Beberapa pemain VIJ yang dapat diuraikan antara lain di barisan centre-half ada Soetrisno yang bertubuh jangkung ditemani centre–half kiri bernama Marmoasmoro yang berperawakan kecil. Kombinasi ini sungguh menakutkan bagi lawan. Mereka pun tergolong sulit dilalui lawan begitu saja.
Di posisi half kanan ada Basir Isa yag merupakan adik dari Dr. Nawir yang merupakan pemain SIVB. Setelah pensiun dari sepak bola, Basir mengabdikan dirinya untuk kemajuan sepakbola Indonesia dengan menjadi anggota komisi pemilihan pemain dan pemusatan latihan di PSSI. Kala itu, federasi sedang diketuai oleh R. Maladi dan bersiap melakukan tur pertama ke luar negeri pada tahun 1956. Tujuan tur itu sendiri adalah negara-negara di kawasan Eropa Timur seperti Cekoslovakia, Jerman Timur, Uni Soviet, dan Yugoslavia.
Sementara beberapa pemain yang membela bendera PSIM antara lain R. Maladi, dan half kanan Slamet Ngalim yang sama-sama memulai karier juniornya di kesebelasan Pandu JPO dari Mangkunegaran. Di fase tersebut, keduanya acap mengikuti latihan di lapangan pasir depan Pura Mangkunegaran yang bernama Lapangan Pamedan.
Para pemain yang masih bocah itu biasanya mulai latihan sejak pukul 14.30 karena lapangan tersebut digunakan untuk latihan pemain-pemain yang sudah dewasa dari pukul 16.00 hingga pukul 17.30. Pada pukul 16.00 para pemain sepak bola yang masih kanak-kanak tadi harus minggir dan bermain ke tepi lapangan sebelum akhirnya seluruh lapangan dipakai latihan oleh para pemain yang sudah dewasa. Di momen ini pula, para pemain junior bisa menyaksikan aksi dari senior mereka sebagai sarana belajar.
Seusai para pemain senior berlatih, tak jarang pemain-pemain junior yang tadinya menonton, kembali ke lapangan untuk memainkan bola lagi di atas lapangan Pamedan. Seringkali, itu berlangsung sampai langit gelap dan bola tak terlihat lagi.
Baik Maladi maupun Slamet Ngalim mulanya merupakan anggota klub internal VVB yang bernama THOR (Top Heil Onze Ribbenkast dan setelah kemerdekaan, tim ini berganti nama menjadi Tansah Hangoedi Olahing Raga. Pada saat menginjak remaja, keduanya pindah sekolah ke Yogya dan bergabung dengan tim internal PSIM bernama IM (Indonesia Moeda).
Usai membela PSIM selama beberapa tahun, Maladi kembali ke Surakarta dan memperkuat Persis hingga akhirnya gantung sepatu dan menjadi ketua PSSI pertama setelah Indonesia merdeka. Dirinya pun berjasa mengembalikan kompetisi Perserikatan pada tahun 1951 usai vakum beberapa tahun akibat gejolak revolusi yang terjadi di tanah air. Sedangkan Slamet Ngalim dikabarkan tutup usia pada saat pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945.
Pos bek kiri PSIM pada saat itu ditempati oleh Mulyono yang perawakannya gagah dan kakinya cukup besar. Untuk posisi bek kanan di tempati oleh Suwongso atau biasa dipanggil dengan nama Wongso. Nama terakhir menggantikan pemain PSIM yang berasal dari klub internal PSIM bernama HW (Hizboel Wathan, yang merupakan klub dari kepanduan organisasi Muhammadiyah) bernama Kempoes.
Wongso ini dikenal sebagai pemain yang nakal sehingga banyak pemain yang takut jika harus berhadapan dengannya di atas rumput hijau. Saking menakutkannya, salah satu lawan Wongso dari tim IM yang bernama Widjono memilih menggiring bola ke luar lapangan saat berhadapan dengan Wongso. Widjono melakukan itu seraya tertawa dan berkata, “ Hla pancen wedi, timbang lara” (Lha, memang takut, ketimbang sakit karena bertubrukan dengan Wongso).
Pada posisi half kiri PSIM ditempati oleh Andreas dari tim internal PSIM bernama Browijoyo. Cara bermain bolanya bersih dan elegan. Ia juga pribadi yang ceria dan sumeh. Selain lihai bermain sepak bola, Andreas piawai memainkan alat musik tiup, saksofon. Kala pensiun, ia mengabdikan diri dalam kepengurusan PSSI Komda Jawa Tengah.
Sayap kanan PSIM ditempati oleh Sarosa atau akrab dipanggil Pak Yus. Beliau berasal dari klub IM. Kabarnya banyak tidak diketahui setelah pindah dan menetap di Jakarta. Sementara posisi kanan dalam PSIM diperkuat oleh RM. Suharso W.R. Ia adalah sosok serba bisa sehingga mampu turun di posisi lain. Tak hanya itu, Suharso juga pandai dalam urusan mencetak gol. Setelah pensiun, ia pernah menjabat sebagai kepala Penjas Angkatan Darat (AD) dan hingga masa pensiunnya lebih memilih menetap di Bandung, Jawa Barat.
Disamping kiri Soeharso ada Soeparmadji yang berpostur jangkung dan memiliki kulit hitam manis. Kiri dalam PSIM ditempati oleh Mukam, dan kiri luarnya ditempati oleh Saring. Khusus sosok terakhir, sejarah mencatat bahwa dirinya pernah membela klub kolonial bernama QUIK di Yogya.
Diakui atau tidak, literatur mengenai sepakbola Indonesia di era kolonial memang tidak mudah ditemukan. Padahal itu wajib diketahui sebagai bahan pembelajaran untuk kita semua sehingga tahu bagaimana perkembangan sepakbola di masa itu sampai akhirnya Indonesia merdeka. Layaknya kehidupan, sepakbola juga diperjuangkan sedemikian rupa agar eksis.
Orang-orang hebat di masa lalu adalah inisiator perjuangan bangsa dari kancah sepakbola. Walau saat ini masih ada begitu banyak kekurangan dan masalah, tapi sepatutnya kita berterima kasih dan bersyukur bahwa perjuangan mereka saat itu menumbuhkan harapan yang indah bagi kita di masa kini.