Ada perasaan getir saat melihat Egy Maulana Vikri dan rekan-rekannya yang memperkuat Tim Nasional Indonesia di Piala AFF 2020 seraya memamerkan medali perak di leher mereka.
Mimpi menyaksikan pasukan Garuda mengangkat trofi juara di sebuah ajang kembali pupus. Padahal ada asa yang sempat merekah.
Enam kali sudah kita sebagai masyarakat Indonesia menelan pil pahit kegagalan Timnas di ajang yang dahulu bernama Piala Tiger ini.
Jenuh? Tentu saja. Sebab kegagalan kemarin seperti menahbiskan Indonesia sebagai spesialis runner up.
Di sini, saya tidak akan banyak menyalahkan federasi sepakbola Indonesia (PSSI) dalam melakukan pembinaan pesepakbola usia dini atau bagaimana mereka mengurus kompetisi agar berjalan sehat.
Bukan berarti saya tidak peduli, tetapi saya merasa bahwa meluapkan emosi kepada mereka akan sia-sia. Toh, harapan-harapan kita sebagai penggemar Timnas selama ini juga dikandaskan oleh perilaku PSSI sendiri.
Dari dulu sampai sekarang, masalah persepakbolaan kita masih sama. Pembinaan pemain muda yang tidak digarap serius, iklim kompetisi yang jauh dari kata sehat, wasit yang kualitasnya di bawah rata-rata, masih mudahnya kita bermain-main dengan keselamatan pemain di lapangan, sampai isu pengaturan skor yang tak kunjung berhenti.
Lantaran segala macam permasalahan tersebut, tidak heran kalau kita belum juga memetik buah segar bernama prestasi dari ajang apapun.
Pasalnya, kita tidak pernah menanam pohon dengan biji yang bagus dan berkualitas unggul.
Saya juga tidak akan membahas permainan Timnas atau kekuatan rivalnya selama berkompetisi di level Asia maupun Asia Tenggara.
Saya rasa sudah banyak artikel atau tulisan yang membahasnya secara rinci dan bagus.
Mesti diakui, hingga kini Indonesia masih inferior dibandingkan dengan Vietnam atau Thailand.
Baik itu secara taktis, teknis, maupun mental, Indonesia memang tertinggal dari rival-rivalnya di kawasan Asia Tenggara. Jauh, jauh sekali.
Saya akan mencoba melihat Timnas dari sisi yang lain apabila ruang lingkupnya adalah kalah dan menang. Tentu saja, Timnas kita tidak seburuk yang dipikirkan.
Pada lima laga final Piala Tiger/Piala AFF sebelumnya, skuad Garuda sempat menahan imbang atau bahkan meraih kemenangan pada salah satu leg yang digelar.
Kita awali dari Piala AFF 2000 yang menjadi momen pertama Timnas melangkah sampai ke partai final.
Hasilnya Timnas kalah 1-4 dari Thailand yang sudah menjadi kampiun sejak pertama kali kompetisi ini digelar. Sementara Indonesia baru pertama kali. Mungkin, masih ada kegugupan yang terasa.
Selanjutnya adah Piala AFF 2002. Waktu itu, Bambang Pamungkas mampu meladeni perlawanan Thailand dengan skor 2-2 pada waktu normal.
Sayangnya, Indonesia harus mengakui keunggulan Thailand pada adu penalti. Kalau dilihat, Indonesia sudah bisa lebih baik setelah belajar dari pengalaman dua tahun lampau.
Setelah itu, final ketiga yaitu Piala AFF 2004. Lagi dan lagi, Indonesia takluk pada partai final. Lawan mereka kali ini adalah Singapura.
Pada leg pertama, Indonesia kalah dengan skor 1-3. Leg kedua tidak jauh berbeda, Indonesia menelan pil pahit lagi dengan kekalahan 1-2.
Entah apa dosa yang sudah kita buat. Bukannya mengalami peningkatan dari kalah, lalu seri, kita malah merasakan hasil minor sekali lagi.
Dari ketiga momen yang sudah dilakoninya tadi, tampaknya Indonesia sedikit mempunyai asa untuk bisa merengkuh trofi AFF selanjutnya yaitu pada tahun 2010 dan 2016 kala menjajal final. Nahas, Indonesia menang tidak tepat pada waktunya.
Piala AFF 2010 berjalan dengan penuh percaya diri dan euforia. Ya, karena waktu itu Cristian Gonzales dan kawan-kawan bermain di kandang sendiri.
Momok pertama bisa kita taklukan, Thailand tersingkir pada babak penyisihan grup. Sebagai gantinya, Malaysia yang lolos ke babak semifinal menemani Indonesia.
Sampai kita bertemu lagi dengan Harimau Malaya pada partai pamungkas. Pada leg pertama, di luar dugaan, Indonesia kalah telak tersungkur di Stadion Bukit Jalil dengan skor 0-3.
Hal itu cukup mengagetkan. Padahal, pada laga sebelumnya, Indonesia mampu mengalahkan Malaysia dengan skor 5-1 di babak penyisihan grup.
Seperti dendam, leg kedua harus dibalas tuntas. Indonesia mampu meraih kemenangan kala berlaga di Stadion Gelora Bung Karno dengan skor 2-1.
Namun di Piala AFF, kemenangan bukanlah kemenangan sebab sistem final dengan dua leg menjadikan agregat sebagai patokan siapa yang berhak meraih titel.
Indonesia sendiri akhirnya kalah agregat 2-4 dari sang tetangga serumpun dan mesti menjadi pihak yang meratapi nasib.
Piala AFF 2016 kurang lebih mirip Piala AFF 2010. Ada asa yang melompat-lompat di dada suporter.
Timnas mampu lolos sampai babak final dan bersua lagi dengan Thailand. Final leg pertama dimainkan di Stadion Pakansari. Saat itu, skuad Garuda berhasil unggul 2-1.
Namun apa daya, ketika beraksi di final leg kedua yang dimainkan di Stadion Rajamangala, Thailand sukses menghempas Indonesia dengan skor 2-0.
Alhasil, Indonesia kalah agregat 2-3 dan mesti merelakan gelar digamit Negeri Gajah Putih sekali lagi.
Yang saya ingat sampai dari final melawan Thailand di Piala AFF 2016 sampai sekarang hanyalah tendangan gledek Abduh Lestaluhu ke bench pelatih dan pemain Thailand. Mungkin, itulah representasi budaya sepakbola kita.
Terakhir, Piala AFF 2020 kemarin rasanya bisa menjadi momentum untuk kita sadari bahwa mencintai timnas Indonesia itu tidak hanya rumit tapi bisa juga berarti kalau cinta timnas ke Piala AFF itu tak harus memiliki.
Ya, dalam laga final yang sudah-sudah. Sebetulnya Indonesia mampu menang, kok. Normalnya, menang dalam laga final itu pasti adalah juaranya, bukan?
Akan tetapi, regulasi Piala AFF yang membuat final berjalan dua leg bak tembok tinggi yang acap menghalangi perjuangan kita.
Mungkin, ketika final Piala AFF nanti diselenggarakan satu leg, kita bisa lebih mendekatkan diri kepada trofi berwarna emas tersebut.
Tolonglah…
Kita sudah sangat rindu dan ingin sekali memeluk Piala AFF itu. Mungkin selama ini, trofi itu belum mau menerima cinta kita karena apa yang kita berikan bukanlah cinta yang tulus atau sehat.
Meminjam petikan lirik lagu Ari Lasso berjudul Rahasia Perempuan, sudah seharusnya kita menyentuh Piala AFF tepat di hatinya agar ia menjadi milik Indonesia.
Buatlah Piala AFF itu membuka hatinya dengan cara lain, pembinaan pemain muda yang bagus atau liga yang sehat misalnya.