Sepakbola Adalah Cara Vietnam Merayakan Kemenangan

Beberapa pekan lalu, kita telah terbuai dengan sebuah kenormalan baru dalam jagad sepakbola. Situasi tersebut dipelopori oleh sebuah pertandingan di Lembah Ruhr, sebuah laga derbi tadisional Jerman yang mempertemukan Borussia Dortmund dan Schalke 04.

Kehebohan yang meyertai laga itu menyiratkan satu hal: atas segala kejadian yang belakangan ini terjadi, sepakbola masihlah sebuah pesta yang tepat untuk dirayakan.

Tidak ada jabat tangan di sana, lantaran memang itu protokol kesehatan yang telah diperintahkan. Apa lagi selebrasi membuka baju dan saling peluk rekan sesama tim untuk mencurahkan kebahagiaan. Pekan demi pekan, setiap gol dirayakan dengan cara apa adanya.

Lebih mendekat lagi ke tempat Ibu Pertiwi berpijak, sebenarnya Korea Selatan telah memulai kompetisi sepakbola mereka. Namun, tetap masih sunyi senyap tanpa penonton.

Hanya teriakan pelatih tim juara bertahan, Jeonbuk Motors, yang terdengar. Pekikan itu membelah Stadion Piala Dunia Jeonju kala sebelas anak asuhnya berusaha mengatasi permainan sang rival, Suwon Bluewings.

Dalam setiap tendangan bola, barangkali kini bukan hanya tersemat sebuah harapan merobek jala lawan saja. Namun, lebih luas lagi, bisa jadi teriring doa atas nama kesehatan.

Di atas semua hal, baik itu merasuki kemenangan maupun trofi dan arak-arakannya ke seluruh penjuru kota, ada hal yang lebih penting lagi, yakini keselamatan.

Dari laga masyhur di Lembah Ruhr yang dimenangkan oleh Dortmund dengan skor telak, hingga teriakan Jose Morais kala merayakan gol Lee Dong-Gook sebagai penentu kemenangan Jeonbuk ada satu pelajaran yang bisa diambil.

Hikmah itu berkata bahwa pendapatan finansial dari tiket penonton dan selebrasi yang berlebihan dari sebuah gol bukan merupakan satu-satunya faktor penentu sebuah titi mangsa dalam kompetisi sepakbola.

Beralih ke sebuah negeri yang ideologinya selalu kita kencingi. Kala pandemi datang, presiden negeri itu langsung menyatakan perang. Tidak ada pula guyonan tidak lucu seperti apa yang dikatakan oleh beberapa menteri kebanggaan tetangganya.

Negara yang kini telah terbebas dari pandemi tersebut bernama Vietnam. Mengingat situasi di Indonesia, tentu kita akan bergidig ngeri saat melihat laga yang tengah dilaksanakan di sana.

Bayangkan, tribun stadion penuh ratusan manusia yang memadatinya. Mereka mengibarkan bendera, saling melompat dan meneriakan kata-kata penyemangat untuk tim kebanggaannya.

Bundesliga Jerman dan Liga Korea memang menyuguhkan pertandingan. Namun, masalah riuh dan sorak sorai Liga Vietnam lah yang menyuguhi dahaga kita akan sepakbola seperti keadaan semula.

Hal itu tentu berkaitan dengan kebijakan cepat tanggap dari Perdana Menteri Vietnam, Nguyen Xuan Phuc. Kebijakan memutus penerbangan dari dan ke luar negeri jelas membuat wilayah di dalamnya yang hampir taka da lagi kasus baru menjadi lebih aman.

Masih banyak kebijakan lainnya yang membuat Vietnam kini benar-benar merasakan sebuah kenormalan yang baru. Bukan kenormalan yang dipaksakan berada di bawah umbul-umbul bernama keresahan.

Semisal kemenangan atas pandemi tersebut adalah sebuah permainan sepakbola, sebuah kewajaran bila surat kabar menuliskan judul besar: “Vietnam Menang dengan Skor Telak!”.

Soal sepakbola, VFF, federasi tertinggi negara tersebut, mengaku telah mengantongi izin resmi dari pemerintah. Alhasil, kompetisi sepakbola di Vietnam bergulir kembali.

Gegap gempita itu sejatinya telah dilaksanakan sejak 23 Mei 2020 dalam perhelatan Piala Nasional. Pertandingan itu mempertemukan Nam Dinh sebagai kekuatan tradisional Vietnam Utara, bertemu dengan Hoàng Anh Gia Lai.

Laga yang dihelat di Stadion Thien Truong tersebut menyajikan pemandangan 10 ribu penonton berdesakan untuk mendukung Nam Dinh dengan suka cita. Entah dalam rangka merayakan kemenangan timnya atau malah merayakan kenormalan yang memang layak mereka dapat.

Sementara itu, Liga Vietnam sendiri baru dilaksanakan dua pekan kemudian, tepatnya tanggal 5 Juni. Untuk menyiasati mepetnya waktu yang tersisa, perubahan format dilakukan.

Laga yang seharusnya menyisakan 26 laga, dipangkas habis dan hanya menyisakan 13 pertandingan saja. Sebanyak 8 tim teratas akan maju ke babak berikutnya, sedangkan sepasang tim paling buncit akan terdegradasi.

Pertandingan antara Hai Phong dan Ho Chi Minh City FC menjadi pembuka petang itu. Kemudian dilanjutkan dua laga lagi antara Nam Dinh kontra Viettel, serta Saigon FC menjamu Becamex Binh Duong.

Tiga pertandingan di hari perdana dimulainya liga tersebut langsung boleh dihadiri penonton. Tentunya dengan prosedur-prosedur kesehatan khusus yang diterapkan pemerintah setempat.

Dalam laga Hanoi FC menghadapi HAGL yang berkesudahan dengan kemenangan tuan rumah dengan skor 3-0, mennunjukan pemandangan menarik. Para suporter Hanoi, tidak hanya mendukung, tetapi juga berpesta.

Mereka membuat sebuah koreografi bertuliskan “Mengembangkan Warisan”. Dalam situasi tersebut, semua bercampur dalam suka cita. Barangkali itulah kondisi yang tepat untuk mendefinisikan normal yang sesungguhnya.

Sementara itu, di kandang Nam Dinh, ribuan penonton hadir. Mereka bersuka cita merayakan lesatan luar biasa milik penyerang mereka, Rafaelson.

Tidak seperti di Bundesliga Jerman yang dengan alasan kesehatan dijalankan protokol untuk meminimalisasi kontak, Rafaelson dan rekan satu timnya saling perpelukan dan berteriak dengan girang.

Juga tidak seperti di Liga Korea saat teriakan Jose Morais terdengar menggelagar walau sejatinya amat sunyi, pekikan pelatih Nam Dinh, Nguyen Van Sy, justru tertutup oleh gemuruh riuh sambutan pendukung timnya.

Bendera-bendera kuning atas nama kebanggaan klub tersebut berkibar menyasak-isak. Berkibar di tengah kerumunan yang tak sungkan untuk saling rangkul seperti kondisi sedia kala. Perhelatan sepakbola itu mungkin bisa jadi tolok ukur kesuksesan pemerintah Vietnam menangani pandemi.

Sementara itu, di beberapa negara lain, si kulit bulat juga mulai digulirkan. Liga-liga besar di Eropa perlahan tetapi pasti melakukan sepak mula kembali walau dengan protokol kesehatan yang lebih ketat. Satu lagi negara tetangga, Thailand, juga sudah ancang-ancang.

Lalu, apa kabar dengan Indonesia yang baru saja merebut posisi puncak klasemen sebagai negara dengan kasus terbanyak di Asia Tenggara?

Jika tidak mau patah hati berkepanjangan, sudahlah buang dahulu ekspektasi Liga 1 akan lekas digulirkan kembali. Atau andai memang berjalan lagi, bolehlah menyingkirkan bayangan bahwa kompetisi dijalankan sesuai protokol sampai ke detail-detailnya.

Cukuplah kita saat ini memandang kesuksesan negara tetangga itu. Perjuangan mereka melawan makhluk kecil tak kasat mata yang menggegerkan dunia ini memang lebih baik. Sementra itu, Liga Vietnam dengan segala gegap gempitanya adalah hadiah yang pantas didapatkan oleh mereka.

Komentar

This website uses cookies.