Sepak Bola Adalah Permainan Sederhana, Mengelolanya Tidak!

Akhir tahun, selain ribut-ribut masalah Natal, yang tak kalah jauh bergairah adalah beragam penawaran diskon berbagai produk, mulai dari pakaian hingga baterai handphone, dari potongan cicilan motor hingga penukaran poin hasil akumulasi pembelian pulsa.

Buku-buku juga ditawarkan dengan program diskon yang beragam, bahkan ada yang banting harga. Lewat sebuah program Buku Murah (Kumur), saya menemukan buku bertema sepak bola berjudul WorldCupedia; Ensiklopedia Piala Dunia 1930-2022.

Buku yang cukup tebal, full color, dengan gambar yang tajam ini saya tebus hanya dengan dua lembar sepuluh ribuan.

Sangat murah untuk buku dengan kertas yang lux (harga sebenarnya hampir 300-an ribu). Saya membeli dua eksemplar buku ini, hitung-hitung sebagai koleksi cadangan.

Salah satu bahasan dalam buku ini adalah perjalanan karier Jenderal Total Football, Hendrik Johannes Cruyff. Beliau berujar bahwa sepak bola adalah permainan yang sederhana, namun sangat sulit untuk bermain sederhana.

Ya, saya bisa saja menimpali sang filsuf bahwa saking sulitnya bermain sederhana, sampai-sampai Belanda belum pernah juara dunia, berbeda dengan Jerman, Brasil, atau Italia.

Jika dibawa ke level Asia Tenggara, saking sulitnya bermain sederhana, timnas kita tidak lagi bisa meraih emas SEA Games cabang sepak bola atau juara Piala AFF.

Namun, bermain sederhana tak selalu menjamin kesuksesan. Jerman, yang dahulu selalu bermain sederhana, tak lantas dengan mudah menjadi juara dunia. Pun dengan Thailand atau Jepang.

Kesabaran dalam memperbaiki akademi, kompetisi, dan manajemen, membawa Thailand dan Jepang mengungguli rival-rivalnya di kawasan Asia Tenggara maupun Asia. Intinya, sepak bola adalah permainan sederhana, mengelolanya (ternyata) tidak!

Bertempat di Dongeng Kopi, pada Senin (26/12), dengan diinisiasi oleh Fandom, berlangsung diskusi terkait kondisi sepak bola Indonesia, tentang masa lalu, dan proyeksi untuk masa depan.

Diskusi yang cukup panas ini dipantik oleh dua orang narasumber, Miftakhul FS (Fim) dari Jawa Pos dan Fajar Junaedi, seorang akademisi, sekaligus pemerhati sepak bola nasional.

Keduanya penulis yang telah menghasilkan beberapa tulisan tentang sepak bola nasional. Kurang lebih dua jam diskusi ini berlangsung, saya menyisihkan sedikit catatan melalui tulisan ini.

Dua aktivitas yang difatwakan haram oleh FIFA dalam sepak bola adalah rasialisme dan keterlibatan politik. Meskipun FIFA juga kerap “berpolitik” dalam menentukan hasil voting penyelenggara turnamen yang mendatangkan banyak sponsor dan keuntungan.

BACA JUGA:  Melihat Perkembangan RCD Espanyol Setelah Dikuasai Chen Yangsheng

Lebih parah lagi, tindakan ini berujung pada eksploitasi tenaga kerja dalam mengejar pembangunan stadion penyelenggara suatu kompetisi.

Bagi Fim, politik dalam sepak bola nasional kita adalah sebuah “tradisi” yang sudah lama berlangsung. Sangat sulit menjauhkan aktivitas politik praktis dari sepak bola. Hal itu juga dikuatkan oleh kultur politik kita yang menggunakan kekuatan dari mobilisasi massa untuk ajang unjuk kekuatan.

Maklum, klub dengan basis suporter yang besar akan lebih mudah menyedot massa. Kenyataan ini merupakan sebuah garansi dan menjadi ajang rebutan kekuatan-kekuatan politik, baik di pusat hingga daerah.

Bagi sepak bola yang diwarnai politik praktis, pembinaan dan prestasi bukan sebuah tujuan utama. Sebab, keseluruhan prosesnya merupakan ajang kontestasi kekuasaan. Semangat berkongres dari periode ke periode adalah semangat untuk merebut atau melanggengkan kekuasaan.

Fim menyebutkan bagaimana kelompok pendukung berbagai klub Indonesia yang dimobilisasi oleh kekuatan politik untuk tujuan-tujuan yang jauh dari dukung-mendukung dan peduli terhadap klub itu sendiri.

Itu mungkin sedikit pengalaman dari seorang wartawan Jawa Pos melihat politik praktis menggunakan sepak bola sebagai jalan berebut kekuasaan. Bagaimana dengan suporter dan klub sepak bola di daerah Anda?

Sementara itu, Fajar Junaedi menjelaskan dengan singkat bagaimana genealogi kapitalisme dua tradisi yang jauh berbeda. Di Eropa, kemunculan kapitalisme ditandai dengan Revolusi Industri yang kemudian melahirkan banyak kebutuhan kompetisi antar-manusia dan antar-korporasi.

Sedangkan di Indonesia, kapitalisme yang dipraktikkan secara semu, jauh berbeda dengan di Eropa. Praktik kapitalisme di Indonesia didorong oleh semangat rente dan pelibatan kekuasaan secara intim dengan pemilik modal.

Praktik kapitalisme semu ini juga kemudian menular ke sepak bola lokal. Fim membuktikannya dengan melihat sejarah klub yang didirikan demi ekspansi bisnis. Legitimasi dari penguasa tentu tidak cukup, pelaku bisnis juga membutuhkan legitimasi “altruis” terhadap sekelilingnya.

Sepak bola dijadikan jalan pintas untuk meraih kedua legitimasi tersebut. Di awal unifikasi Galatama dan Perserikatan, ada beberapa klub yang didirikan kemudian berpindah kandang kapan saja ketika kebutuhan meluaskan sayap bisnis sudah mendesak.

Hingga urusan transfer, kuota pemain asing, dan jasa agen pemain asing pun menjadi ladang paling menjanjikan dalam memainkan jaringan bisnis sepak bola.

BACA JUGA:  Kegagalan Sepak Bola Kita, Apakah karena Kutukan atau Salah Urus?

Politik praktis (mobilisasi massa) dan praktik kapitalisme semu di Indonesia melalui jejaring “bisnis hitam” adalah dua hal yang membuat sepak bola, yang kerap dimaknai sebagai permainan sederhana, menjadi semakin sulit untuk dipraktikkan.

Kedua entitas ini berpengaruh kepada kualitas pembinaan, kompetisi, manajemen, dan kejujuran. Sebagai contoh, rentannya pencurian umur di kompetisi usia muda hingga konteks “harus juara” yang sudah disematkan sejak usia dini.

Maka tak heran apabila di level senior, sepak bola kita kering prestasi. Optimisme dan anggapan keberhasilan pembinaan seharusnya tidak berakhir di level kompetisi seperti Danone Cup atau Piala Pelajar Asia.

Baik Fim maupun Fajar Junaedi memberikan gambaran upaya perbaikan sepak bola Indonesia dengan banyak melibatkan kelas menengah yang melek literasi dan peduli sepak bola lokal.

Komunitas dan kelompok-kelompok suporter tim lokal yang punya basis di sekolah dan perguruan tinggi adalah sebuah gairah yang bisa dikolaborasikan dengan suporter untuk membangun kesadaran sehingga politik praktis bisa dikikis.

Kontribusi perguruan tinggi untuk menyediakan stok referensi atau menyumbangkan praktisi yang memahami perkembangan sepak bola secara sains sangat dibutuhkan. Sehingga, ilmu pengetahuan kemudian bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas setiap pemain sepak bola secara teknik, mental, maupun fisiknya.

Kesempatan yang luas sudah diberikan kepada kelompok-kelompok suporter yang peduli terhadap klubnya. Misalnya ketika PSS Stats atau PSIM Stats diberi kesempatan untuk menyampaikan ide dan catatanya di depan tim pelatih. Hal-hal positif ini yang harus terus dijaga.

Selain itu, ilmu medis, pengetahuan akan gizi, manajemen yang bersih, hingga ilmu ekonomi juga bisa memberikan dampak yang apik bagi masa depan sepak bola Indonesia. Tentu, hal-hal itu harus disokong oleh level disiplin pemain dan pelatih yang harus terus ditingkatkan.

Pengelolaan klub dan manajemen sepak bola secara keseluruhan memang bukan barang yang sederhana. Namun, segala keribetan ini harus ditekuni apabila Indonesia ingin mengejar Thailand. Apa mau, sepak bola kita ditinggal lari oleh Malaysia?

Tidak ada kata terlambat, tidak ada kata lelah untuk mencintai sepak bola Indonesia meski pada kenyataannya selalu kusut!

 

Komentar
Penulis tinggal di kota Tarakan, Kalimantan Utara. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @adesaktiawan.