Kali ini izinkan saya untuk sedikit bercerita, bukan tentang diri saya, tapi tentang Ibu saya. Kisah saya sebagai penggemar klub Juventus terus terang biasa-biasa saja, tapi kisah bagimana Ibu saya bisa sampai menggemari sepak bola Jerman—sepak bola Jerman dan bukan hanya klubnya—mungkin lebih menarik.
Ibu saya sebenarnya bukan penggemar sepak bola, setidaknya bukan penggemar sepak bola yang berkomitmen. Ia cenderung lebih menyukai bulutangkis, berita kriminal, atau belakangan, serial India yang tayang tiap sore di salah satu stasiun televisi yang pemiliknya juga punya klub bola di negeri ini.
Ia lebih seperti ibu-ibu pada umumnya yang memilih untuk tidur cepat pada malam Minggu dibandingkan menonton pertandingan sepak bola semalam suntuk. Tapi, apa pun itu, Ibu tetap saja memiliki kenangan dan kenikmatannya sendiri terhadap sepak bola.
Ibu saya sangat menggemari tim nasional Jerman. Awalnya, saya selaku anaknya sedikit “menuduh” Ibu yang hanya tertarik kepada paras pemain ras Arya yang memang terkenal tampan-tampan. Ibu saya tidak menolak hal itu. Ia menyebutkan beberapa nama yang berhasil mencuri hatinya seperti Ayah saya, Franz Beckenbauer, Karl-Heinz Rummenigge, Jurgen Klinsmann, Oliver Bierhoff, hingga pemain generasi kontemporer macam Michael Ballack dan Mesut Ozil.
Saat saya mulai menggodanya dengan istilah timnas boyband, Ibu saya sontak menyebutkan nama Horst Hrubesch sebagai pemain favoritnya? Siapa pula itu? Ibu kemudian balik menggoda saya sebagai penggemar sepak bola yang belum khatam sejarah.
Ibu selalu bercerita bahwa Horst Hrubesch adalah seorang lucky-player. Ia lebih sering dimasukkan di tengah-tengah pertandingan, pada saat striker kelas satu macam Karl-Heinz Rummenigge sulit mencetak skor, untuk kemudian tiba-tiba memecah kebuntuan melalui sundulan kepalanya.
Ibu selalu menggarisbawahi bahwa Horst Hrubesch tidak tampan, bahkan wajahnya cenderung seram. Julukannya pun sangar, the Header Beast, mengacu kepada tampang dan keahliannya dalam memenangi duel udara. Jangan main-main dengan sundulannya, karena bek-bek Italia jago sundul macam Gaetano Scirea dan Claudio Gentile pun kerap kelimpungan menghadapi Hrubesch.
Suatu hari, saat kami sekeluarga tengah menonton pertandingan sepak bola Piala Dunia 2002 yang menayangkan timnas Jerman, Ibu bercerita kenapa ia sangat menggemari Jerman.
Ibu bercerita bahwa saat ia kecil dulu, pada medio 1980-an, stasiun televisi hanya ada TVRI saja. Televisi pemerintah itu menjalin kerja sama dengan salah satu stasiun televisi Jerman dan me-relay beberapa program-programnya termasuk siaran Bundesliga. Hanya dalam waktu singkat Jerman menjadi terasa dekat.
Masuknya siaran TV Jerman itulah yang menjadi awal mula perkenalan Ibu saya dan adik-adiknya dengan sepak bola Jerman. Ibu memiliki empat orang adik. Ibu, adik pertama, dan adik bungsunya hingga kini sama-sama masih menggemari timnas Jerman sekaligus klub-klubnya.
Di kubu lain, adik kedua dan ketiga malah membelot saat siaran Serie A mulai masuk ke Indonesia pada awal dekade 1990-an. Mereka jadi lebih menggemari sepak bola Italia yang saat itu tengah berada di puncak, sekaligus turut meracuni saya hingga menggemari Juventus sampai saat ini.
Sebagai ganti kedua adik dan anak pertamanya yang membelot, Ibu merekrut adik saya sebagai penggemar sepak bola Jerman. Ayah saya? Baginya sepak bola telah berhenti sejak Belanda menjuarai Piala Eropa 1988.
Ibu mengaku sangat menggemari Bayern Munchen. Alasannya sederhana saja, Bayern Munchen adalah klub terkuat di Jerman.
“Lha menangan kok,” bisik Ibu kepada saya. Sungguh alasan yang sangat sederhana, tapi pasti dialami pula oleh sebagian besar orang yang membaca tulisan ini.
Bayern Munchen baginya juga merupakan miniatur dari timnas Jerman, karena hampir sebagian besar pemain Bayern Munchen pasti dilihatnya kembali di pertandingan timnas. Nilai plus lain dari Bayern Munchen yang tidak bisa ditolak Ibu adalah parade kegantengan pemainnya yang tak pernah putus dari masa ke masa.
Ibu memulai masa kecilnya dengan menyaksikan kharisma Franz Beckenbauer, meniti pubertas dengan ditemani Karl-Heinz Rummenigge, memasuki fase berkeluarga dengan aksi-aksi Lothar Matthaus dan Jurgen Klinsmann, hingga melihat anak-anaknya tumbuh dewasa bersama Michael Ballack dan Thomas Mueller, khusus yang ini disebutnya sebagai “Hrubesch versi kurus”.
Ibu tidak hanya familiar dengan Bayern Munchen. Ia juga mengetahui klub-klub Jerman lain khususnya yang sedang ada dalam fase “menangan”. Ibu sempat ingat klub Hamburg SV pada masa Kevin Keegan dan Horst Hrubesch yang mampu juara Piala Champions 1983, Kaiserslautern yang menjadi juara Bundesliga 1998 padahal baru promosi tahun 1997, hingga Borussia Dortmund yang notabene adalah musuh besar Bayern.
Tiap kali saya menonton pertandingan Liga Champions atau Liga Europa, Ibu pasti bertanya, ”Yang main siapa? Ada yang dari Jerman?”. Apabila saya mengiyakan, Ibu langsung ikut duduk dan menonton sebentar sambil bertanya tentang nama-nama pemain Jerman yang tengah bermain hingga akhirnya ia terkantuk-kantuk dan menyerah sambil masuk ke kamar.
Akhir-akhir ini Ibu sudah jarang sekali menonton pertandingan sepak bola. Waktu dan tenaganya sudah habis tersita untuk mengurusi toko keluarga dan rumah kami. Ia juga “kehilangan” dua anaknya, yang biasa ditemaninya di ruang tengah untuk menonton pertandingan sepak bola, karena saya dan adik sudah lama merantau.
Saya sendiri sangat merindukan saat-saat menonton sepak bola bersama adik, ayah dan khususnya Ibu. Meskipun agak sebal, tapi saya merindukan Ibu yang selalu mesam-mesem saat Jerman atau klub Jerman selalu menang meskipun sempat tertinggal lebih dulu.
Saat melihat tawa Ibu, saya selalu teringat kata-kata dari Gary Lineker. “Sepak bola adalah permainan yang sangat sederhana. Kamu bisa lihat dua puluh dua orang saling menendang bola, dan di akhir permainan Jerman pasti menang!”