Melalui media sosial Twitter resminya, Internazionale Milano mengumumkan Simone Inzaghi sebagai pelatih baru mereka dalam menyongsong musim kompetisi 2021/2022. Saudara kandung Filippo Inzaghi tersebut diganjar kontrak selama dua musim.
Beberapa hari sebelumnya, dalam sebuah percakapan di grup WhatsApp, seorang rekan Interisti begitu bersemangata untuk mengajak saya berpartisipasi dalam podcast garapannya untuk membahas isu-isu terkini perihal Inter.
Salah satu topik yang paling seru untuk dibahas tentulah pengganti Antonio Conte di bangku pelatih walau yang bersangkutan baru saja mengantar La Beneamata memenangkan scudetto ke-19.
Kepergian mengejutkan Antonio Conte bahkan membuat linimasa media sosial begitu riuh. Namanya pun sempat memuncaki trending topic di Twitter.
Antonio Conte menjadi buah bibir karena hengkang setelah membawa Inter meraih kesuksesan. Langkahnya persis seperti yang dilakukan Jose Mourinho sedekade silam. Lelaki Portugal itu minggat ke Real Madrid setelah mengantar La Beneamata menggondol tiga gelar di musim 2009/2010.
Momen putus hubungannya Inter dengan pelatih yang baru saja sukses itu menimbulkan silang pendapat yang amat sengit di kalangan Interisti. Khusus untuk Antonio Conte, kiprahnya bersama Inter beberapa kali diwarnai hujatan yang memunculkan tanda pagar #ConteOut di media sosial.
Akan tetapi, saat ia mampu membangun skuad yang punya mentalitas jempolan dan berhasil meraup sukses, kepergiannya dari Stadion Giuseppe Meazza justru ditangisi oleh Interisti.
Kendati demikian, Interisti harus berkaca pada ucapan eks manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson. Ia pernah melontarkan sebuah kalimat menohok, “Tak ada nama yang lebih besar dari klub sepakbola itu sendiri”.
Dari pengalaman kepelatihannya, ucapan Sir Alex Ferguson menyasar pemain, pelatih, bahkan manajemen klub. Ferguson tampak meyakini bahwa klub memang selalu lebih besar daripada lainnya.
Pemain, pelatih, bahkan presiden klub sekalipun bisa datang dan pergi. Namun tidak ada satu orang pun yang boleh jemawa dan merasa dirinya lebih besar dari klub tersebut. Kepentingan klub merupakan prioritas utama yang harus dijunjung tinggi.
Siklus perubahan di internal klub sepakbola adalah hal lumrah. Jadi, nikmati saja ‘permainan’ yang terjadi di luar lapangan hijau tersebut.
Untuk saat ini, garis akhir telah dicapai oleh Antonio Conte di Inter. Suka tidak suka, ia telah membuktikan kinerjanya dan sanggup menyudahi paceklik titel Inter selama satu dekade.
Layaknya La Beneamata yang berupaya move on. Maka Interisti juga harus melakukan hal serupa. Masa depan kudu disongsong dengan asa serta mimpi-mimpi baru.
Dan Simone Inzaghi, adalah sosok yang dirasa manajemen Inter bisa menghadirkan asa baru tersebut seraya mewujudkan mimpi-mimpi yang tengah disemai.
Meski begitu, perekrutan Simone Inzaghi juga menimbulkan sedikit friksi dengan Lazio, terutama sang presiden klub, Claudio Lotito. Pasalnya, sebelum menerima pinangan Inter, dirinya disebut-sebut telah membuat perjanjian secara verbal dengan Lotito dan setuju untuk melanjutkan karier kepelatihannya bersama I Biancoceleste.
Romantisme Gemellagio
Medio 1980-an, lahir sebuah relasi yang erat di antara suporter Lazio dan Inter. Semuanya diawali oleh kedekatan kelompok suporter Eagles dan Boys Sez Roma (BSR). Hubungan itu kemudian berlanjut dan diteruskan oleh dua kelompok ultras kedua tim, Irriducibili Lazio dan Boys San Inter.
Kedekatan itu kemudian berlangsung seiring waktu, termasuk soal mudahnya perpindahan pemain dari Lazio ke Inter ataupun sebaliknya. Walau seiring waktu, banyak Laziale yang merasa kalau pemain-pemain terbaik mereka terlalu sering dibajak La Beneamata.
Tatkala Inzaghi kian mendekat dengan Inter, alih-alih bertahan di Stadion Olimpico, ultras Lazio membuat sebuah pernyataan yang isinya berupa ucapan terima kasih kepada sang pelatih dan mendoakan kariernya semakin cemerlang di masa yang akan datang.
Tidak ada cacian maupun rundungan yang mereka rilis via pernyataan tersebut. Alhasil, banyak yang meyakini kalau Laziale ikhlas melepas sang pelatih yang kontraknya memang berakhir pada musim panas 2021 dan gemellagio di antara Lazio dan Inter masih terjalin mesra.
Simone Inzaghi Pada Masa Lalu dan Masa yang Akan Datang
Perjalanan karier Simone Inzaghi sebagai pesepakbola mungkin tak sementereng sang kakak yang bergelimang gelar, baik saat membela Juventus maupun AC Milan. Ia lama memperkuat Lazio dan sempat meraih sejumlah titel pada era kejayaan I Biancoceleste di akhir 1990-an dan awal 2000-an.
Satu scudetto, tiga Piala Italia, dua Piala Super Italia, dan satu Piala Super Eropa menjadi pewarna rekam jejaknya. Namun buat Interisti, Simone Inzaghi sebagai pesepakbola pernah menorehkan cerita kelam.
Pada 5 Mei 2002 di Stadion Olimpico, Inter memainkan laga pamungkasnya di musim 2001/2002 dengan menghadapi Lazio. Hasil positif di laga itu akan membuat La Beneamata menjuarai Serie A usai berpuasa sedekade lebih.
Pesaing Inter ketika itu adalah AS Roma (berhadapan dengan Torino) dan Juventus (bersua Udinese). Suporter Lazio sudah ‘meminta’ kepada para pemainnya agar memberi jalan untuk Inter. Tujuannya jelas yakni menjegal langkah sang rival sekota, Roma, berpesta di pengujung musim.
Lebih baik melihat Ronaldo dan kawan-kawan yang berpesta dan bereuforia ketimbang Francesco Totti dan kolega. Namun harapan tinggal harapan. I Biancoceleste justru tampil menggila dalam laga tersebut.
Empat gol mereka sarangkan ke gawang Inter dengan salah satu pencetaknya adalah Simone Inzaghi. Lazio menang 4-2 dan memupus asa sang tamu menggondol scudetto.
Di laga lain, Roma dan Juventus sama-sama menang. Namun keinginan Laziale melihat I Giallorossi tak jadi kampiun terwujud sebab perolehan poin tertinggi dipegang oleh I Bianconeri.
Juventus meraih scudetto ke-26 sepanjang sejarah. Roma gagal mempertahankan gelar seperti yang diinginkan Laziale. Namun yang paling merasa hancur tetaplah Inter dan suporternya. Upaya menjadi raja di Italia sirna di pekan pamungkas!
Sampai sekarang, memori kelam itu takkan bisa dilupakan Interisti. Selain kebodohan Ronaldo dan kawan-kawan sendiri pada waktu itu, Simone Inzaghi bakal terus diingat sebagai salah satu aktor penjegal langkah La Beneamata menggamit scudetto.
Andai media sosial sudah ada pada waktu itu, barangkali ada banyak cercaan yang didapatnya dari Interisti. Kini berselang dua dasawarsa dari kejadian tersebut, Simone Inzaghi justru menjadi bagian dari Inter.
Ia didapuk sebagai pelatih anyar dengan kontrak berdurasi dua musim. Melihat curriculum vitae-nya bersama Lazio, Simone Inzaghi adalah figur yang cukup potensial.
Sosok berumur 45 tahun ini mempunyai ide terkait sepakbola yang ingin timnya mainkan. Terlebih, ia juga sudah berpengalaman meraih titel. Sebiji Piala Italia dan dua gelar Piala Super Italia menjadi pemanis kariernya sebagai juru strategi.
Maka dari itu, wajar bila Interisti meminta Simone Inzaghi out sedari dini. Tentu saja dalam ranah positif yakni sang pelatih ‘mengeluarkan’ segala kemampuan terbaiknya saat menangani La Beneamata sehingga tim ini senantiasa kompetitif.
Dengan begitu, kenangan buruk yang Simone Inzaghi torehkan bagi Inter di masa lalu dapat terganti dengan cerita manis berupa kemenangan serta prestasi untuk Inter pada masa yang akan datang.