Seto Memang Harus ke Timnas

Potongan rekaman pertandingan PS Sleman melawan Bhayangkara FC tersebar di media sosial sehari setelah laga tersebut berakhir. Video itu menunjukkan salah satu momen Laskar Sembada membangun serangan setelah berhasil mendapatkan bola dari lawan.

Setelah ramai diperbincangkan, tak hanya oleh Sleman Fans, tetapi juga oleh penikmat sepakbola Indonesia, spotlight mulai bergeser. Ketika awalnya perbincangan hanya sebatas pada momen tersebut, kini pelatih PS Sleman, Seto Nurdiyantoro, terkena imbasnya.

Mantan pemain PS Sleman, PSIM Yogyakarta, dan Persiba Bantul itu dianggap sebagai otak dari momen apik yang jarang dilihat di sepakbola Indonesia. Alih-alih bermain bola panjang ketika lini belakang terkena pressing dari pemain depan lawan seperti tim-tim di Indonesia pada umumnya, ia justru menginstruksikan pemainnya untuk tetap memainkan bola dengan kombinasi umpan pendek agar lepas dari pressing tersebut.

Jika ditarik ke belakang, Tim Nasional (timnas) Indonesia memiliki satu permasalahan serupa. Skuat Garuda selalu bermain buruk dalam membangun serangan ketika fase pertama build up mereka diganggu oleh pressing pemain depan lawan. Solusi yang diambil agar tetap dapat mengalirkan bola ke depan adalah dengan menggunakan bola-bola atas ke lini depan.

Solusi itu memang biasa dilakukan di level liga oleh mayoritas tim. Permasalahannya, di level liga pun jarang ada tim yang memiliki dan mengeksekusi rencana matang untuk memenangkan second ball setelah bola panjang dilakukan. Hasilnya seolah-olah murni mengandalkan duel first ball dengan kemungkinan memenangkan bola 50:50.

Sementara Seto, menunjukkan antitesis dari hal tersebut. Berbeda dengan kebanyakan tim Indonesia, ia tak ingin menggunakan bola atas ketika membangun serangan. Hal ini membuat timnya tak perlu berurusan dengan duel first ball, second ball, dan seterusnya. Keberhasilannya dalam mengaplikasikan ide untuk terus memakai umpan-umpan pendek dalam menembus pressing lawan memang layak beroleh apresiasi.

Berangkat dari situ, muncul kampanye untuk mengangkat Seto jadi pelatih skuat Garuda menggantikan Simon McMenemy. Pertanyaannya, apakah Seto benar-benar layak mengemban tugas tersebut?

Secara taktikal, ia memang revolusioner. Caranya melatih pun terbukti apik dengan membawa Laskar Sembada yang tak diperkuat pemain bintang sanggup bercokol di papan tengah. Dua pemainnya, Irkham Mila dan Sidik Saimima, dipoles dengan baik hingga menembus timnas U-22.

Namun, jam terbang sebagai pelatih jadi salah satu masalahnya. Seto baru punya pengalaman lima tahun di kursi kepelatihan dan selama ini, lebih sering berkutat di Liga 2.

PSIM dan PS Sleman yang pernah (dan sedang) ia besut, praktis tak bermaterikan pemain kelas atas yang umumnya, punya ego dan cara penanganan yang berbeda. Cristian Gonzales jadi satu-satunya nama mentereng yang pernah bekerja dengannya, itu pun saat karier El Loco, julukan Gonzales, mulai meredup dan bermain di kasta kedua sepakbola Indonesia.

Sementara itu, timnas Indonesia dipenuhi pemain bintang. Walaupun di level Asia Tenggara belum terbukti, setidaknya mereka adalah bintang di Liga 1, utamanya di klubnya masing-masing. Seto belum pernah menangani pemain-pemain seperti itu.

Seperti yang telah saya tuliskan sebelumnya, melatih pemain-pemain high profile pasti membutuhkan pendekatan yang berbeda. Andai tidak ditangani dengan benar, tentu akan berdampak pada keharmonisan tim. Jika tim sudah tidak harmonis, bagaimana mereka mau mendengarkan instruksi dari pelatih?

Seto perlu membuktikan dahulu bahwa ia sukses dalam menangani tim yang penuh bintang dengan segala ego mereka. Memberikan pengertian kepada Evan Dimas bahwa ia tidak diturunkan pada suatu laga bisa jadi berbeda dengan ketika menyampaikan hal yang sama kepada Dave Mustaine atau Ocvian Chanigio.

Seto memang harus ke timnas, tapi untuk jadi pelatih kepala, rasanya belum pas untuk saat ini. Pelatih asli Sleman itu masih butuh waktu buat belajar. Ia butuh pengalaman sebelum menangani skuat Garuda. Andai PS Sleman tak mampu mewujudkan tim yang dijejali pemain bintang sebagai sarana ia menimba ilmu sekaligus membuktikan kapabilitas, bolehlah Seto mencoba di kesebelasan lainnya.

Di luar daripada itu, ada satu opsi menarik yang Seto kemukakan sendiri via akun Instagram pribadinya. Lelaki berumur 45 tahun tersebut menanggapi banyaknya dukungan untuk menjadi pelatih timnas. Alih-alih mengincar posisi pelatih kepala, Seto malah ingin mengisi jabatan asisten pelatih Skuat Garuda. Sementara posisi pelatih kepala, ia mengusulkan nama Rahmad Darmawan, idola sekaligus teman dekatnya saat menekuni kursus kepelatihan AFC Pro.

Selain karena pribadinya yang memang suka merendah, sepertinya Seto sadar bahwa ia harus banyak belajar. Posisi asisten pelatih akan memberikan pengalaman yang ia butuhkan untuk menapaki jenjang karier yang lebih tinggi.

Akan tetapi, jikalau Seto memang pergi untuk melaksanakan panggilan negara atau mengejar impian dalam karier kepelatihannya, ada satu pertanyaan yang menggelitik. Relakah Sleman Fans melepaskan sosok yang sangat mereka cintai itu?

 

Komentar

This website uses cookies.