Tangis dan Sesal Indonesia

Luka bekas kekalahan Indonesia dari Thailand di final Piala AFF 2020 lalu pasti masih menganga dan belum kering.

Harapan untuk mengakiri dahaga gelar sirna begitu saja. Namun menurut saya, kekalahan di final Piala AFF 2020 kemarin bukanlah yang paling getir.

Kegetiran jauh lebih terasa di final Piala AFF 2010. Kekalahan yang kemudian membuat isak tangis bocah Sekolah Dasar (SD) seperti saya pada saat itu tak terbendung.

Selain kekalahan di partai puncak, salah satu tragedi yang paling diingat dalam momen pahit Indonesia di Piala AFF 2010 adalah adanya isu main sabun.

Isu beredar bahwa pertandingan final antara Indonesia melawan Malaysia yang dihelat di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, telah dijual pihak-pihak tertentu kepada bandar judi.

Tahun berganti dan dugaan itu belum terungkap hingga sekarang bahkan seolah hilang tertiup angin. Benar atau tidak? Semuanya masih samar.

Di luar dari isu tersebut, harus saya akui bahwa penampilan Indonesia di Piala AFF 2010 telah menggugah keinginan di dada untuk memperhatikan skuad Garuda secara saksama.

Kala itu saya masih duduk di bangku kelas 6 SD. Walau masih di usia belia, tapi saya ingat betul sampai detik ini, bagaimana perjalanan Cristian Gonzales dan kolega pada ajang tersebut.

Senang rasanya melihat permainan Indonesia yang begitu apik. Alasan lain saya rela meninggalkan kebiasaan belajar tiap pukul 7 malam dan memilih menonton anak Indonesia bermain adalah skuad dan pelatih yang mumpuni dan lebih segar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Skuad Mumpuni, Harapan Membumbung Tinggi

Indonesia menyongsong Piala AFF 2010 dengan skuad yang bisa dibilang sangat merata di seluruh lini.

Wajah-wajah baru seperti Oktovianus Maniani, Yongki Aribowo hingga pemain blasteran idola baru publik Stadion Gelora Bung Karno, Irfan Bachdim, masuk ke dalam skuad yang dibawa mendiang Alfred Riedl.

Nama-nama itu dikombinasikan dengan sosok-sosok berpengalaman semisal Muhammad Haris Maulana, Firman Utina, Ponaryo Astaman, sampai Bambang Pamungkas.

Dengan skuad yang demikian, optimisme terpancar untuk merengkuh Piala AFF untuk kali pertama sepanjang sejarah. Jujur saja, sejak pertandingan pembuka melawan Malaysia, saya yakin tim ini akan membawa kebahagiaan di pengujung turnamen.

Pembuka Gelombang Naturalisasi

BACA JUGA:  Red Square: Ketika Politik dan Propaganda Menetas di Lapangan Sepakbola

Piala AFF 2010 merupakan awal mula gerbong naturalisasi yang dilakukan federasi sepakbola Indonesia. Wujudnya tentu saja presensi Gonzales di sektor depan.

Tradisi naturalisasi ini bahkan terus berlanjut walau belakangan ini, PSSI lebih suka menggamit pesepakbola-pesepakbola keturunan Indonesia.

Gonzales menjadi pemain naturalisasi pertama yang mencuri atensi. Tampil sebagai salah satu penyerang paling tajam di kompetisi tanah air selama kurang lebih separuh dekade, sepak terjangnya selama gelaran Piala AFF 2010 juga apik.

Ia membuka keran gol kala menghancurkan Malaysia via skor 5-1. Penampilan eloknya dilanjutkan dengan dua gol emosional kontra Filipina pada babak semifinal. Lelaki asli Uruguay ini pun mengakhiri kompetisi sebagai salah satu figur dengan penampilan terbaik.

Pesona Irfan Bachdim

Berbeda dengan Gonzales, Irfan memakai seragam merah-putih lantaran ia memiliki darah Indonesia.

Kebetulan, saat itu dirinya punya kapabilitas yang prima dan potensial. Ditambah paras tampan membuat suami dari Jennifer Bachdim ini menjadi sosok kesayangan publik.

Irfan sendiri memperlihatkan performa oke selama Piala AFF 2010.

Wajar bila kemudian program naturalisasi dan merekrut pemain-pemain keturunan menjadi langgeng serta diyakini bisa mengatrol prestasi Indonesia.

Nahas, sampai satu dekade kemudian, keyakinan saya buntung tak terbalas.

Bangkitnya Nasionalisme Suporter

Tampil sebagai tuan rumah Piala AFF 2010 bersama Vietnam dan berangkat dengan skuad mumpuni, bikin suporter antusias buat datang ke Stadion Gelora Bung Karno.

Harus diakui bahwa Piala AFF 2010 adalah salah satu momen paling apik karena rivalitas suporter antarklub nyaris tak tampak di tribun. Semua begitu kompak mendukung satu nama, Indonesia.

Atmosfer yang benar-benar terasa bahkan untuk saya yang hanya menyaksikan melalui layar kaca. Sebuah momen yang membuat saya merinding!

Yongki, Okto dan Kesuksesan Semu

Yongki dan Okto cuma berstatus penggawa muda minim pengalaman di skuad Piala AFF 2010.

Akan tetapi, mereka berhasil menunjukkan kapasitasnya saat bermain dengan seragam merah-putih.

Okto menjadi buah bibir karena aksi-aksi memukaunya sebagai winger kiri. Sementara Yongki selalu tampil penuh semangat kendati berstatus sebagai deputi Gonzales, Irfan, dan Bambang di lini serang.

Sialnya, performa apik keduanya di Piala AFF 2010 justru sulit diteruskan. Mereka seolah kompak meredup bersama.

BACA JUGA:  Blitzkrieg Jerman dan Benteng Romawi Italia

Okto yang memang punya karakter bengal sering tersangkut masalah kedisiplinan sedangkan Yongki acap bergelut dengan cedera yang terus merongrong tubuhnya.

Persoalan itu pula yang kemudian menenggelamkan keduanya dan seiring waktu berjalan, tak lagi mendapat kepercayaan masuk ke skuad Garuda.

Antiklimaks di Bukit Jalil

Di partai final, bahkan sebelum si kulit bundar digulirkan, saya yakin kita semua merasa bahwa satu tangan Indonesia sudah memegang Piala AFF 2010.

Bahkan skuad Garuda saat itu sudah diundang untuk makan bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sesaat sebelum berangkat ke Kuala Lumpur untuk menjalani leg pertama final Piala AFF 2010.

Peristiwa horor rupanya muncul di Bukit Jalil dan mungkin, menjadi salah satu sejarah paling kelam bagi Indonesia.

Secara tak terduga, Malaysia tampil kesetanan dan menggilas anak asuh Riedl dengan skor telak 3-0.

Keyakinan saya dan mungkin jutaan penggemar Indonesia koyak seketika. Kekokohan yang sempat terlihat, bersalin rupa layaknya jaring laba-laba nan rapuh.

Harapan Semu di Gelora Bung Karno

Saat leg kedua digelar di Jakarta tiga hari berselang, hanya riak-riak kecil harapan yang tersisa.

Mengejar ketinggalan tiga gol bukan pekerjaan sepele. Indonesia kudu berjuang keras plus berharap ada keajaiban yang turun di Stadion Gelora Bung Karno.

Apes, gol Mohd Safee Moh Sali pada awal babak kedua bikin segalanya gelap. Pekerjaan Indonesia semakin berat.

Benar saja, walau sukses mencetak gol lewat upaya M. Ridwan dan M. Nasuha, skuad Garuda harus mengakui ketangguhan Harimau Malaya dengan agregat 2-4.

Trofi pun melayang ke tangan sang rival bebuyutan yang kebetulan meraih titel perdananya di ajang Piala AFF.

Malam itu, segalanya terasa sendu dan getir. Para pemain menundukkan kepala. Suporter menangis tersedu-sedu.

Segala kesenangan pada awal turnamen berubah menjadi kegetiran yang mengiris-iris. Asa untuk mengakiri tahun dengan kegembiraan sirna begitu saja.

Sepanjang bulan Desember 2010, saya memupuk keyakinan. Nahas, semuanya hancur dalam satu malam. Entah sampai kapan saya akan mengingat Bukit Jalil sebagai luka mendalam.

Kendati demikian, saya tetap merasa bahwa Piala AFF 2010 adalah turnamen paling mengesankan selama membersamai Indonesia.

Komentar
Mengikuti Serie A sejak 2008 tetapi tumbuh menjadi penggemar Manchester City. Masih menyayangkan kegagalan The Citizens menjuarai Liga Champions musim lalu. Namun, ya, begitulah hidup yang harus terus berjalan. Bisa disapa via Twitter @donjuan______