga pembuka Liga Champions Dortmund musim ini kontra FC Copenhagen.

Tiga bulan jauh dari lapangan, Haller mempunyai cukup waktu untuk merenungkan betapa beruntungnya hidup yang telah ia jalani sepanjang 28 tahun ke belakang. “Saya adalah anak yang manja dan tidak pernah khawatir tentang hidup saya. Ini adalah cobaan besar pertama yang harus saya hadapi,” renungnya dengan haru saat menceritakan perjuangannya melawan kanker di laman resmi UEFA.

Ia merasa beruntung cobaan itu hadir di usianya yang sedang matang. Sebab, banyak orang lain kurang beruntung karena telah memulai kehidupan dengan cobaan penyakit seberat itu. Rata-rata kanker testis sering ditemukan pada pria berusia 20-35 tahun, di mana 6% lain dari seluruh kasus di dunia ditemukan pada anak dan remaja.

Meski mengaku sebagai seorang anak yang manja, Haller justru terkenal teguh karena mental bajanya. Tak banyak pesepakbola yang bisa bangkit dan menggapai performa terbaik di usia 20-an akhir. Saat-saat di mana biasanya karier seseorang berangsur meredup. Eks West Ham United tersebut sejak kecil terkenal kuat dengan pendiriannya. Ia memiliki kecerdasan untuk menempatkan segala sesuatu ke dalam perspektif agar bisa melihat dalam sudut 360 derajat, lalu mengambil sisi positifnya.

Oleh karena itu, Haller di atas lapangan begitu piawai menyelinap di antara ruang sempit. Ia diproyeksikan sebagai pengganti Erling Haaland yang hijrah ke Manchester City. Dalam komposisi skuad asuhan Erik ten Hag saat masih di Ajax, Haller menjelma sebagai presser di lini depan yang tidak terlalu agresif, tapi pandai membaca permainan lawan.

Ia tak banyak memenangi duel, namun lebih suka bergerak efektif dengan posisi terbaiknya yang dekat kotak penalti dan berada di antara bek tengah lawan. Melalui ruang sekian sentimeter di antara dua pilar pertahanan musuh itu, Haller akan berlari dan menyambar bola baik dengan kaki atau kepalanya.

Musim lalu bersama Ajax, ia menjalani debut manis di Liga Champions. Haller langsung menyamai pencapaian Marco van Basten dengan quattrick-nya ke gawang Sporting CP saat Ajax melibas tim tuan rumah 5-1 di Stadion Jose Alvalade. Akan tetapi, jauh sebelum gol-golnya mendarat di Belanda, Inggris, dan Jerman, Haller pada awalnya tak direstui oleh sang Ibu untuk menjadi pesepakbola.

Ia lahir di Ris-Orangis, sebuah komune di bagian selatan Paris, 20 km dari pusat kota. Tidak ada yang spesial dari kawasan rumahnya saat itu. Pun begitu dengan variasi kegiatan, tak banyak hal yang bisa dilakukan di sana. Karena itu, Haller lebih suka menghabiskan waktu di luar untuk menyegarkan pikirannya. Masuk ke dalam pikirannya, ia sebenarnya adalah seorang overthinker yang sama sekali tak terlihat berkat sikap dinginnya di luar.

Di luar atap rumahnya yang nyaman, ia dapat melampiaskan rasa bosan dengan bermain bola bersama sang kakak, Sery Tessia. Sama seperti kebanyakan anak yang lahir di tahun 90-an, Haller juga suka PlayStasion. Tetapi, alih-alih mendekam di depan monitor dan memegang controller, ia lebih suka menyentuh langsung bola dengan kakinya, meski pada awalnya tak direstui oleh sang ibu.

Ibunya benci melihat Haller berulang kali memecahkan lampu, vas, dan gelas-gelas di rumah sehingga ia diarahkan untuk menekuni judo. Kebetulan saat itu judo di Prancis sedang populer, bertepatan dengan Olimpiade 1996 Atlanta di mana Prancis berhasil mengoleksi tiga emas dan tiga perunggu dari olahraga seni bela diri asal Jepang tersebut. Singkat cerita, Haller tidak menemukan keharmonisan dalam tubuhnya saat menekuni judo. Alhasil, ia meyakinkan ibunya agar tetap bisa fokus bermain bola hingga pada usia 10 tahun, Haller mulai menekuni sepakbola secara serius di FCO Vigneux.

Waktu berjalan cepat bersamaan dengan keluarganya yang mendukung penuh Haller untuk berkarier di lapangan hijau. Ayahnya nyaris tak pernah absen mengabadikan Haller muda bermain sepakbola tiap minggu pagi di akademi. Bagi keluarganya, kebahagiaan Haller adalah kebahagiaan untuk semua.

Maka setiap detail dan langkah kecil sepanjang kariernya di sepakbola sangat berarti bagi sang ayah dan ibunda. Kariernya terus menanjak hingga menembus skuad U-21 Prancis dan menorehkan 13 gol dalam 20 pertandingan. Namun, ia tak kunjung mendapat panggilan timnas senior sehingga memutuskan membela tanah kelahiran sang Ibu, Pantai Gading.

Keputusannya lahir dari pertimbangan yang matang. Berulang kali ia menegaskan, tak ada penyesalan untuk membela Pantai Gading di level senior meski telah menjadi andalan di skuad kelompok umur Prancis. “Sebagian besar waktu, saya mencoba dalam hal apapun untuk melakukan pendekatan tanpa penyesalan.

Ketika saya melakukan sesuatu, saya mencoba untuk mengikutinya,” tegas Haller dalam sebuah wawancara dengan Canal+ Maret lalu. Sama kasusnya saat ia akan menjalani pemeriksaan medis sebelum divonis mengidap kanker testis, Haller mempertimbangkannya dengan matang. Ia berinisiatif melakukan pemeriksaan dan kembali menimbang-nimbang keputusannya untuk menjalani pengobatan.

Atas apapun yang telah dilaluinya hingga kini, Haller tetap hadir dengan senyum memekar di wajah tanpa sedikitpun tanda khawatir dan menyesal. Haller kini merasa sehat baik secara mental maupun fisik, dan bisa kembali bekerja. Manajemen Dortmund juga optimis dengan kondisi Haller yang diperkirakan bisa kembali ke tim pada paruh kedua musim pasca Piala Dunia Qatar nanti.

“Ini adalah tantangan, begitu besar, dan fakta bahwa anda mampu mengatasinya, itu berarti anda adalah seorang pejuang.” Benar saja, Haller sejak kecil adalah pejuang sejati yang tahu betul apa keinginannya dan bagaimana menggapainya. Come back stronger, Haller!

Komentar
BACA JUGA:  Jalan Bergelombang AC Milan dan Ketegangan Milanisti