Tanggal 19 April 2020 ini, Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) genap berusia 90 tahun. Usia yang sudah tak bisa dibilang muda.
Jika PSSI diibaratkan sebagai seorang manusia, tentunya PSSI merupakan seorang yang sudah tua nan renta yang mungkin tinggal menunggu waktu saja untuk meninggalkan dunia selamanya.
Tetapi, sebagai organisasi yang membidani olahraga paling populer di Indonesia, PSSI tentunya tak boleh terlalu cepat menjadi memori sejarah saja. PSSI perlu tetap eksis dan bisa berkontribusi positif bagi negara, seperti yang dicita-citakan oleh Ir. Soeratin, pendirinya.
Sayangnya, PSSI kini sudah jauh dari cita-cita mulia sang pendiri. Sudah lebih dari 25 tahun tim nasional Indonesia tidak meraih gelar yang membanggakan dan ada banyak sekali masalah yang akhirnya menyebabkan PSSI dibekukan oleh Menpora.
Kondisi terkini sepak bola Indonesia jelas membuat miris hati kita semua, terlebih Ir. Soeratin dan para pendahulu yang sudah mencurahkan hidupnya semata untuk sepak bola Indonesia. Beliau sudah berkorban banyak hal untuk memajukan sepak bola Indonesia.
Ketika dia berulangkali (hingga sebelas kali dalam sebelas kali Kongres, saat itu Kongres diselenggarakan setiap tahun) terpilih sebagai ketua umum PSSI pun bukan lantaran politik uang ataupun nafsu berkuasa namun dianggap sebagai orang yang mampu, punya totalitas, dan mampu mengayomi berbagai insan sepak bola di tanah air kala itu. Meskipun itu artinya dirinya harus mengesampingkan kehidupan pribadinya.
Ir. Soeratin lahir di Yogyakarta 17 Desember 1898. Lelaki bernama lengkap Soeratin Soesrosoegondo ini dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar.
R. Soesrosoegondo, ayahnya, guru di Kweekschool. Beliau merupakan penulis buku Bausastra Basa Jawi. Soeratin pun tumbuh menjadi lelaki yang cerdas dan memiliki kesempatan untuk terus bersekolah. Soeratin bisa mengenyam studi di Koningen Wilhelmina School di Jakarta.
Selepas merampungkan studinya di Wilhelmina, Soeratin beruntung memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu di Sekolah Teknik Tinggi di Hecklenburg, dekat Hamburg, Jerman pada tahun 1920.
Dari sekolah inilah, Soeratin bisa lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1927 dan berhak menyematkan gelar Ir. di depan namanya. Suatu pengalaman yang luar biasa tentunya, terlebih pada masa itu, akses untuk memperoleh pendidikan demikian sulit.
Soeratin bukanlah orang yang lupa pada tanah airnya walaupun hidup di Jerman begitu nyaman. Oleh karenanya pada 1928 kembali ke nusantara dan bekerja di sebuah perusahaan konstruksi terkemuka Belanda. Perusahaan jasa konstruksi ini membangun infrastruktur, seperti jembatan dan gedung di Tegal, Bandung, dan beberapa daerah lainnya.
Pada masa itu pergerakan nasional sedang menggeliat setelah adanya Sumpah Pemuda tahun 1928. Sulit bagi Soeratin untuk tidak ikut terlibat dalam pergerakan nasional. Ada keinginan untuk memanfaatkan ilmunya bagi tanah leluhur dan juga menghapuskan penjajahan di bumi nusantara.
Namun, bukan gerakan politik yang dipilih oleh Soeratin. Dirinya lebih memilih untuk memakai olahraga sebagai sarana untuk memupuk rasa persatuan.
Sepak bola yang sudah populer kala itu dipilih sebagai olahraga yang dijadikan alat untuk menjalin hubungan antarpemuda di berbagai daerah di Indonesia. Terlebih pula Soeratin merupakan penggemar olahraga sebelas lawan sebelas ini. Selain sepak bola, Soeratin rajin bermain tenis.
Langkah nyata untuk mewujudkan ini terimplementasi dengan giat menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh sepak bola di berbagai daerah. Pekerjaannya yang berpindah-pindah mempermudah beliau untuk menjalin komunikasi tersebut.
Ir. Soeratin pun didukung penuh oleh keluarganya untuk terlibat dalam pergerakan nasional. Terlebih lagi istrinya, R. A. Srie Woelan, yang merupakan adik kandung Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, organisasi pemuda masa pergerakan nasional.
Dalam waktu yang relatih cepat Ir. Soeratin sudah mampu menjalin komunikasi intens dengan tokoh sepak bola di daerah dengan basis sepak bola kuat, seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Solo, Madiun, hingga Surabaya untuk mempermudah langkah mendirikan organisasi sepak bola yang bersifat nasional.
Perlu diketahui bahwa ketika melakukan pertemuan dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Hal ini dilakukan untuk menghindari intel Belanda.
Akhirnya pada 19 April 1930, tokoh sepak bola dari berbagai daerah berkumpul di Yogyakarta untuk mendirikan PSSI, yang ketika itu merupakan kependekan dari Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia.
Penggantian kata “Sepak Raga” menjadi “Sepak Bola” baru dilakukan saat kongres Solo tahun 1950. Kongres di Yogyakarta sendiri dihadiri oleh Voetbalbond Indonesische Jakarta (VIJ, yang kini kita kenal dengan nama Persija), BIVB Bandung (Persib), PSIM Mataram, PPSM Magelang, VVB Solo (Persis), IVBM Madiun, serta SIVB Surabaya (Persebaya).
Setelah terbentuk PSSI, kemudian diselenggarakan kompetisi sepak bola yang bersifat nasional secara rutin mulai tahun 1931. Dengan diadakannya kompetisi ini bisa menarik minat berbagai klub sepak bola yang sebelumnya belum bergabung menjadi bergabung dengan PSSI.
Organisasi ini juga aman dari pengawasan Belanda yang mulai melarang organisasi politik. Klub sepak bola Hindia Belanda pun sering melakukan latih tanding dengan klub anggota PSSI.
Saat itu PSSI bukannya tanpa masalah. Pernah ada masalah dualisme seperti yang terjadi saat ini.
PSIM Mataram pernah berselisih dengan PSSI pimpinan Soeratin. Pada tahun 1934, PSIM keluar dari PSSI dan membentuk Persatuan Olah Raga Indonesia (Porsi). PSSI menyikapinya dengan membentuk Persim Mataram. Namun, akhirnya PSIM kembali bergabung ke PSSI pada tahun 1937.
Ketika mulai sibuk dengan kegiatan di sepak bola, Soeratin pun keluar dari perusahaan tempat beliau bekerja.
Ir. Soeratin kemudian mendirikan usaha sendiri untuk kebutuhan ekonominya. Tetapi usaha itu hancur setelah Jepang datang dan perang mulai berlangsung.
Soeratin pun bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Saat itu PSSI dinonaktifkan dan berada di bawah Taiikukai, asosiasi olahraga Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Ir. Soeratin menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api. PSSI pun aktif kembali.
Sayangnya, Soeratin tidak terus hidup layak. Beliau meninggal dalam kemiskinan dan kesunyian. Tahun 1959, beliau akhirnya meninggal di rumahnya yang amat sederhana di jalan Lombok Bandung yang berdindingkan bambu 4×6 meter setelah berjuang melawan penyakitnya yang sempat tak terobati lantaran tidak mampu menebus obat.
Di kemudian hari, namanya diabadikan sebagai nama Piala Soeratin, kejuaraan sepak bola junior. Sempat ada usaha untuk mengusulkan namanya sebagai pahlawan nasional melalui Rapat Paripurna Nasional PSSI 2005 (Kep/09/Raparnas/XI/2005). Sayang hingga kini gelar itu belum diperoleh karena masalah administrasi.
Mantan Menpora, Roy Suryo sempat mengusulkan namanya sebagai nama stadion baru di Bandung. Tetapi kemudian disepakati nama stadion yang berada di Gede Bage dengan nama Stadion Bandung Lautan Api setelah adanya pemungutan suara dari masyarakat.
Dengan gelar pahlawan nasional atau tidak. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan namanya disematkan sebagai nama stadion sepak bola atau tidak, namanya tetap akan harum di Indonesia terlebih bagi ingatan publik pencinta sepak bola Indonesia.
Tidak hanya mengingat jasa Ir. Soeratin, kita perlu pula meneladani sikap beliau. Berkarya bagi bangsa dan negara melalui PSSI, tidak ada sikap untuk memperkaya diri dan enggan menggunakan kekuasaannya untuk memperoleh kepentingan pribadi.
Hal seperti ini yang kini sulit kita temukan pada pemangku kebijakan sepak bola nasional. Kita sebagai penerus bangsa perlu meneladani sikap beliau dan bersama-sama membangun negara ini, khususnya sepak bola, dengan apa yang telah dicontohkan oleh Ir. Soeratin.
Mari kita mulai dengan melakukan yang terbaik bagi sepak bola Indonesia bertepatan dengan momen peringatan hari lahir ke-90 PSSI ini.
NB: Kisah Ir. Soeratin pernah tayang di Yahoo! Indonesia pada 2013 lalu. Kembali dipublikasikan dengan penyesuaian kondisi terkini dan dirasa masih relevan dengan kondisi persepakbolaan nasional saat ini.