Wajah Perempuan dalam Media Sepak Bola

Sepak bola adalah olahraga yang lekat dengan citra maskulin. Selalu ada kejanggalan apabila seorang pria mengaku tidak suka sepak bola sama sekali. Seolah-olah setiap pria wajib menyukai olahraga ini. Meski sepak bola modern telah berusia satu abad, label bahwa sepak bola adalah olahraga milik pria tetap sulit hilang.

Organisasi sepak bola seperti FIFA dan FA –federasi sepak bola Inggris— bukannya tidak menyadari hal ini. Berbagai upaya dilakukan untuk membuat permainan ini tidak bias gender. FIFA menghelat Piala Dunia Perempuan pertama kali pada 1991. Sampai sekarang, sudah tujuh kali turnamen sepak bola antarnegara khusus perempuan digelar. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan berhak memiliki ruang yang setara dengan pria dalam kompetisi sepak bola.

FA juga demikian. Pada beberapa pertandingan Premier League, seorang wasit perempuan dihadirkan. Meski belum memimpin pertandingan, kehadiran wasit perempuan sebagai asisten wasit menunjukkan upaya FA agar sepak bola dapat menjadi olahraga untuk semua gender.

Upaya-upaya tersebut tentu perlu diapresiasi. Perempuan memang berhak mendapat ruang yang setara dengan pria dalam bermain atau menikmati permainan sepak bola. Namun, apakah perempuan sudah benar-benar mendapat ruang dalam permainan ini? Apakah sepak bola sudah mampu lepas dari bias gender?

Bulutangkis dan tenis adalah dua jenis olahraga yang dapat menjadi pembanding. Kedua olahraga tersebut memiliki kesamaan dengan sepak bola, yakni membagi kompetisi berdasarkan gender. Ada kompetisi khusus pria dan begitu sebaliknya. Meski demikian, kesan bias gender tidak terlihat dalam olahraga yang menggunakan raket tersebut. Hal ini tidak terjadi begitu saja. Ada peran media dalam membentuk wacana kesetaraan tersebut.

Dalam olahraga tenis atau badminton, tidak ada dominasi pemberitaan berdasar gender. Kompetisi tenis untuk pria dan perempuan sudah mendapat porsi peliputan yang berimbang. Begitu pula dengan bulutangkis Pemberitaan media mengenai olahraga ini tidak bias gender. Kompetisi khusus pria dan perempuan diberitakan dengan porsi yang setara.

BACA JUGA:  Menghapus Sepak Bola

Hal ini berbeda dengan sepak bola. Pada Piala Dunia Perempuan 2015, media-media khusus sepak bola tidak terlalu antusias meliput kompetisi tersebut. Berita-beritanya bahkan kalah populer dibanding berita reguler mengenai kompetisi sepak bola (pria) di Eropa. Apabila dikomparasi dengan pemberitaan Piala Dunia khusus pria, tentu akan terasa kontras. Pada Piala Dunia 2014 di Brasil, hampir semua media olahraga saling berlomba menyajikan berita paling aktual. Tidak hanya itu. Media non-olahraga juga memberi ruang pemberitaan khusus selama satu bulan selama kompetisi berlangsung.

Kontrasnya arus pemberitaan ini memperlihatkan bahwa sepak bola perempuan dianggap kurang menarik untuk ditonton dibanding sepak bola pria. Perspektif semacam ini agak berbahaya karena dapat menegaskan stereotip bahwa sepak bola adalah olahraga milik pria saja.

Bias gender juga dapat terlihat dalam arus pemberitaan di Liga Primer. Pada beberapa kesempatan, kompetisi level tertinggi di Inggris tersebut memberi ruang kepada perempuan untuk menjadi asisten wasit dalam pertandingan sepak bola pria. Namun, sejumlah pemberitaan media tidak menyorot kompetensi wasit tersebut di atas lapangan. Beberapa justru menonjolkan liputan mengenai paras dan tubuh wasit perempuan tersebut. Model pemberitaan semacam ini berpeluang membentuk pandangan bahwa perempuan seolah-olah dihargai keberadaannya di lapangan sepak bola karena penampilan fisiknya saja, bukan karena kemampuannya mengenai permainan sepak bola.

Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut, arus pemberitaan mengenai suporter perempuan, jurnalis perempuan, atau dokter tim berjenis kelamin perempuan masih banyak berkutat soal wajah dan tubuh perempuan. Hal tersebut tidak seratus persen salah. Meski harus dicatat bahwa cara pandang tersebut meletakkan perempuan menjadi sekadar pemanis dalam industri sepak bola. Perempuan memang dihadirkan dan diberi ruang dalam industri sepak bola, namun aktor utamanya tetaplah para pria.

BACA JUGA:  Garuda yang Terus Menanggung Malu

Beragam arus pemberitaan semacam itu menunjukkan bahwa bias gender masih bekerja dalam industri sepak bola. Olahraga ini masih lekat dengan citra sebagai olahraga milik pria. Adanya hal tersebut tidak perlu ditutupi. Justru keberadaan bias gender tersebut harus diakui. Dengan demikian, hal tersebut dapat menjadi petunjuk arah agar media sepak bola terus berbenah.

 

Komentar