Tiga Lubang

Tinggal satu tikungan lagi.

Kabul mengendorkan tarikan gasnya. Binter Merzi itupun menggelinding menuju rumah yang tersembunyi di antara tiga pohon sawo. Kabul turun, sedikit merapikan rambutnya di kaca spion yang bengkok, lalu beranjak meninggalkan motor itu tepat sebelum matahari tenggelam. Di depannya, berdiri rumah kayu yang hampir roboh. Pondasi batu kalinya sudah longsor di sana sini. Tiang-tiangnya lebih seperti menggantung daripada menyangga. Entah kenapa rumah itu masih berdiri. Ada benang layang-layang nyangkut, sementara layang-layangnya sendiri bertengger di ranting sawo 4 meter di atas atap. Tali itu tampak kencang ditarik rumah. Jangan-jangan benang layangan itu yang mengikat rumah itu biar tak roboh?

Ah, sudahlah. Rumah hampir roboh itulah yang kini membuatnya lega, setelah empat jam perjalanan yang penuh maki. Dimulai saat di depan sebuah pasar Kabul mendengar teriakan kecopetan. Bersamaan dengan itu, seorang laki-laki berkulit bersih dengan jaket kulit kinclong berlari panik menuju arahnya. Ini dia copetnya. Spontan Kabul ngepot menghadang lari pencopet itu. Sialnya, jarak mereka terlalu dekat. Copet itu kaget tak sempat mengerem. Kabul kaget tak sempat menguatkan kuda-kudanya. Tabrakan pun tak terhindarkan.

Dilanjutkan dengan pergumulan di dekat tumpukan sampah yang didominasi kulit kobis yang berulat dan kulit jagung. Belum sempat Kabul berdiri, warga datang menarik jaket lusuhnya dan sebagian berusaha mengirimkan bogem mentahnya. Satu pukulan sempat mendarat di keningnya. Satu lagi menyasar ulu hatinya. Untung tukang parkir yang jadi saksi mata tumbukan tadi datang melerai. Warga salah sasaran. Tukang copet sebenarnya, yang jaketnya kinclong, sudah jauh berlari, bukan yang lusuh ini.

Asssuuuu! Mau jadi pahlawan gagal karena kulitku lebih gosong dan jaketku lebih lusuh dari copet. Umpat Kabul.

Akibat insiden copet itu, Kabul terpaksa berhenti sejenak merawat lukanya dan terlambat mengajak motornya mendaki. Kabut sudah turun saat dia memacu motornya mendekati rumah tujuannya yang berada di atas gunung. Jam 4 sore lewat, jarak pandangnya tinggal 3 meter. Di sinilah kesialan kedua terjadi. Pernah mendengar tabrakan adu kebo? Nah, itulah yang terjadi. Sebenarnya.

Dengan jarak pandang terbatas, Kabul menanjakkan motornya hati-hati dengan mata melotot. Sampai di sebuah tikungan, nyeri di pelipis matanya muncul dan membuatnya terpaksa mengedip. Tapi begitu dia melek, ada sepasang mata tepat di depannya. Hitam dengan kulit hitam di sekeliling kabut putih.

“Asu!” umpat Kabul kepada si kerbau.

Kerbau itu melotot lalu melenguh. Kabul berdebam lalu mengaduh. Anak penggembala kerbau menjerit lalu pingsan. Sementara motor Kabul menggerang lalu mati, kening Kabul bertambah perih. Kali ini ditambah nyeri di pantat akibat mendarat duluan di aspal.

Berharap kesialan hari ini segera berlalu, Kabul mengetuk pintu di depannya.

“Assalamuaikum,” Kabul lupa sudah berapa lama dia tak pernah mengucapkan salam ini. Tapi pemilik rumah ini membuatnya segan.

“Waalaikumsalam,” jawab suara bergetar dari dalam rumah. Khas suara aki-aki.

Seorang laki-laki berjalan bungkuk dengan senyum yang ramah. Memperlihatkan deretan giginya yang memerah karena sirih.

“Saya mau ketemu Mbah Pujo…”

“Iya iya, ayo masuk, duduk, biar kuambilkan keperluanmu.”

“Tapi Mbah, saya belum ngomong apa-apa…”

“Hahaha, dukun yang masih nanya keperluan tamunya itu dukun yang masih belajar. Hahaha!”

Kabul mengangguk. Sepertinya dia datang ke orang yang tepat.

Kabul lalu masuk, duduk bersila di atas tikar pandan di dekat pintu. Ruang tamu yang sederhana, nyaris tanpa hiasan atau pernak pernik seram layaknya seorang dukun. Tak tampak kengerian di ruang ini. Lebih seperti ruang tamu seorang petani. Ada cangkul di pojok kanan sana. Ada alat bajak bersandar di dinding samping. Ada juga gambar Pak Harto dan Sri Sultan Hamengkubuwono di dinding depan Kabul. Padahal kalo nggak salah, Kabul pernah mendengar wakil Pak Harto sudah berganti. Entah siapa namanya. Di antara kedua gambar itu ada kepala rusa dengan lilitan pita merah putih di tanduknya.

Kabul tersenyum. Kepala rusa itu gagah sekali.

Tak sampai lima menit, Mbah Pujo sudah kembali. Tangannya begetar mengeluarkan sesuatu dari kain hitam. Dipandanginya benda seukuran jempol itu sambil tersenyum. Lalu ia mengulurkannya tepat di depan janggut Kabul .

Kabul menerimanya dengan berdesir.

“Ini apa, Mbah? Ranting Bambu?”

“Hehehe, pinter. Itu namanya pring petuk combong.”

“Gunanya?”

“Ya untuk memenuhi keperluan yang kau bawa dari rumahmu”

Kabul datang ke sini untuk menanyakan berapa skor pertandingan sepakbola besok. Klub papan atas liga Inggris lawan klub juara Galatama idoalnya. Tapi kok malah diberi bambu serupa sedotan sapi?

“Nuwun sewu, Mbah, tapi ca…..” belum selesai Kabul bertanya, Mbah Pujo menjawab.

“Ini bambu langka. Biasanya kumbang cuma mampu melubangi satu sisinya. Yang ini tembus lurus ke sisi lainnya. Dua lubang sejajar sempurna. Bawa ke stadion. Lihat papan skor lewat kedua lubangnya. Akan kelihatan hasilnya, hehehehe….”

Semudah itu? Tanya Kabul dalam hati. Tapi pikiran itu cepat-cepat diusirnya saat melihat Mbah Pujo menaikkan alis.

“Percaya Mbah, saya percaya. Maaf Mbah, cuma ini yang saya bawa.” Kabul menggenggam sesuatu yang sedari tadi disimpan di saku celananya. Kalung emas yang dia curi dari kotak penyimpanan istrinya.

“Nggak nggak nggak, aku mau separuh dari yang kau menangkan besok.” Kabul tak berani mengumpat meski dalam hati.

“Iya Mbah, iya”.

“Eh bentar, ini kamu bawa juga air ini.”

“Air apa, Mbah?”

“Air sirih…”

“Ini untuk apa, Mbah? Untuk mencuci pring combong ini?”

“Bukan. Untuk membasuh keningmu.”

2-0!

Sudah berkali-kali Kabul meneropong melalui pring combong. Papan skor itu masih sama. Ini Gila! Angka 0 di papan skor itu berubah menjadi 2 kalau dilihat melalui dua lubang tembus di bambu itu. Angka yang edan. Lebih edan lagi ketika angka 2 berada sebaris dengan nama klub lokal tuan rumah, bukan pada klub tamu asal Inggris itu. Benar-benar gila!

Sudah sedari pagi Kabul meneropong, di saat stadion hanya berisi dirinya dan para petugas penyiram rumput, sampai lewat tengah hari saat stadion ini mulai diserbu penonton. Skor masih tetap sama. Konsistensi yang membuat Kabul yakin lalu segera beranjak melawan arah arus penonton yang mulai memasuki stadion. Tujuan Kabul satu, warung chinese food di belakang kios telepon pojok perempatan dekat stadion, tempat para bandar dan petaruh berkumpul sambil makan mantau yang dicocol dengan saos kari kepiting.

Tinggal satu dahan lagi.

Atmo Mujur menengadah ke atas dan menemukan dahan yang kuat untuk bersandar dan duduk. Dahan yang cukup tinggi untuk mengintip sebagian lapangan di dalam stadion. Di posisinya sekarang, Atmo berhasil melihat setengah lapangan. Lumayan. Ini adalah satu-satunya cara melihat bola dengan tiket yang tak terjangkau tukang becak sepertinya. Ada 20 ribu orang yang mampu membeli tiket, tapi tidak dengannya. Dia tak semujur mereka.

Petandingan baru dimulai sebentar, penonton sudah gemuruh. Gol buat tuan rumah! Seluruh penonton berjingkrak. Kecuali tentu saja para penonton seperti Atmo dan mereka yang bergelantungan di pohon. Mendengarg gemuruh itu saja mereka senang bukan kepalang, meskipun Atmo tak melihat proses golnya. Gawang sebelah sana terhalang daun dan tiang obor stadion.

“Kang! Siapa yang ngegolin?” Tanya Atmo pada orang yang duduk di dahan yang lebih tinggi.

Nggak tau, tapi tendangan volinya bagus banget!”

Setelah itu, kedua tim silih berganti melakukan jual beli serangan. Terlihat jelas bagaimana bola melambung dari pandangan Atmo. Makin lama laju bola makin sering melambung ke kiri. Itu tanda tuan rumah di atas angin. Bule-bule itu kepanasan sepertinya. Pertandingan kali ini memang dimulai jam 2 siang.

Begitu babak kedua dimulai, bola lebih sering berada di sisi lapangan sebelah kanan. Atmo sedikit lega karena gawang klub Inggris itu jelas terlihat di posisinya. Terbukti saat proses gol kedua. Atmo melihat jelas seorang pemain melewati tiga bek klub Inggris itu sebelum mengirim umpan terobosan. Umpan itu disambut pemain bernomor punggung 9 yang tinggal berhadapan dengan kiper dengan rambut bergelombang sebahu. Dari cara larinya, Atmo tahu bener itu si Joko, penyerang andalan yang dengan lincah menggocek melewati kiper.

2-0. Atmo nyaris jatuh menyambut gol itu. Gemuruh penonton bertahan hingga akhir pertandingan.

Ini sejarah. Juara Galatama mengalahkan klub elit Inggris! Banyak yang takjub dengan hasil ini, termasuk Atmo yang menuruni pohon dengan senyum menyembang. Tapi senyum dan tawa mereka tak ada yang mengalahkan lebar tawa Kabul. . Dia menang besar. Terbesar sepanjang kariernya sebagai petaruh bola. Dia resmi naik dari kelas recehan!

Saos kepiting muncrat dari mulutnya.

Tak bertahan lama, dia lalu tersedak, karena mengingat 50% jatah Mbah Pujo.

—-

Tinggal tiga hisapan.

Atmo Mujur duduk melamun di becaknya. Sesekali dia melirik kretek di tangannya. Jalanan sudah sepi. Keriuhan karena pertandingan bola tadi siang sudah musnah. Peluang untuk mendapatkan penumpang jadi sangat tipis kalau tidak mau dibilang ikut musnah. Jam segini, selarut ini, di kantongnya baru terkumpul 200 perak. Hasil seharian tadi mengayuh becak membelah kota.

Hari ini memang hari yang aneh. Membawa empat penumpang, dua membayar dengan uang, satu dengan makan siang, satu lagi malah membayar dengan batu. Iya, batu. Berwarna putih gading berbutir kasar. Yang membedakannya dengan batu kapur yang biasa dipakai orang-orang untuk mengeraskan jalan adalah sebuah lubang kecil tepat di tengahnya.

Penumpang terakhir yang diantar tadi yang kini memenuhi lamunannya. Seorang nenek yang minta diturunkan di dekat makam yang langsung menegakkan bulu kuduknya.

“Nak, makasih ya, tapi Nini nggak punya uang. Sebagai gantinya, boleh kan Nini memberimu batu kesayangan Nini ini?” Nenek berkebaya ungu itu menyodorkan bungkusan kain putih yang dia kelurkan dari tas kecilnya.

Melihat bungkusan putih segenggaman tangan itu, Atmo kembali bergidik. Dia membayangkan apapun yang akan diberikan Nenek itu akan berubah menjadi daun. Sesaat setelahnya, nenek itu akan tertawa ngikik lalu terbang sambil memperlihatkan punggungnya yang bolong. Persis seperti film Suzanna di layar tancap malam Jumat kemarin.

Tapi nenek di depannya itu senyumnya begitu ramah dan tulus. Mengingatkannya pada senyum neneknya sendiri. Hati Atmo membesar. Ketakutannya hilang setelah mengingat sesuatu. Dia bukan tukang nasi goreng atau tukang sate sepeti di film-film itu. Jadi, tak mungkin nenek ini berubah jadi perempuan seksi dengan make-up tebal. Tak mungkin punggungnya bolong. Tak mungkin tiba-tiba melayang meninggalkannya sambil tertawa ngikik.

Nggak usah, Nek, mboten nopo-nopo. Gak papa, saya ikhlas nganter nenek,” jawab Atmo mencoba bijak.

“Nini juga ikhlas, sungguh. Sudah saatnya batu ini dirawat orang lain. Nini percaya kamu orang baik. Mudah-mudahan kamu tambah beruntung, rezekimu dilancarkan dari jalan yang tak terduga-duga”

Begitu mendengar kata-kata rezeki, Atmo goyah.

Nenek itu lalu mengeluarkan batu kecil dari bungkusannya. Sambil tersenyum ramah, nenek itu menjelaskan apa yang ada di tangannya.

“Batu ini namanya Kluweng Jagat. Lihat warna putih gadingnya yang tak tembus cahaya, lihat urat-uratnya, dan yang paling penting kamu perhatikan bolongan kecil di tengahnya ini. Ini pintu masuknya kemujuran dan rezeki.”

Atmo tercekat. Mujur! Mungkin batu ini sudah jodohnya. 34 tahun yang lalu entah dapat wangsit dari mana, bapaknya memberi dia nama Atmo Mujur. 34 tahun yang ternyata kemudian membuktikan doa bapaknya tak terkabul. Sepanjang hidupnya, Atmo merasa sebagai orang tersial di dunia. Berkali-kali ditinggal kawin pacarnya, sampai berkali-kali kecemplung got. Malam ini, mungkin awal terkabulnya doa bapak! Jerit Atmo di dalam hati.

Tinggal dua hisapan.

Atmo mengeluarkan bungkusan putih dari saku bajunya. Ditimang-timangnya. Sesekali dirabanya tekstur kasar batu itu. Setiap kali ujung jarinya menyentuh lubang, senyum mengembang di bibirnya. Tapi pada usapan pada lubang yang kesekian kali, Wajah Atmo berubah muram.

Dikeluarkannya batu itu dari kain bungkusnya. Diperhatikannya lubang itu lekat-lekat. Lalu dikeluarkannya uang 5 rupiah dari sakunya. Dua benda itu dia sandingkan berdampingan. Lalu terngiang omongan sang nenek. Lubang itu adalah pintu masuknya rejeki. Atmo lalu mendekatkan koinnya ke lubang.

Nggak mungkin! 5 rupiah saja susah masuk, gimana rezeki yang lebih besar?

Tinggal satu hisapan.

Tekad Atmo bulat. Rezeki akan dijemputnya dengan kayuhan pedalnya. Itu lebih masuk di akalnya yang jarang dia pakai. Dia akan membuang batu itu. Tapi ke mana? Ah, sungai di seberang jalan itu sedang meluap airnya. Peristirahatan yang tepat untuk batu aneh ini.

Akhirnya, setelah satu hembusan nafas panjang, Atmo kemudian melempar Kluweng Jagat itu tinggi-tinggi melewati jalan raya menuju sungai. Suaranya nyaring di telinga sampai digantikan bising suara motor ngebut dari arah timur. Sebuah Binter Merzi dengan pengendara berjaket kulit lusuh tiba-tiba lewat tepat di lintasan lemparan Atmo.

“Pletak!” Atmo melempar terlalu tinggi dan tak cukup jauh. Atmo tak terlalu yakin itu suara batu membentur apa. Yang jelas, motor itu lalu oleng ke kanan, keluar badan jalan melewati rerumputan, berhasil mengelak dari pohon mahoni, lalu menerjang pagar pembatas dari bambu. Motornya tersangkut, tapi tidak pengendaranya.

Asssss….asss…asssuuuuuu…..” cuma teriakan itu yang terdengar, sebelum si empunya mulut menghilang ditelan arus sungai.

Atmo kaku sebelum kesadaran menyeretnya berlari menuju pinggir sungai. Dilihatnya lekat-lekat aliran sungai yang sedang ganas-ganasnya. Ada beberapa gelembung di sebelah sana. Hampir saja Atmo melepas celananya, lalu terjun ke arah gelembung. Untung dia sadar, dia tak bisa berenang. Berkali-kali kecemplung got membuatnya fobia air mengalir. Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu. Entah keajaiban orang berjaket lusuh itu tiba-tiba berhasil berenang ke tepi, entah bantuan orang lewat yang bisa berenang tiba-tiba datang.

10 menit, tak ada yang berenang, juga tak ada yang lewat. Malam memang sudah terlalu larut. Atmo melirik ke motor yang nyangkut di pagar. Matanya tertuju pada tas yang diikat di tangki depan. Perlahan dilepaskannya ikatan itu, lalu ditariknya retsleting yang setengah macet itu. Karena kaget, hampir dia terjatuh ke sungai. Tas itu berisi uang yang tak pernah dilihatnya. Dia tak pernah melihat uang sebanyak itu.

15 menit berlalu dan Atmo masih berusaha menentramkan jantungnya. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Terus menunggu di sini atau membawa tas ini ke kantor polisi? Dua-duanya bikin deg-degan. Berdiam di sini bikin deg-degan karena dia tak pernah membawa uang sebanyak ini. Atau tiba-tiba orang berjaket lusuh itu akan keluar dari sungai lalu menghajarnya karena lemparan batunya. Atau jangan-jangan yang keluar hantunya? Ke kantor polisi bikin deg-degan karena dia tak tahu harus cerita apa. Apakah dia bisa dipenjara karena dianggap membunuh? Bagaimana kalau nanti dia dituduh merampok? Ya Tuhan, aku hanya berdoa minta rezeki, bukan minta masalah serumit ini.

Butuh 15 menit tambahan sebelum senyum Atmo merekah. Dituntunnya motor itu melewati pinggir sungai tanpa pagar bambu. Didorong perlahan meluncur menuruni tebing sungai. Meninggalkan bekas gelembung yang tak lama kemudian hilang. Digenggamnya erat tas itu sambil berjalan menuju becaknya. Ini memang hari mujurku. Selain Tuhan, tak ada yang tahu kejadian ini, yakin Atmo di dalam hati.

Benar kata nenek tadi siang. Rezeki memang datang dari jalan yang tak terduga-duga.

Bergegas Atmo mengayuh becak itu. Tujuannya satu: pergi sejauh mungkin. Senyumnya mengembang sampai dia menyadari sesuatu. Terpikir satu masalah baru yang membuatnya pusing tujuh keliling.

Bagaimana cara menghitung uang sebanyak itu?

 

Komentar

This website uses cookies.