Sepuluh Hal yang Bisa Dipelajari dari Piala Presiden 2015

Pagelaran Piala Presiden sudah mencapai puncaknya dan menghasilkan Persib Bandung sebagai juaranya. Banyak hal menarik yang bisa kita ambil dan lihat selama turnamen yang berlangsung selama dua bulan ini. Selain ada beberapa pertandingan yang seru dan juga kejutan dari beberapa tim non-unggulan, Piala Presiden juga seolah menjadi oase segar di tengah carut marut sepak bola negeri kita.

Berikut kami sampaikan beberapa hal menarik yang bisa kita cermati dan ambil pelajaran selama pagelaran Piala Presiden 2015 yang terbilang cukup sukses diselenggarakan oleh pihak Mahaka Sport. Ada sepuluh hal menurut kami yang layak kita bahas dan pelajari.

1. Regulasi dari Mahaka dipertanyakan

Ada beberapa isu-isu terkait regulasi dari turnamen Piala Presiden yang jadi polemik di awal penyelenggaraan. Didaftarkannya Boaz Solossa dan Ferinando Pahabol oleh manajemen Pusamania Borneo FC selepas melakoni laga pertama mendapat sorotan karena didaftarkan saat turnamen sudah dijalankan. Alasan karena surat rekomendasi dari Persipura yang telat turun menjadi alibi dari manajemen PBFC yang kemudian direstui oleh Mahaka dan Boaz-Pahabol bisa dimainkan.

Selain isu registrasi pemain, ada isu pemutihan kartu yang konon akan diberlakukan setelah partai perempat final, namun regulasi ini pun menjadi angin lalu karena Hariono yang terkena kartu merah di babak semifinal kedua melawan Mitra Kukar ternyata tidak berhak tampil di final.

Untuk Mahaka maupun pihak lain yang berminat menggulirkan kompetisi, perlu memperhatikan dengan saksama setiap poin aturan pertandingan dan turnamen yang dibuat. Juga harus tegas menegakkan regulasi karena PSSI sering mengecewakan berbagai pihak, salah satu alasan utamanya adalah tidak tegasnya dalam menjalankan aturan serta kerap ada kompromi di balik layar yang memicu ada kecemburuan antaraktor sepak bola.

2. Water Break

Sejak bulan Agustus, pihak Mahaka sudah menetapkan aturan mengenai water break yang akan diadakan setiap menit ke-30 pada tiap babaknya dan berlangsung selama sekitar tiga menit untuk memberi waktu pemain istirahat yang disinyalir staminanya menurun drastis lantaran tidak ada kompetisi.

Mengutip regulasi dari FIFA perihal water break, keputusan Mahaka ini sempat menimbulkan dilema karena selain di satu sisi memberi kesempatan bagi pemain untuk beristirahat memulihkan stamina, jeda ini juga dipandang merusak momentum suatu tim dalam sebuah pertandingan. Dan lagi, syarat water break adalah suhu panas di lapangan yang mencapai di atas 32 derajat celcius, namun kerapkali di partai Piala Presiden yang main malam hari di mana suhu relatif tidak panas, waterbreak tetap dilakukan. Alasan lain, pemain yang berlaga sudah terbiasa dengan cuaca di Indoneia tidak seperti pemain Eropa yang tak nyaman dengan cuaca tropis di Brasil saat Piala Dunia 2014.

Apa pun itu, water break telah menjadi pro dan kontra. Namun, yang jelas, keberadaan water break menambah slot iklan komersial di tengah pertandingan.

3. Animo suporter masih tinggi

Animo atau antusiasme suporter Indonesia adalah satu-satunya hal yang bisa menandingi militansinya kaum-kaum wota prakarsa Alief Maulana. Zen RS dalam salah satu esainya pernah menyinggung perihal kultur sepak bola Indonesia yang sebenarnya bukan gila main bola, tapi gila nonton bola. Kegilaan dalam menonton bola inilah poin penuh yang menggairahkan bagi sepak bola.

BACA JUGA:  Simon McMenemy, Timnas Indonesia Hebat dan Liga yang Sehat

Walau konflik tiada henti di tubuh federasi, turnamen yang terbagi dua dalam rupa Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden, animo penonton tetap tinggi dan menunjukkan tanda yang kuat bahwa sepak bola kita masih punya daya tarik yang hebat terlepas busuknya sistem di dalam.

4. Harapan bergulirnya Liga

Ketika pagelaran Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden usai, muncul pertanyaan di benak setiap penikmat bola tanah air. Setelah ini apalagi? Jawaban terbaik sekaligus harapan kita semua adalah liga yang seharusnya segera digulirkan kembali, dengan terlebih dahulu menyelesaikan friksi dan konflik laten yang tak berujung antara pemerintah dan federasi.

Antusiasme penonton yang cukup tinggi di dua pagelaran Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden seharusnya jadi kode keras bagi dua belah pihak yang bersengketa untuk segera merumuskan jalan keluar dan memulai kembali Liga.

5. Menonjolnya beberapa pemain bintang

Fandom sempat menulis artikel perihal lima pemain bintang yang bersinar di Piala Presiden. Dan memang harusnya itu menjadi salah satu hal patut kita cermati. Kami beranggapan bahwa nama-nama pemain seperti Zulham Zamrun, Cristian Gonzales, hingga Fadhil Sausu adalah nama-nama yang bersinar terang sekali. Dengan harapan liga yang bisa sesegera mungkin digulirkan, setidaknya kita bisa berharap pemain-pemain di atas bisa berseragam Merah Putih di pentas internasional sesegera mungkin, bukan?

6. Muncul pemain muda potensial

Selain nama-nama pemain di poin atas tadi, kami menyertakan beberapa pemain muda yang tampil stabil dan konsisten dan diharapkan mampu bermain stabil untuk bisa digunakan sebagai fondasi skuad timnas yang penuh potensi ke depannya. Nama Terens Puhiri jelas harus dikedepankan. Permainannya kala melawan Persib Bandung sangat istimewa, dan usianya cukup muda.

Selain itu ada nama Lerby Eliandry dari Bali United yang menyumbang empat gol selama turnamen. Di lini tengah ada nama Sandi Darma Sute, salah satu andalan lini tengah Bali United yang masih 23 tahun. Di tim finalis, Sriwijaya FC pun bercokol bek muda Syaiful Indra Cahya. Dengan maraknya kemunculan pemain muda yang potensial, ini tentu sinyal positif untuk stok pemain timnas sekaligus regenerasi yang baik bagi masa depan sepak bola kita. Dengan catatan, kisruh yang itu-itu saja bisa segera berhenti ya, semoga.

7. Kontroversi Bonek FC

Ini salah satu yang penulis anggap sedikit mencoreng citra positif dari pagelaran Piala Presiden secara umum. Keputusan walk out (WO) Bonek FC terkait penalti untuk Sriwijaya FC di babak delapan besar adalah sebuah ketidakdewasaan yang belum sepenuhnya hilang di sepak bola kita. Walau tanpa WO pun, semangat fairplay tetap bisa ditegakkan, dengan misal, Sriwijaya FC menendang penalti ke luar sebagai tanda menghormati keputusan wasit sekaligus menghargai lawan. Dan dari kubu Bonek FC pun bisa harusnya tetap legowo untuk melanjutkan pertandingan dan bersikap dewasa dengan menyelesaikan laga.

Dalam konteks apapun, tindakan WO dalam sebuah pertandingan sepak bola tidak pernah jadi opsi. Untuk apa masuk ke lapangan untuk kemudian mundur di tengah laga hanya karena kecewa? Ayolah.

BACA JUGA:  Geliat dan Ambisi Sepak Bola Negeri Tirai Bambu

Tapi, sebelum kejadian ini, nama Bonek FC saja sudah jadi polemik. Sempat ditolak ikut Piala Presiden karena konflik internal Persebaya belum usai, tim ini mengusung nama Persebaya United. Ketika nama Persebaya dipatenkan dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk Persebaya 1927 (PT Persebaya Indonesia), tim itu lalu bersalin nama menjadi Bonek FC. Bonek FC yang tak didukung Bonek. Sungguh menggelikan.

8. Tim non-unggulan yang menggebrak

Anda pernah mengira Bali United akan mampu lolos fase grup dan tampil ciamik di turnamen ini? Walau berbekal nama Indra Sjafrie sebagai juru racik, belum ada jaminan pasti Serdadu Tridatu akan tampil sebaik ini. Laga perdana Piala Presiden saat mereka menghajar Persija Jakarta 3-0 pun menjadi awal dongeng manis mereka, walau kemudian harus tersingkir berkat hattrick Cristian Gonzales di babak delapan besar.

Selain Bali United, Sriwijaya FC pun juga cukup tampil baik dan bisa lolos ke final. Selain itu ada Mitra Kukar yang tampil defensif ala Jafri Sastra namun mampu tembus semifinal. Kredit perlu diberikan untuk permainan tim-tim tersebut di atas.

9. Kontroversi venue Final

Penolakan Jakmania, pendukung fanatik Persija Jakarta terkait pemilihan Stadion Utama Gelora Bung Karno sebagai tempat partai final mengundang konflik dan kontroversi yang berkepanjangan. Walikota Bandung bahkan sampai harus repot-repot sowan ke Jakarta untuk mencairkan suasana. Belum lagi izin yang (konon katanya) harus turun langsung dari Kapolri, Badrodin Haiti, terkait izin penyelenggaraan final di Jakarta yang melibatkan Persib Bandung, seteru abadi Persija. Di balik semua kontroversi, toh, partai final mampu berlangsung dengan baik dan konflik setidaknya bisa diantisipasi dengan baik. Kericuhan pun berhasil diminimalkan.

Terkait dengan hal ini, Fandom mengulasnya di sini.

10. Final Piala Presiden

Apa yang perlu dipelajari dari poin terakhir ini? Jawabannya ada di tulisan sebelumnya perihal “Lima Hal Yang Harus Kita Pelajari dari Persib Bandung”. Walau terlalu dini menyimpulkan bahwa Persib begitu perkasa dan dominan di Indonesia, setidaknya segala yang ditampilkan Persib sejak penyisihan grup hingga klimaks di partai final adalah contoh nyata bagaimana Persib memberi banyak hal bagi kita untuk pelajari dan cermati, untuk kemudian diterapkan di dalam pola pengurusan semua tim sepak bola profesional di Indonesia.

Semoga, sepuluh hal ini bisa kita pelajari dan refleksikan guna sepak bola Indonesia yang lebih baik ke depannya. Tidak ada salahnya untuk mengambil pelajaran dari kisah sukses Piala Presiden, guna membangun fondasi pengurusan sepak bola nasional yang lebih baik dan tertata. Sepuluh hal ini kami harapkan mampu mendorong kita sadar bahwa konflik di sepak bola kita ini bukan perihal mencari siapa yang disalahkan, namun tentang menemukan apa yang salah dan kemudian diperbaiki dengan sadar dan bersama-sama. Ada federasi, klub, pemerintah dan suporter yang saling bersinergi untuk membangun sepak bola Indonesia, walau harus mulai dari nol pun tak masalah, yang penting tujuannya untuk menjadi lebih baik, bukan?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.