Bayangkan ada 11 pemain sepakbola yang tengah bermain bersama. Semuanya berbeda-beda kewarganegaraan, dan berbeda pula bahasa ibu yang digunakan. Artinya, ada 11 penutur di atas lapangan hijau. Bisa bayangkan sulitnya berkomunikasi satu sama lain?
Bagi beberapa pemain, menguasai bahasa di mana dia bermain adalah sebuah masalah tersendiri. Memang, ada yang tetap sukses meskipun tidak menguasi bahasa setempat, namun banyak juga yang gagal, atau setidaknya terancam gagal. Lantas, apakah penguasaan bahasa menentukan prestasi?
Kita putar waktu ke belakang, tepatnya di tahun 2003. Sam Pilger, seorang jurnalis, melakukan wawancara dengan Robert Pires di sebuah restoran Prancis di London Utara. Pada tahun itu, Pires masih berseragam Arsenal. Salah satu topik yang diobrolkan adalah soal penguasaan bahasa.
Pires mengaku kepada Sam Pilger bahwa ia tak terlalu menguasai Bahasa Inggris. Hanya beberapa patah kata saja yang ia tahu. Namun, lebih lanjut, pemain asal Prancis tersebut menegaskan bahwa “kegagalanya” menguasai Bahasa Inggris tidak menjadi halangan untuk bisa saling memahami di atas lapangan.
Penegasan tersebut memang beralasan jika kita melihat rekam jejak Pires bersama Arsenal. Selain berhasil membantu Arsenal menyandang status The Invincible, pemain yang fasih bermain di sisi lapangan tersebut beberapa kali terpilih sebagai penampil terbaik dalam sebuah laga.
Namun, jika kita melihat ke skuat Arsenal pada saat itu, pemain-pemain berkewarganegaraan Prancis cukup banyak. Mulai dari Thierry Henry, hingga Sylvain Wiltord. Bahkan, semua pasti tahu, Arsene Wenger berasal dari negeri penghasil Bordeaux pinot noir wines. Pires berada di tengah lingkungan yang membuatnya nyaman.
Lingkungan yang nyaman akan memudahkan pemain (dan pelatih) untuk beradaptasi dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Jika Pires terbantu dengan rekan-rekannya yang berbicara menggunakan Bahasa Perancis, kisah Maurico Pochettino di Inggris lebih hebat lagi. Ia datang dengan status tak lancar berbahasa Inggris.
Kala itu, fans Southampton cukup kaget dengan situasi tersebut. Kekhawatiran akan sebuah kegagalan pasti terbayang. Namun, faktanya, Pochettino justru mampu membawa Southampton mengganggu kenyamanan tim-tim papan atas. Hingga akhirnya Poch diboyong Tottenham Hotspur.
Bagaimana cara Pochettino mengatasi permasaahan bahasa? Selain menggunakan penerjemah, pelatih asal Argentina tersebut juga menggunaan gestur untuk menjelaskan taktik dan idenya. Memang, gestur juga bagian dari bahasa itu sendiri. Namun, memerlukan usaha ekstra untuk benar-benar dapat dipahami pemain.
“Saya merasa mampu berkomunikasi dengan baik dengan para pemain. Dan kebanyakan komunikasi terjadi lewat gestur, ketimbang komunikasi verbal. Menggunakan gestur, para pemain sepak bola lebih mudah paham ketika diberikan penjelasan soal penempatan diri ketimbang menggunakan kata-kata,” ungkap Pochettino.
“Namun, seiring waktu, sangat penting bagi saya untuk mampu berkomunikasi secara verbal dengan para pemain,” tegas Poch.
Ya, berkomunikasi secara verbal juga penting untuk melengkapi gestur. Hal ini juga ditegaskan oleh Petr Cech dan Didier Drogba. Cech menegaskan bahwa para pemain asing yang pertama kali datang ke Inggris untuk segera belajar bahasa Inggris. Gestur tetap rentan diartikan secara salah. Maka, bahasa verbal akan sangat membantu.
Lalu, bagaimana dengan pemain yang tak seberuntung Pires, yang dikelilingi banyak pemain yang berbicara menggunakan bahasa ibunya?
Untuk itu, mari kita kunjungi Carlos Tevez, tepatnya ketika ia menjadi penyelamat West Ham United, berperan besar dalam capaian juara Manchester United, dan cukup vital bagi Manchester City.
Tevez tak fasih berbicara menggunakan Bahasa Inggris, pun ia tak selalu dikelilingi rekan-rekan dengan bahasa ibu yang sama. Namun, Tevez terbilang cukup sukses di Inggris. Ia juara liga bersama Manchester United. Bahkan sempat pula mencicipi rasanya menjadi juara Liga Champions.
Bersama Wayne Rooney, Cristiano Ronaldo, dan Louis Saha, Tevez membentuk kuartet mematikan. Rooney berasal dari Inggris, Ronaldo dari Portugal, dan Saha dan Prancis. Bagaimana cara Tevez berkomunikasi dengan mereka? Bukan hanya ketika di atas lapangan, tetapi di keseharian juga. Apakah gestur juga memerankan peran penting untuk kasus Tevez?
Apakah anggapan “Sepakbola adalah bahasa universal” benar adanya? Apakah anggapan tersebut hanya berlaku di atas lapangan saja?
Tunggu dulu, jika kita menengok ke kisah Michael Owen, anggapan tersebut bisa tidak berarti. Tepatnya ketika striker asal Inggris tersebut bermain di Spanyol bersama Real Madrid.
Owen diboyong Madrid dari Liverpool sebagai bagian dari usaha Florentino Perez membentuk lingkungan pesepak bola yang disebut Los Galactico. Sayangnya, Owen gagal memenuhi ekspektasi sebagai salah satu striker terbaik Inggris.
Kepada The Sun, yang dikutip skysports.com, Owen mengakui bahwa bahasa menjadi halangan baginya. “Saya tak memahami percakapan pemain lain karena masalah bahasa,” ungkapnya. Ia sempat menegaskan pentingnya untuk segera menguasai Bahasa Spanyol. Namun, kita semua tahu akhir cerita Owen bersama Madrid. Ia gagal dan pulang kampung.
Kegagalan menguasai bahasa lalu gagal berprestasi juga menimpa kompatriot Owen di timnas Inggris. Adalah Gary Neville, yang dipecat Valencia pada tahun 2016 yang lalu. Salah satu masalah yang dihadapi Neville adalah penguasaan Bahasa Spanyol.
Mantan pemain Manchester United tersebut punya usaha yang unik untuk mengatasi masalah tersebut. Ia menggunakan teknologi untuk membantunya berkomunikasi dengan para pemain. Neville membagikan iPad untuk setiap pemain. Apakah Neville menggunakan fasilitas Google Translate untuk menjelaskan idenya? Menarik untuk digali lebih dalam.
Miguel Angel Angulo, asisten Neville kala itu menjelaskan bahwa tujuannya saat itu adalah supaya setiap pemain, dari beragam latar belakang, lebih cepat memahami taktik dan variasinya. Sebuah usaha untuk mengatasi batasan bernama bahasa.
Dan sayang sekali, usaha tersebut gagal. Selain para pemain Valencia yang tak bermain dalam performa terbaik, penerjemahan taktik Nevill pun tak berjalan mulus. Mengapa Neville tak sukses seperti Pochettino?
Perdebatan soal batasan bernama bahasa akan terus bergulir. Ada pemain (dan pelatih) yang sukses meski tak menguasai bahasa tempat mereka bekerja. Ada pula yang gagal lantaran tak mampu mengatasi batasan tersebut. Bagaimana dengan pembaca? Apakah menguasai bahasa adalah salah satu faktor penentu prestasi di sepakbola?
Oya, ada satu poin menarik dari penjelasan di atas, yaitu apakah Bahasa Inggris lebih mudah dikuasai ketimbang Bahasa Spanyol atau Jerman misalnya? Ataukah hanya relatif saja?
Atau semuanya ini hanya soal lingkar otak saja?