Pada sore hari kemarin (21/1), ada perasaan decak kagum yang muncul di dada saat melihat Tim Nasional Putri Indonesia bertarung melawan Tim Nasional Putri Australia.
Dalam laga tersebut, Timnas Putri memang dipermalukan secara total lantaran keok 0-18 dari sang lawan.
Akan tetapi, saya melihat bahwa ada kesungguhan dalam bermain dan semangat pantang menyerah yang ditunjukkan Zahra Muzdalifah dan kolega. Tak peduli bahwa kelas Australia sangat jauh di atas.
Terlepas dari kekecewaan akibat kalah, saya merasa ada aura semringah dari mereka. Zahra beserta rekan-rekannya bermain dengan sepenuh jiwa dan raga.
Lihat saja mereka masih berusaha melakukan marking pada pemain-pemain Australia yang amat gesit itu.
Mereka juga tak segan melakukan kontak fisik ketika pemain lawan menggunakan keunggulan postur tubuh untuk menghentikan permainan kita.
Zahra sendiri yang selama ini sering dianggap sebagai pemain fun football atau selebgram semata, ternyata punya bekal skill yang cukup baik. Hasil dari latihan intensif dan lain sebagainya selama ini.
Kelolosan Timnas Putri ke AFC Women’s Asian Cup memang diiringi skeptisme. Korea Utara dan Irak yang mengundurkan diri, hanya duel melawan Singapura pada babak kualifikasi bikin kelolosan Timnas Putri kita dipandang sebelah mata.
Padahal bukan itu poinnya. Apresiasi harus tetap diberikan kepada Zahra dan kawan-kawan sebab mereka memperlihatkan perkembangan, bahkan ketika tidak ada kompetisi resmi yang dihelat PSSI.
“Ah pemain itu-itu lagi yang dipanggil Timnas!”
“Kok nggak seleksi ke pelosok aja sih?”
“Itu bukan pemain bola, selebgram tuh! Ngapain dipanggil Timnas?”
Coba bayangkan bagaimana sulitnya membentuk Timnas Putri saat tak ada lagi kompetisi. Dua tahun pula!
Bayangkan juga bagaimana mereka harus terus mengasah keterampilan bermain sepakbola di saat tak ada kompetisi!
Jika ini tentang turnamen, bahkan pertandingan dalam sebuah turnamen saja belum tentu sehat untuk diikuti.
Ada beberapa turnamen yang faktanya memiliki jadwal pertandingan setiap hari. Tentu saja ini sangat tidak sehat untuk pemain sepakbola yang juga manusia. Sama sekali tidak memperhitungkan waktu recovery bagi pemain.
Lalu bagaimana dengan fun football yang juga semakin marak dan dianggap cukup untuk menjaga sense pada bola?
Suasana gembira ketika mengikuti kegiatan ini memang dapat membantu pemain mengurangi rasa rindunya terhadap kompetisi.
Kegiatan ini juga menjadi ajang silaturahmi dengan para pemain lain, baik putri maupun putra.
Manfaat lainnya, mereka dapat saling bertukar pikiran tentang trik atau keterampilan tertentu yang nantinya bisa membantu ketika di pertandingan sungguhan.
Tapi, ya, hal utama yang dibutuhkan oleh sepakbola putri adalah kompetisi. Tak hanya untuk Timnas Putri, para pemain yang saat ini masih berkutat dalam klubnya masing-masing juga pasti sangat menginginkan adanya kompetisi yang berkelanjutan.
Bukan sekadar turnamen yang dihelat selama dua sampai tiga pekan selesai lalu disambung dengan turnamen lainnya.
Ingat, suasana antara turnamen dengan kompetisi itu berbeda. Kompetisi memiliki suasana yang jauh lebih serius, ada persaingan, ada jadwal pasti yang berkelanjutan, ada kesiapan program jangka panjang, ada target, dan lain sebagainya.
Kompetisi juga membuat pemain lebih berpikir panjang tentang karier dan tujuan mereka ke depan.
Mereka akan menentukan target apa yang ingin dicapai, menyusun rencana jangka pendek dan panjang tentang apa yang harus dipelajari untuk meningkatkan kualitas diri.
Adanya kompetisi sekaligus memberikan peluang sangat besar untuk regenerasi pemain Timnas.
Sayangnya, PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia tampaknya belum mau berpikir serius soal ini.
Mungkin mereka masih berpikir bahwa sepakbola putri kurang menjanjikan. Apalagi masih banyak anggapan bahwa sepakbola putri sepi peminat, termasuk sponsor, dan lebih menonjolkan paras ayu si pemain dibanding skill mereka.
PSSI seharusnya sadar bahwa selama ini mereka mempersulit diri mereka sendiri dan orang lain. Coba saja pikirkan, bagaimana pelatih Timnas Putri mencari pemain ketika kompetisi saja tidak ada?
Bagaimana menilai proses perkembangan kemampuan pemain jika tak ada kompetisi? Apalah artinya selama ini kampanye sepakbola putri jika kompetisinya saja tidak diadakan?
Toh, kalau tanpa kampanye PSSI pun klub-klub sepakbola putri di daerah sudah semakin banyak. Anak-anak yang bergabung dengan klub-klub putri pun makin bertambah.
Pelatih klub-klub tersebut juga sudah banyak yang berlisensi tinggi. Bahkan di antaranya sudah stabil secara finansial dan dikelola dengan baik.
Para pemain putri itu pada dasarnya memiliki harapan yang sama, berkembang dengan kesukaan mereka meski tahu sepakbola putri di Indonesia itu tak pernah punya kepastian.
Namun mereka memilih untuk tetap bersama meningkatkan keterampilan teknis, mental, dan fisik dengan mengikuti berbagai turnamen. Memupuk asa kelak akan mampu mengisi skuad Timnas dan membanggakan keluarga.
Sepakbola putri tanpa kompetisi hanya akan menjadi ilusi. Sepakbola putri bukan hanya butuh fun football atau turnamen untuk menjaga eksistensinya. Mereka sangat membutuhkan kompetisi yang kontinyu dan berkesinambungan.
Kalau perlu kompetisinya dibagi dalam kelompok-kelompok umur seperti pada Elite Pro Academy yang diperuntukkan bagi klub-klub Liga 1.
Nantinya, PSSI dan jajarannya tidak akan khawatir lagi mencari putri-putri potensial untuk meregenerasi skuad Timnas yang ada sekarang.
Pelatih Timnas Putri pun takkan pusing tujuh keliling mencari informasi tentang Srikandi-Srikandi yang dapat mengisi timnya.
Dengan adanya kompetisi berkelanjutan dan pembinaan yang bersinergi antara klub, Askot/Askab, Asprov, dan PSSI pusat, maka putri-putri potensial Indonesia tak perlu bingung memilih antara sepakbola sebagai hobi atau karier.