Tentang Roberto Baggio dan Perseteruannya dengan Marcello Lippi

Jika Anda beranggapan bahwa perseteruan antara Batman dan Superman merupakan perseteruan paling akbar, bersiap-siaplah untuk kecewa dengan persepsi Anda. Dan jika Anda mengira bahwa perseteruan antara Ironman dan Kapten Amerika merupakan perseteruan paling hebat serta ditunggu-tunggu, Anda kudu benar-benar membaca tulisan ini sampai selesai.

Sebab, di antara dua perseteruan dalam dunia khayali itu, ada perseteruan lain di dunia nyata yang kisahnya melebihi dua perseteruan tersebut. Perseteruan paling epic ini justru terjadi antara pelatih dan pemain sepak bola. Tak lain ialah perseteruan antara Roberto Baggio dengan Marcello Lippi.

Bagaimana ini bisa terjadi? Untuk menemukan ceritanya, kita harus melihat kembali ke Piala Dunia 1994 di Pasadena, Amerika Serikat dan masa-masa kelam Baggio setelahnya.

Laiknya Superman, sebelum Piala Dunia 1994, Baggio merupakan pemain yang sedang dipuja serta paling dinanti penampilannya oleh publik Italia. Penantian publik Italia pun dijawab oleh Baggio dengan penampilan apiknya di sepanjang perhelatan turnamen empat tahunan itu.

Lima gol Baggio yang tercipta sejak fase knock-out menjadi tangga Italia untuk menapaki final. Sayang, cerita Baggio di Piala Dunia 1994 berakhir duka.

Italia kalah 2-3 dalam adu penalti melawan Brasil di laga pamungkas. Ironisnya, sebagai penendang terakhir, tendangan penalti Baggio justru melambung jauh di atas mistar.

Baggio pun lalu dipandang telah berlumur dosa di iklim persepakbolaan Italia yang “Agamaku Sepak Bola”. Baggio dianggap telah melakukan kesalahan fatal dan dianggap pula tidak mungkin termaafkan oleh publik Italia.

Gol-gol cemerlangnya di babak sebelumnya seolah tak banyak berarti. Petuah dari paman Spiderman jadi terbukti, ”Dengan kekuatan yang besar, berarti mempunyai tanggung jawab yang besar pula.”

Media-media Italia pun ikut menghujatnya, hingga Baggio dengan kesalnya berkomentar, “They wanted a lamb to slaughter and they chose me.” Baggio begitu masygul pada media Italia yang memilihnya menjadi satu-satunya sosok yang mesti disalahkan dan pantas terus dipojokkan atas kekalahan Italia sampai penghabisan musim panas 1994.

Awal mula perseteruan

Seolah mendapat hari pembalasan, karier Baggio setelah Piala Dunia 1994 pun ternyata menurun drastis. Pada musim panas yang sama, Marcello Lippi datang menjadi manajer baru Juventus, di mana Juventus merupakan klub yang saat itu dibela oleh Baggio.

Celakanya, Lippi mengusung misi melepaskan Si Nyonya Tua dari ketergantungan pada sosok Baggio. Seperti Batman yang ingin agar manusia tidak bergantung kepada Superman.

Lippi pun mendapat angin segar ketika Baggio yang berjuang sembuh atas trauma pasca-Piala Dunia membikin sebuah gol indah dengan tendangan bebas. Namun sangat disayangkan, proses gol itu malah membuatnya cedera. Dalam ketiadaan Baggio, Lippi memunculkan anak muda bertalenta, Alessandro Del Piero.

Tak main-main, selain membuat Baggio kehilangan tempatnya di tim utama, Del Piero juga mengajak publik Italia agar melupakan Baggio. Caranya, dengan memainkan peran penting dalam pencapaian gelar liga pertama Juventus dalam sembilan tahun terakhir dan hampir pula membawa Juventus meraih treble winners,  jika saja tidak dikalahkan oleh Parma di final Piala UEFA 1995.

Pemilik Juventus pun mendapatkan tanda, bahwa Si Nyonya Tua dapat hidup tanpa Il Divin Codino, Roberto Baggio. Pada akhir musim, Baggio dikabarkan sudah tidak mendapatkan garansi lagi untuk menduduki starting line-up dan parahnya, Baggio akan mendapatkan pemotongan gaji jika masih berseragam hitam-putih.

Baggio tak mau dengan keputusan itu, apalagi usianya yang masih 28 tahun, masih kategori usia emas pesepak bola. Baggio sadar akan kemampuan dirinya yang masih di atas rata-rata dan statusnya pernah menjadi pemain terbaik dunia, tentu ia tak mau dinomor-duakan. Karena itulah, pindah klub adalah jalan satu-satunya.

Pindah klub

Banyak klub yang punya minat besar untuk mendapat servis Baggio. Real Madrid, Manchester United, dan klub lainnya seperti AS Roma hingga Blackburn Rovers berlomba mendapatkan tanda tangannya. Namun, pada musim panas 1995, Milan-lah yang lebih dipilih oleh Baggio sebagai destinasi karier selanjutnya.

Selama dua tahun di San Siro tak membuat Baggio bahagia, banyak hal yang membuatnya tak betah. Awalnya, ia memenangkan Scudetto bersama Fabio Capello, namun di sisi lain, sama seperti di Juventus, Baggio tak menjadi protagonis di lapangan.

Nama Baggio belum bisa mengalahkan nama-nama mentereng sekelas Franco Baresi, Paolo Maldini, maupun Zvonimir Boban yang tergabung dalam Gli Invicibli-nya Capello. Hingga pemain baru, Edgar Davids pun juga ikut-ikutan menenggelamkan nama Baggio.

Lalu ditambah kedatangan kembali Arrigo Sacchi menjadi manajer AC Milan dari selesainya mengarsiteki timnas Italia juga menjadi polemik tersendiri bagi Baggio. Sacchi merupakan konseptor dari susunan penendang penalti di Piala Dunia 1994. Ditambah persoalan lain ketika Piala Eropa 1996 dihelat, Sacchi tak memanggil Baggio masuk timnas.

“Baggio sedang tidak dalam kondisi terbaik,” ucap Sacchi saat itu mengenai alasan di balik keputusannya tak memanggil Baggio ke timnas. Pada akhir musim 1996/1997, dari pinggir lapangan, Baggio mengantarkan Milan pada posisi ke-11 Serie A.

Sangat kontras sekali dengan pencapaian Lippi di Juventus. Lippi berhasil mengantarkan Juventus memenangkan Liga Champions dengan tiga penyerang yang berhasil dia orbitkan, Del Piero, Fabrizio Ravanelli and Gianluca Vialli.

Lippi pun sukses menggondol Scudetto serta melaju ke final Liga Champions dua musim berturut-turut. Perjudian mengganti Baggio dengan Del Piero terbukti berhasil.

BACA JUGA:  Konsistensi AS Roma di Tangan Paulo Fonseca

Musim Panas 1997, II Divin Codino memutuskan untuk pindah klub lagi. Dan sekali lagi, ia menolak beberapa penawaran dari klub-klub besar. Alex Ferguson sekali lagi harus gigit jari ketika ia tak berhasil mendatangkan Baggio ke Old Trafford, yang diklaimnya Baggio pantas menggantikan posisi Sang Maestro, Eric Cantona di Manchester United.

Baggio tahu, jika ia meninggalkan tanah Italia, peluangnya untuk merebut kembali hati publik Italia akan semakin tipis. Dan jika keluar Italia, kesempatan ia terpilih menjadi bagian dari timnas Italia di Piala Dunia 1998 yang dihelat di Prancis juga semakin kecil. Pria berambut pony-tail itu, bisa dikatakan salah seorang pemain yang sangat berhasrat agar bisa tampil di Piala Dunia 1998.

Pindahlah ia ke Bologna, klub yang sebelumnya dilatih oleh Carlo Ancelotti. Ancelotti sendiri pindah untuk mengarsiteki klub paling potensial saat itu, Parma.

Kepindahan Ancelotti banyak disesali oleh Ultras Bologna. Di lain pihak, kedatangan Baggio seperti angin segar tersendiri. Dalam setahun menjadi pemain utama di klub itu, Baggio berhasil menyarangkan 22 gol dalam 30 pertandingan. Satu slot untuk Baggio ke Prancis pun didapatkannya dengan meyakinkan.

Di Piala Dunia 1998 Prancis, walaupun masih dalam bayang-nayang Del Piero, Baggio berhasil melakukan sedikit penebusan dosanya, ia berhasil merebut kembali hati publik Italia.

Pasca-Piala Dunia, Baggio menandatangani kontrak selama dua tahun bersama Internazionale Milano. Pada usianya yang telah 31 tahun, Baggio sadar bahwa di Inter inilah pelabuhan terakhirnya untuk mencapai kejayaan sebelum menyatakan pensiun.

Saat itu, Massimo Morrati berkeinginan merebut Scudetto dari tangan Lippi. Serta mengharapkan Baggio menjadi pasangan serasi bagi Ronaldo, seorang pemain asal Brasil yang pada musim 1997/1998 menjadi top skor Serie-A.

Perseteruan kembali

Serie A musim 1998/1999 merupakan musim yang tak pernah dilupakan oleh Baggio ataupun Lippi. Baggio memulai nasibnya di Inter dengan sangat cemerlang, berperan aktif menghancurkan Real Madrid di Liga Champions pada fase grup. Dan ikut membawa Inter menang atas AS Roma dengan hasil akhir 4-5, Baggio menjadi Man of The Match dengan 4 asisnya.

Beda hal dengan Lippi yang mulai tak betah berada di Turin ketika ada perselisihan di tingkat pemilik klub. Pada akhir musim panas 1998, Lippi sebenarnya berniat menaruh jabatannya sebagai manajer Juventus. Namun, para pemilik baru Juventus menolaknya, dan memaksa Lippi agar menetap di Juventus hingga akhir musim panas 1999.

Awal kompetisi Serie A Italia 1998/1999, Juventus memimpin puncak klasemen, semuanya seperti berjalan lancar, hingga pada medio November tiba-tiba Del Piero dirundung cedera. Cederanya Del Piero seperti firasat buruk. Puncaknya, kekalahan 4-2 terhadap Parma mengakhiri kontrak Lippi bersama Juventus.

Inter dan Juventus juga saling bersaing di dalam dan di luar lapangan. Pada akhir kompetisi, secara berurutan mereka berada di posisi ketujuh dan kedelapan pada papan klasemen.

Perang urat-syaraf dilancarkan, hingga Lippi yang sebelumnya telah ditendang dari Turin dibajak oleh Moratti untuk mengarsiteki Inter. Jadilah, dua seteru abadi bertemu kembali.

Lippi menyetujui perpindahannya, dengan syarat Moratti dapat menyediakan dana melimpah untuk mendatangkan pemain yang telah diincar oleh Lippi. Salah satu incaran Lippi ialah Christian Vieri. Vieri merupakan pemain incaran Lippi sejak ia melatih Juventus, namun karena permasalahan dana, Vieri tak kunjung berlabuh ke Delle Alpi (Stadion Juventus pada masa itu, red.).

Selanjutnya, Lippi juga berhasil mendatangkan Alvaro Recoba dari Venezia. Dengan datangnya pemain-pemain baru ini, Lippi berhasil mempunyai barisan depan paling berbahaya  di Serie A bahkan bisa dibilang  salah satu yang paling tajam di dunia.

Jika Anda setuju, pada tahun 1999, Inter merupakan klub paling menakutkan bagi para pemain belakang tim lain dengan adanya Ronaldo, Baggio, Vieri, Ivan Zamoran, serta Recoba bergantian mengisi ujung tombak formasi milik Lippi.

Cerita lama terulang kembali, Baggio pun disisihkan. Sebabnya, Lippi telah membuat janji dengan Recoba akan memberikan peran nom0r 10 untuk menyuplai pasangan Ronaldo-Vieri.

Lippi pun kembali membuat Baggio menjadi pilihan kedua dan bahkan kali ini lebih parah. Dalam autobiografinya, A Goal in the Sky, Baggio menuliskan bahwa, oleh Lippi, ia pernah diminta menjadi mata-mata di ruang ganti Inter. Lippi butuh seorang mata-mata yang mengetahui suasana dalam internal Inter seiring belum kondusif akibat seringnya pergantian manajer yang dilakukan oleh Moratti.

Baggio jelas menolak permintaan Lippi. Dan atas penolakan itu, Lippi seolah tak mau menganggapnya. Perang terbuka antarpemain dan pelatih ini pun telah dimulai. Terlihat pada suatu sesi latihan, Lippi sampai-sampai membentak Vieri dan Christian Panucci yang memberi tepuk tangan pada Baggio setelah mencetak gol spektakuler.

Kompetisi Serie A 1999 pun dimulai, Baggio tetap tak menjadi pilhan utama. Hingga akhir September, untuk pertama kalinya, Baggio menginjakkan kaki di lapangan dan hanya bermain 111 menit sebelum jeda akhir tahun dan musim dingin. Lippi beralasan, tak diturunkannya Baggio, dikarenakan performanya yang masih di bawah rata-rata.

Januari, awal tahun 2000, ketika transfer window dibuka, Lippi mempersilakan Baggio untuk pindah klub. Kala itu, Liverpool, Arsenal, Glasgow Rangers, Tottenham dan Galatasaray bersedia menampungnya.

Tetapi, dengan keras kepala Baggio masih tetap ingin bertahan di Inter, dengan motivasi dipanggil ke timnas Italia untuk Piala Eropa 2000. Di lain pihak, ia tak mau Lippi menang atas peperangan mereka. Karena sekarang, sebuah martabat telah dipertaruhkan.

BACA JUGA:  Menghormati Pilihan Mario Mandzukic

Akhirnya, semua menghilang

Seperti keberuntungan, kesempatan bermain Baggio semakin lebar ketika Ronaldo menderita cedera lutut, Zamorano masih tergeletak di atas ranjang pesakitan, dan Vieri masih terkena hukuman akumulasi kartu setelah diusir pada pertandingan melawan Fiorentina.

Melawan Verona pada medio Januari 2000, Lippi dengan jelas masih tak mau memainkan Baggio dengan menjadikan Adrian Mutu, pemain barunya, berada di starting line-up Inter.

Inter yang membutuhkan kemenangan malah harus kebobolan terlebih dahulu pada menit 35. Dalam persaingan menuju juara bersama Juventus dan AS Roma, mau tak mau Lippi harus memasukkan pemain yang punya visi permainan dan sosok yang mampu mengubah jalannya pertandingan. Akhirnya, Baggio masuk menggantikan Javier Zanetti.

Di sisa menit yang ada, Baggio tak hanya memberikan asis pada Recoba, namun ia juga yang menginisiasi umpan satu-duanya dengan Recoba, yang diselesaikan oleh Baggio sebagai gol kemenangan. Gol itu merupakan gol pertamanya selama musim kompetisi itu berjalan.

Penampilan yang sangat mengesankan hingga di koran harian La Gazzetta dello Sport, keesokan harinya dituliskan, ”Baggio; like a fairytale”. Sungguh ajaib, seperti sebuah dongeng saja.

Pada bulan Maret setelah memenangkan derby Milan, Inter hanya terpaut tujuh poin dari peringkat tiga, Juventus. Baggio yang membawa Lippi ke atas awan dengan strike kemenangan enam kali berturut-turut, membangkitkan motivasi para pemain Inter. Dan untuk sekarang, target paling realistis Inter adalah mempertahankan tiket terakhir play-off Liga Champions.

Seperti layaknya perseteruan pada umumnya, akan ada titik klimaks di antara mana yang dianggap protagonis dan yang dinggap villain melakukan pembantaian satu sama lain untuk membuktikan siapa yang paling tangguh.

Jika Kota Metropolis menjadi tempat pertaruhan gengsi antara Batman dan Superman. Verona adalah tempat terakhir pertarungan antara Lippi dengan Baggio. Sebab, Inter dan Parma menentukan nasibnya di partai terakhir Serie A, memperebutkan satu tiket terakhir ke Liga Champions.

Ternyata, sebelum pertandingan, terjadi pertemuan antara Baggio dan Moratti. Moratti menawarkan perpanjangan kontrak, mengingat kontrak Baggio akan segera berakhir di penghujung musim.

Baggio tentu menolak penawaran tersebut, apalagi jika Lippi masih menjadi manajer Inter. Di akhir pertemuan, Moratti menjanjikan tempat bagi Baggio, serta akan menyingkirkan musuhnya jika Inter kalah terhadap Parma.

Seperti yang sudah kita ketahui sendiri, di laga yang tercatat pada 23 Mei 2000 itu dimenangkan oleh Inter dengan hasil akhir 3-1. Dan menjadi Ironi ketika dua dari tiga gol Inter tersebut disumbangkan oleh Baggio.

Sesuai karakternya, Baggio mengemas dua gol itu dengan begitu cantik tur apik. Gol pertamanya lewat tendangan bebas akan terus jadi kenangan yang tak mungkin terlupakan oleh para Interisti.

Baggio mengakhiri ceritanya bersama Inter dengan sangat manis. Baggio tahu ia telah menyelamatkan karier Lippi dan ia mengerti bahwasanya dirinyalah yang harus keluar dari Inter. Namun, yang patut diapresiasi ialah Baggio telah menunjukkan tingkat profesionalisme yang sangat tinggi dalam berkarier. Bahwa tujuan utama sepak bola hanya sebuah kemenangan.

Di pertandingan terakhirnya membela Inter, Baggio keluar sebagai hero. Dan apes-nya lagi, Baggio tidak pernah dipanggil oleh Dino Zoff untuk membela timnas Italia di Piala Eropa 2000. Sempat hilang, Baggio memilih pindah ke Brescia untuk mengarungi masa-masa tuanya.

***.

Berkaca pada perseteruan dengan Lippi dan perbedaan pendapat dengan banyak pelatih sepanjang kariernya, membuat Baggio percaya bahwa ia selalu memiliki cinta dari orang-orang di sekelilingnya.

Seperti Batman yang sebenarnya cinta dengan Superman, mungkin. Dan di era di mana pelatih mulai menganggap bahwa diri mereka sebagai sosok yang terkenal seperti pemainnya, mereka bakal tak bisa tahan dengan narsisme.

“Saya sering bertanya-tanya mengapa mereka benar-benar tidak akan menganggap saya, tapi saya tidak pernah menemukan jawaban yang sesungguhnya. Mungkin mereka sedikit cemburu, banyak orang yang mencintaiku. Sepak bola modern semakin didominasi oleh pelatih dan narsisme mereka,” curhat Baggio yang mengarah pada Sacchi dan Lippi.

Seiring berjalannya waktu, Baggio memaafkan Sacchi, serta mengakui bahwa Sacchi hanya seorang pelatih fundamental yang terjebak pada metodenya sendiri. Sementara pertempuran dengan Sacchi ataupun Capello hanya pada tingkat taktis. Perseteruan dengan Lippi telah pada tingkat yang sangat pribadi.

Dan pada akhirnya, karma pun seperti memburu Lippi, setelah Baggio keluar dari Inter, ia pun ikut terdepak dari Inter. Sebabnya, secara mengejutkan Inter kalah dari Helsingborg di babak play-off Liga Champions.

Dan pada partai pembukaan Serie A melawan Reggina, secara mengejutkan Inter juga mengalami kekalahan, Moratti tak memberinya toleransi lagi. Hanya berselang tiga bulan setelah malam yang menakjubkan di Verona, kedua pria itu pergi.

Bagi Baggio, membela harga diri ternyata membanggakan dan rasanya begitu indah. Dan pada akhirnya, memang terasa amat indah.

 

NB: Kisah tentang perseteruan antara Roberto Baggio dan Marcello Lippi ini bersumber dari These Football Times. Penulis menyadur dan memberi sentuhan hingga naskah ini memiliki cita rasa yang berbeda dengan versi aslinya.

RALAT: Cristian Vieri sempat bermain satu musim di Juventus pada musim 1995/1996 dan Marcello Lippi sudah melatih Juventus.

Komentar
Masih kuliah di LPM Ekspresi dan kursus di UNY Yogyakarta. Bisa disengat di @arcibob.