Signifikansi Era Baru El Clasico

Sepuluh tahun lalu, laga El Clasico yang mempertemukan Real Madrid dan Barcelona adalah komoditas utama sepak bola. Pamornya bahkan sanggup menandingi pertandingan Piala Dunia maupun Liga Champions dari segi jumlah peminat dan audiens.

Keadaan itu terbentuk bukan tanpa alasan. Dalam kurun waktu 2009 hingga 2019, pemenang penghargaan Ballon d’Or diborong oleh tiga pemain dari dua tim yang jadi seteru abadi tersebut. Lionel Messi memenangkan enam penghargaan dan Cristiano Ronaldo mampu mendulang empat di antaranya. Satu lagi, digondol oleh Luka Modric pada edisi 2018.

Daftar pemain yang masuk dalam FIFPro World XI selama dekade 2010-an juga lebih layak disebut dengan tim ‘El Clasico All-Star’ karena diisi oleh mayoritas pemain Real Madrid dan Barcelona. Nama-nama seperti Xavi Hernandez, Andres Iniesta, Dani Alves, dan Sergio Ramos, menjadi langganan tetap daftar tersebut.

Akan tetapi, tuturan tersebut hanya bisa diriwayatkan setelah mengorek jauh-jauh memori masa lampau. Tak ada lagi persaingan pribadi dua pemain terbaik dunia, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, yang menambah panas atmosfer laga.

Ronaldo telah menanggalkan seragam putih Real Madrid miliknya sejak 2018 lalu untuk hengkang ke Juventus. Sedangkan Messi, baru saja bertolak ke ibukota Prancis secara permanen pada Agustus lalu dalam rangka meresmikan kepindahan ke Paris Saint-Germain.

Kepergian dua mega bintang itu bukannya luput dari antisipasi Madrid dan Barcelona. Dalam kurun beberapa tahun belakangan, dua rival tersebut sejatinya telah mendatangkan nama yang dianggap bisa mewarisi perbawa kedua sosok itu.

Hanya saja, pola belanja yang buruk dan problem cedera pemain menghambat perwujudan rencana tersebut.

Pada musim panas 2013, Los Blancos dan Blaugrana sama-sama mendaratkan dua bakat paling mentereng pada zamannya, Madrid mendatangkan Gareth Bale, sementara Barcelona menghadirkan Neymar di Nou Camp.

Tanpa diberi tahu pun, kita sama-sama tahu jika Bale dan Neymar adalah dua figur yang bakal melanjutkan estafet sebagai episentrum di tim masing-masing setelah berakhirnya era Messi dan Ronaldo sekaligus bara anyar di El Clasico.

Namun, faktanya, menerka masa depan tidak sesederhana itu. Tingginya intensitas cedera yang dialami oleh Bale membuatnya gagal untuk menunjukkan potensi penuhnya di Santiago Bernabeu.

Sementara Neymar, lebih miris lagi. Barcelona harus kehilangan salah satu permata terbaiknya akibat meremehkan perumusan klausul pelepasan.

Akibatnya, Madrid dan Barcelona kini benar-benar kehilangan sosok protagonis utamanya masing-masing. Sempat dilabeli sebagai destinasi favorit pemain-pemain terbaik dunia, kondisi kantong kedua klub kini bukanlah tandingan klub-klub top Premier League, atau Paris Saint-Germain.

Untuk memperpanjang nafas, kedua belah pihak melakukan manuver yang tidak disangka-sangka bakal terjadi jika publik membayangkannya pada tiga atau empat tahun lalu. Mereka harus melepas bintang-bintang yang selama ini menopang kedigdayaan masing-masing kubu.

Los Merengues melepas palang pintu andalan mereka ketika memenangi empat trofi Liga Champions dalam rentang waktu tahun 2014 hingga 2018, Sergio Ramos dan Raphael Varane.

Di lain pihak, El Barça harus merelakan kepergian Sang Kapten, Lionel Messi, dan memulangkan Antoine Griezmann ke Atletico Madrid dengan status pinjaman.

Walau penuh nestapa, Madrid dan Barcelona memang harus melakukannya sebagai wujud operasi penyelamatan guna mengurangi beban gaji dan menghindarkan klub dari krisis keuangan yang lebih buruk.

BACA JUGA:  Apa yang Terjadi Jika Messi Lahir Lebih Dulu dari Pele?

Meski demikian, kondisi tersebut rupanya menghadirkan berkat tersendiri buat kedua pihak, juga bagi keberlanjutan dunia sepak bola secara general.

Kini, Madrid dan Barça, yang kerap disebut sebagai asrama pemain bintang, “dipaksa” untuk mengerahkan tenaga pemain-pemain muda milik mereka.

Di kubu Madrid, terdapat nama-nama seperti Eder Militao, Federico Valverde, dan Vinicius Jr. Sementara di Catalan, sosok-sosok seperti Pedri, Eric Garcia, Gavi, dan Ansu Fati, saat ini menopang performa klub yang mereka bela.

Kedua nama terakhir yang disebutkan dari masing-masing kubu, yakni Vinicius dan Ansu Fati, adalah ikon yang paling ramai diperbincangkan dan bahkan seperti terdapat wacana untuk menubuatkan rivalitas mereka sebagai sekuel dari apa yang pernah terjadi antara Ronaldo dan Messi.

Bukannya tak berdasar, baik Vinicius maupun Fati memang sama-sama memenuhi profil untuk saling diperbandingkan.

Keduanya sama-sama pemain berkarakter menyerang dan bermain di posisi sayap kiri. Gaya bermainnya pun similar, kedua remaja itu sama-sama gemar menusuk dari sisi pinggir lapangan dan kemudian melesakkan tembakan ke gawang lawan.

Namun, apakah Vinicius dan Fati sudah layak disejajarkan dengan kedua legenda yang namanya bak sejajar dengan para Dewa tersebut? Apa tidak terlalu dini menobatkan Vinicius dan Fati sebagai suksesor Ronaldo dan Messi?

Vinicius saat ini menjadi instrumen penting tim racikan Carlo Ancelotti untuk mengacak-acak barikade pertahanan lawan dengan pergerakan yang dinamis, sebuah peran yang semestinya dilakoni Eden Hazard dan Gareth Bale.

Dalam segi produktivitas, Vinicius yang telah mencetak 5 gol dan 2 asis dari delapan laga hanya kalah dari Karim Benzema yang sudah menelurkan 9 gol dan 7 buah asis.

Padahal, di masa kepelatihan Zinedine Zidane, Vinicius amat sering dihujani kritikan terkait dengan penyelesaian akhir dan pengambilan keputusannya yang buruk di kotak penalti lawan.

Bahkan, pada Oktober tahun lalu, Karim Benzema pernah tertangkap kamera mengatakan jika ‘Vinicius bermain untuk lawan, dan jangan berikan bola padanya’, kepada bek kiri Los Blancos, Ferland Mendy, pada suatu pertandingan.

Dilansir dari The Athletic, Carlo Ancelotti sendiri heran melihat perkembangan Vinicius yang begitu pesat musim ini.

Media lokal Spanyol menduga jika Ancelotti memang memberi porsi latihan khusus pada Vinicius untuk meningkatkan finishing pemuda berpaspor Brasil itu.

Disebutkan, Ancelotti memberi instruksi pada Vinicius untuk mengeksekusi bola dengan lugas tanpa harus banyak melakukan manuver.

Sikap Ancelotti yang memberi kepercayaan penuh pada Vinicius juga membuatnya kini merasa jadi bagian penting dari tim, hal itu memupuk subur mentalitas pemain kelahiran tahun 2000 itu.

Di rezim Zidane, Vinicius hanya bermain penuh selama 90 menit sebanyak delapan kali dari 35 total laga yang ia jalani. Kini, di bawah arahan Ancelotti, Vinicius bertransformasi jadi sosok yang penuh percaya diri.

Vinicius kini benar-benar jadi tumpuan serangan El Real. Menurut laman WhoScored, musim ini Real Madrid melancarkan 40% serangannya dari sisi kiri, sisi yang dihuni oleh Vinicius.

Serangan Madrid yang terpusat di kiri jadi paling banyak jika dibandingkan dengan serangan yang dibangun dari sisi sentral (26%), dan sisi kanan (34%).

BACA JUGA:  Angin Perubahan yang Dibawa Carlo Ancelotti

Meski jalannya untuk menyamai Ronaldo masih jauh, setidaknya Vinicius sementara ini bisa jadi penghiburan bagi publik Real Madrid yang pernah gagal mengamankan jasa pemuda Brasil berusia 13 tahun pada 2005 lalu. Sosok yang dimaksud adalah Neymar.

Begitu pula dengan Ansu Fati, promosinya ke tim utama Blaugrana pada pembuka musim 2019-2020 dipenuhi dengan unsur “ketidaksengajaan” tatkala pemain-pemain senior seperti Lionel Messi, Luis Suarez, dan Ousmane Dembele mengalami cedera.

Minim opsi di sektor penyerangan, pelatih Blaugrana kala itu, Ernesto Valverde, memutuskan untuk mengikutsertakan Ansu Fati di laga kedua La Liga musim itu menghadapi Real Betis.

Di laga itu, Fati menjalani debut seniornya di usia 16 tahun dan 298 hari. Saat seusia Fati, Lionel Messi bahkan masih menghabiskan waktunya untuk bermain bersama Barcelona B.

Musim 2019-2020 berjalan indah buat Ansu Fati. Meski harus rela melihat Real Madrid menjuarai liga, pencapaian individu remaja kelahiran Guinea-Bissau tersebut menjadi hal yang bisa ia banggakan. Dari 33 laga yang dijalani, Fati bisa mencetak tujuh gol.

Namun sayang, ia harus menepi selama sembilan bulan akibat cedera tulang meniskus di lutut kirinya terhitung sejak November 2020 silam.

Fati baru kembali merumput 323 hari kemudian tatkala Barcelona berjumpa Levante pada 26 September lalu, dan langsung mencetak satu gol beberapa menit selepas turun ke lapangan.

Mewarisi nomor 10 kepunyaan Lionel Messi, beban berat kini menggelayuti pundak penyerang Tim Nasional Spanyol tersebut.

Sama seperti Vinicius, Fati kini dibebani tanggung jawab untuk menopang kinerja klub yang seharusnya saat ini dilakukan oleh pemain-pemain senior macam Philippe Coutinho, Ousmane Dembele, atau Antoine Griezmann. Padahal, ia baru saja pulih dari cedera panjang.

Miris memang apabila mengingat betapa banyak uang yang dihambur-hamburkan Madrid dan Barcelona untuk menggaji pemain-pemain berkinerja gaib.

Namun tak mengapa, tanggung jawab besar malah bakal membuat pijakan kaki dua insan muda tersebut menjadi makin kuat guna menaklukkan jagad sepak bola untuk kurun waktu 15 tahun mendatang.

Mungkin saja, kesamaan nasib itu bakal mengantarkan Vinicius dan Fati menjadi teman akrab. Sebuah modal bagus apabila suatu hari keduanya menjalani hari sebagai rekan satu tim di Newcastle United.

Kini, signifikansi El Clasico pada era baru telah bergeser. Jika semula pertemuan kedua klub dianggap sebagai ajang medan tempur paripurna bagi pemain-pemain terbaik dunia, saat ini sahih rasanya jika menyematkan El Clasico sebagai arena pembelajaran bagi talenta-talenta muda paling berbakat di dunia.

Sepak bola tak akan kehilangan sosok-sosok protagonis di masa depan. Keberlanjutan mata rantai itu sudah semestinya kita sambut dengan suka cita.

Jika di tahun-tahun sebelumnya audiens menyaksikan El Clasico dengan tensi tinggi, agaknya boleh saja kita kendurkan sedikit urat saraf yang tertanam di bawah kulit.

Setidaknya, sampai para pemuda itu mencapai usia matang dan penuh ego untuk berebut sorotan di panggung utama sepakbola dengan tajuk El Clasico beberapa tahun lagi, sesuatu yang pernah dilakukan pendahulu-pendahulu mereka.

Komentar
Sesekali mendua pada MotoGP dan Formula 1. Bisa diajak ngobrol di akun twitter @DamarEvans_06