Tantangan Media Komunitas Sepak Bola di Indonesia

Dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena menarik dalam sepak bola lokal Indonesia, terutama dalam ranah fans atau suporter sepak bola dan media. Fenomena itu adalah kemunculan media komunitas yang dibangun, dikerjakan dan dirawati oleh suporter sepak bola dari klub sepak bola tertentu. Para fans sepak bola lokal ini mengejawantahkan kecintaan mereka kepada klub melalui media komunitas.

Dalam konteks media literacy  (literasi media), kemampuan untuk memproduksi media alternatif, seperti media komunitas, bisa dilihat sebagai salah satu kompetensi literasi media. Dengan demikian, media komunitas dan literasi media sebenarnya adalah dua hal yang saling berkelindan.

Kemunculan dan perkembangan media komunitas  yang dikelola suporter sepak bola bisa dilihat sebagai implikasi positif perkembangan teknologi media digital, terutama internet. Ketika media masih bersifat analog dan internet belum ditemukan, produksi teks media massa merupakan proses produksi dalam manajemen media massa yang bersifat kompleks dengan biaya yang tentu saja juga mahal.

Karena sifatnya yang kompleks dan berbiaya mahal, publikasi oleh fans sepak bola di masa analog belum mampu berkembang pesat sebagaimana di era digital. Pemanfaatan teknologi digital yang termediasi internet sekaligus juga meretas batas tentang definisi media komunitas secara geografis dengan mampu menjangkau wilayah yang tidak lagi bersifat lokal.

Prof. Pawito Ph.D menuliskan pengertian media komunitas dalam artikelnya berjudul Media Komunitas dan Media Literacy yang dimuat di Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Volume 4 Nomor 2 Tahun 2007. Menurutnya, media komunitas (community media) merupakan jenis media (cetak maupun elektronik) yang hadir dalam lingkungan masyarakat atau komunitas tertentu. Karakter media komunitas dengan demikian adalah, memiliki jangkauan terbatas (lokal), menampilkan isi yang bersifat kontekstual mengacu kondisi komunitas, pengelola dan target adalah orang–orang dari komunitas yang sama dan hadir dengan misi melayani-tidak ada orientasi mencari keuntungan modal (capital gain).

Media komunitas menyeruak terutama setelah reformasi 1998. Pada masa era Orde Baru, kosakata yang lebih sering dijumpai adalah pers lokal dan pers daerah. Kata “pers” lebih merujuk tentang media massa dalam format cetak karena format media massa di masa Orde Baru yang memungkinkan dikelola oleh non pemerintah adalah media cetak. Televisi dan radio di masa Orde Baru secara absolut dikuasai pemerintah, seperti dengan kewajiban relay berita. Walaupun sebenarnya ruang redaksi media cetak di masa Orde Baru juga tidak bisa lepas dari belenggu regulasi dan intervensi penguasa, seperti peraturan tentang Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Sedangkan kata “lokal” dan “daerah” lebih merujuk pada lokasi geografis yang vis a vis dengan pusat. Koran Kedaulatan Rakyat misalnya, disebut sebagai pers daerah dan Kompas sebagai pers nasional. Implikasinya jelas, bahwa Kedaulatan Rakyat hanya beredar di Yogyakarta dan sekitarnya sedangkan Kompas memiliki sirkulasi nasional. Kata “pers lokal” dan “pers daerah” juga memiliki implikasi bahwa secara manajemen, media dalam format demikian adalah media massa yang dimiliki oleh swasta, bukan komunitas.

Setelah reformasi, gagasan tentang masyarakat madani mendorong peran penting partisipasi publik dalam pertukaran gagasan di ruang publik. Maka konsepsi media komunitas mulai populer, bahkan diakui secara hukum. Undang–undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, menyebutkan tiga model media penyiaran, yaitu media publik, media swasta dan media komunitas.

Gagasan menarik tentang media komunitas dan teknologi digital ditulis oleh Nicholas Jankowski dalam bukunya berjudul Community Media in The Information Age (2002). Menurutya, sejalan dengan perkembangan teknologi digital, terbentuklah komunitas virtual. Perkembangan tersebut telah menggeser konsepsi komunitas yang selama ini terbatasi batas geografis. Jika di masa analog, komunitas lebih merujuk kepada kesamaan geografis maka di masa digital, komunitas juga merujuk pada komunitas yang dipersatukan oleh minat (community of interest).

Komunitas yang memiliki minat yang sama ini bisa dijumpai di kalangan penggemar PSIM Yogyakarta, seperti di antaranya adalah Bawah Skor, parangbiru.net, PSIM Stats dan PSIM TV. Keempatnya dikelola oleh anak muda yang memiliki minat yang sama, yaitu kecintaan terhadap PSIM. Dilihat dari formatnya, keempatnya dibuat dalam format digital internet, baik situs maupun streaming yang secara aktif dipromosikan melalui media sosial. Menariknya, muncul pula newsletter cetak, bernama Kabar Mataram, yang format digitalnya bisa diunduh di internet. Semua media komunitas ini dikelola oleh anak muda atas dasar kesukarelaan dan kecintaan mereka pada PSIM, yang membentuknya menjadi jaringan komunitas (community networks).

Sebagai media komunitas, mengikuti pandangan Nicholas Jankowski mengenai tujuan media komunitas, tantangan media komunitas yang dikelola suporter sepak bola seperti di atas adalah sebagai berikut. Pertama, media komunitas dilihat dari tujuannya harus mampu menyajikan informasi yang relevan dengan anggota komunitas dan sekaligus mampu mengajak anggota komunitas berpartisipasi dalam diskusi publik. Kedua, kontrol dan penguasaan media komunitas harus tetap berada di tangan suporter sepak bola. Hal ini berkaitan tentang ruang redaksi yang terbebas lebih independen.

Ketiga, produksi media yang dilakukan oleh pekerja yang bekerja secara sukarela. Bisa jadi berasal dari jurnalis yang bekerja di media arus utama yang menyempatkan waktunya untuk menulis untuk media komunitas atas dasar kecintaan terhadap klub sepak bola, namun bisa jadi berasal dari pekerja nonprofesional. Yang paling penting adalah adanya kompetensi manajemen media, sehingga peningkatan kompetensi melalui diskusi, workshop, seminar dan sejenisnya  menjadi perlu dilakukan. Terakhir, pengelolaan keuangan yang bersifat non komersial. Walaupun demikian bukan berarti iklan diharamkan. Sepanjang masih ada batas antara kebijakan redaksional dan kebijakan periklanan, maka sponsorship, iklan dan subsidi pemerintah halal diterima.

Minggu, 19 Juni 2016, saya mendapat undangan  bertajuk Turun Minum : Diskusi Media bersama Kabar Mataram. Bersama dengan Angger Worodjati (PSIM Stats), Hasting Pancasakti (Kabar Mataram Newsletter) dan Garda ‘Gareng’ Maharsi (PSIM TV), saya diundang menjadi pemantik diskusi yang dihelat di Indiecology Café, Sagan, Yogyakarta.

Diskusi ini menjadi bukti apa yang disebutkan oleh Nicholas Jankowski tentang jaringan komunitas, yang tidak hanya bersifat virtual namun nyata. Kopi darat (kopdar) begitu orang Indonesia acapkali menyebutnya. Kopdar yang menjadi ruang publik sekaligus ruang belajar bersama, memajukan media komunitas sepak bola lokal Indonesia. Dari dan oleh suporter, untuk klub dan kota tercinta.

 

Komentar

This website uses cookies.