Shin Tae Yong, K-Pop dan Identitas Indonesia

Bertempat di Stadion Pakansari, Cibinong, pada Sabtu kemarin (28/12), federasi sepakbola Indonesia (PSSI) resmi memperkenalkan pelatih berkebangsaan Korea Selatan, Shin Tae Yong, sebagai juru latih anyar tim nasional Indonesia menggantikan Simon McMenemy.

Lelaki berusia 49 tahun itu menandatangani kontrak jangka panjang yaitu empat tahun. Menurut penuturan Ketua Umum PSSI, Mochammad Iriawan alias Iwan Bule, ada klausul yang wajib dipenuhi Shin dalam rentang waktu tersebut.

Bagi Shin sendiri, Indonesia jadi kesebelasan kelima yang dipolesnya. Sebelum ini, arsitek kelahiran Yeongdok tersebut membesut Seongnam Ilhwa Chunma, timnas Korea Selatan U-20, U-23 dan senior. Prestasinya di kursi pelatih juga cukup elok, antara lain memenangkan Liga Champions Asia 2010 dan Piala FA Korea 2011 bareng Seongnam.

Perekrutan Shin oleh PSSI guna memaksimalkan kemampuan Evan Dimas dan kawan-kawan, membuat saya teringat akan industri musik asal Korea, K-Pop, yang tengah meroket popularitasnya di kolong langit.

Meski telah eksis sedari pengujung abad ke-19, lesatan popularitas K-Pop baru betul-betul terasa di akhir era 2000-an. Gebrakan hebat plus kualitas musik yang dihasilkan bintang-bintang K-Pop membuat mereka semakin dikenal bukan hanya di Korea Selatan, melainkan juga negara-negara lain di kawasan Asia seperti Cina, Jepang, Indonesia dan bahkan pusat industri musik dunia, Amerika Serikat.

Walau popularitas K-Pop semakin melejit dan digandrungi oleh banyak kalangan, tersimpan begitu banyak masalah yang menggerogotinya dari dalam. Misalnya saja skandal seks atau penggunaan narkoba oleh personel dari boyband maupun girlband Korea seperti Ivy, Park Shi-hoo, dan Seungri.

Belum lagi tudingan bahwa agensi-agensi penghasil bintang K-Pop sering menyodorkan kontrak yang sifatnya mirip perbudakan karena banyak dari mereka yang dipaksa bekerja dengan waktu istirahat minim serta harus terlihat bugar dalam kondisi apapun.

Lebih parahnya lagi, tidak sedikit anggota boyband dan girlband K-Pop yang kemudian dihantam problem mental akibat tekanan tinggi dalam bekerja sampai beroleh perundungan siber oleh publik. Teraktual, ada Sulli dan Goo Hara yang ditemukan meninggal dunia gara-gara bunuh diri.

Situasi yang ada di ranah K-Pop itu tak berbeda jauh dengan sepakbola Indonesia. Meski digilai banyak orang, ada jutaan masalah nan kompleks yang melingkupinya. Mulai dari tata kelola kompetisi yang buruk, kasus tunggakan gaji pemain serta pengaturan skor yang tiada habisnya, kerusuhan yang melibatkan pemain maupun suporter dan masih banyak lagi.

Hal-hal di atas kudu dicermati secara saksama oleh Shin agar tidak kaget dengan iklim sepakbola Indonesia yang sesungguhnya. Sudah menjadi rahasia umum bila persiapan timnas, menjelang tampil di sebuah pertandingan atau mengikuti turnamen, acap terganggu oleh agenda kompetisi dan membuat para pelatih timnas pusing tujuh keliling. Akibatnya, skuat Garuda tak dapat mempersiapkan diri secara maksimal.

Manakala hasil yang diraup Evan dan kolega buruk, telunjuk masyarakat pun kerap mengarah kepada sang pelatih. Benar jika performa pemain di atas rumput hijau memiliki keterkaitan dengan instruksi pelatih, tapi persiapan yang kurang baik lantaran terdistraksi oleh perhelatan kompetisi, mutlak menjadi tanggung jawab PSSI.

Shin adalah figur dengan kemampuan taktik yang aduhai. Namun semua itu bakal sia-sia jika PSSI tak menyediakan iklim sepakbola nasional yang paripurna. Organisasi yang dikepalai Iwan Bule tersebut harus mengakui jikalau kinerja mereka memiliki dampak yang tinggi akan pencapaian timnas Indonesia saat berjibaku di sebuah turnamen.

Apabila kinerja PSSI masih tak karuan, menggamit prestasi adalah kemustahilan. Namun saat PSSI betul-betul bekerja demi sepakbola Indonesia yang lebih baik, probabilitas meraup prestasi tentu semakin meninggi.

Salah satu poin yang kudu diimplementasikan Shin bersama timnas Indonesia adalah memastikan identitas dari skuat Garuda. Selama ini, Indonesia acap beroleh kritik karena sistem permainan yang monoton dan alakadarnya, wabil khusus timnas senior. Padahal di level junior, performa mereka dikenal cukup atraktif dan luwes. Bahkan, ada sejumlah prestasi yang sanggup ditorehkan.

Menanamkan cara bermain yang paling tepat di atas lapangan, tentunya sesuai juga dengan kemampuan Indonesia sehingga tim memiliki sebuah identitas yang jelas, jadi syarat mutlak bagi Shin guna membentuk seraya melambungkan Evan dan kolega. Pembenahan inilah yang mesti dikebut oleh Shin sesegera mungkin.

Agenda yang dihadapi sang pelatih bersama Indonesia dalam beberapa waktu ke depan cukup banyak dan membutuhkan persiapan matang. Paling dekat, skuat Garuda akan tampil di Piala AFF 2020. Entah target apa yang PSSI bebankan kepada Shin dalam ajang tersebut, tapi yang pasti, semua pihak akan menilai sentuhannya dari sana.

Tentu menyenangkan bila dahaga prestasi Indonesia berakhir pada ajang tersebut. Namun kegagalan yang menghampiri sekali lagi, tak sepatutnya jadi alasan utama PSSI buat memecat Shin. Apalagi kalau permainan Indonesia memperlihatkan peningkatan di bawah arahannya lewat sebuah identitas yang hakiki.

Sepakbola Indonesia memang ruwet dan mengurainya perlahan-lahan membutuhkan waktu tidak sedikit. Semoga saja, keinginan Shin untuk membenahi timnas beroleh dukungan maksimal PSSI. Pasalnya, bersama para pemain, kedua belah pihak jadi penentu nasib timnas Indonesia di masa yang akan datang.

Komentar

This website uses cookies.