Stadion di beberapa kota di Indonesia telah menjadi bagian penting dari identitas kota, bahkan jauh sebelum republik ini meraih kemerdekaanya. Stadion Sriwedari di kota Solo (Surakarta) bisa dirujuk sebagai salah satu penanda penting dari identitas kota Solo dan sekaligus mewarnai sejarah kota Solo.
Dibangun oleh Pakubuwono X (1893 – 1939) stadion ini menjadi saksi persuaan Persis Solo dan PSIM Mataram, yang kemudian dikenal sebagai derby Mataram sejak dekade 1930-an. Konon, stadion ini menjadi yang termegah di zaman kolonial. Lampu-lampu stadion dipasang secara permanen di stadion Sriwedari, terutama ini tidak lepas dari ritus Sekaten yang diselenggarakan setiap tahun. Berada di jalan utama Solo yang kini bernama jalan Slamet Riyadi, stadion Sriwedari berada di pusat kota yang mudah diakses.
Pada geger yang melanda kota Solo pada tahun 1948 yang melibatkan perseteruan antara kaum oposisi Barisan Banteng versus Front Demokrasi Rakyat, Divisi Siliwangi vis a vis Divisi Panembahan Senopati, stadion Sriwedari menjadi saksi sejarah pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama. Kesuksesan PON menjadi petanda keberhasilan pemerintahan Soekarno-Hatta menjaga stabilitas keamanan. Dipilihnya Solo tentu bisa dipahami salah satunya karena kesiapan infrastruktur stadion Sriwedari. Karena jasanya, Stadion Sriwedari ditetapkan sebagai Monumen PON 1.
Di stadion Sriwedari terdapatlah patung pemain sepak bola sedang menendang bola. Kini, Sriwedari secara resmi bernama stadion R. Maladi, pemain Persis Solo yang pernah menjabat menteri penerangan di masa pemerintahan Soekarno. Tidak ada informasi yang jelas, apakah patung tersebut merefleksikan R. Maladi atau pesepak bola lain. Patung itu kini dicat dengan warna merah dan putih dengan tulisan Persis, merefleksikan kebanggaan anak muda Solo terhadap klub ini. Kebanggaan yang dalam pemaknaan semiotika pada signifikansi kedua (secondary signification) sebagai kebanggan pada kota.
Persis Solo, klub raksasa di era dekade 1930-an dan 1940-an, kini lebih banyak bertanding sebagai tuan rumah di stadion Manahan. Berada di bilangan Manahan, penamaan berdasar lokasi ini tidak lepas dari penggunan area tersebut sebagai lokasi memanah di masa kekuasaan Kasunanan. Sebagai petanda, di depan stadion Manahan berdiri patung manusia sedang memanah. Patung serupa juga bisa dijumpai di perempatan Manahan yang terletak tidak jauh dari kawasan stadion. Keduanya menjadi bagian penting dari identitas kota Solo di ruang publik.
Di stadion Wilis Madiun terdapat patung Banteng Ketaton. Dibangun pada masa awal pemerintahan Presiden Soekarno oleh Trijoto Abdulah untuk merefleksikan perlawanan rakyat Madiun di masa revolusi kemerdekaan, nasib patung ini sungguh mengenaskan. Awalnya berada di Taman Makam Pahlawan, patung yang dibangun tahun 1947 ini dipaksa pindah ke sisi selatan Stadion Wilis di masa Orde Baru.
Banteng, binatang yang merefleksikan nasionalisme, dianggap sebagai identitas yang tidak sejalan dengan Orde Baru. Kejatuhan Orde Baru di tahun 1998 tidak mengubah nasib Banteng Ketaton. Saya terakhir mengunjunginya pada bulan Juli 2015. Tanduk Banteng Ketaton sudah patah. Botol-botol bekas berserakan di sekitar Banteng Ketaton. Sebagai sebuah artefak sejarah, patung Banteng Ketaton disingkirkan dari identitas kota Madiun
Patung banteng ketaton menjadi korban dari pertarungan politik sehingga nasibnya mengenaskan. Nasib patung yang seharusnya dirawat sebagai monumen bersejarah ini serupa dengan PSM Madiun yang tersisihkan. Klub pendiri PSSI ini nasibnya semakin tidak jelas. Bandingkan dengan klub-klub sepak bola di kota lain, PSM Madiun belum mampu menjadi identitas kota. Pertarungan politik di tingkat lokal, agaknya membuat nasib keduanya merana.
Di stadion Maguwoharjo Sleman, terdapat juga patung elang jawa. Kebangkitan PSS Sleman di kancah sepak bola nasional yang terjadi dalam masa berbarengan dengan otonomi daerah pasca reformasi 1998, menumbuhkan identitas baru bagi Sleman. Bersama dengan PSS Sleman, elang jawa ditasbihkan sebagai identitas kota. Jika sebelumnya, Sleman selalu berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta (penyebutan untuk propinsi maupun kota), elang jawa menjadi identitas baru tentang Kota Sleman. Elang jawa bisa dilihat sebagai konsekuensi dari otonomi daerah pasca-1998 yang memuluskan jalan bagi terbentuknya identitas lokal.
Di kota-kota lain, identitas kota dari kultur sepak bola yang berlangsung di stadion dan patung yang menghiasi ruang publik di kota, bisa menjadi kajian yang menarik mengenai kota.