Kendati merupakan rival sekota Juventus, Torino lebih sering dianggap sebagai kuda hitam atau bahkan tim semenjana ketimbang menjadi pesaing kuat La Vecchia Signora.
Akan tetapi, adakalanya Il Toro memang lebih digdaya dari Juventus. Setelah masa keemasan Il Grande Torino di era 1940-an, mereka pernah berupaya merepetisi kejayaan itu di awal periode 1990-an.
Dahulu skuad Il Grande Torino pernah berpredikat sebagai legenda sekaligus melankolia.
Pada masanya, mereka bisa menggenggam banyak trofi sekaligus memperbarui taktik sepakbola Italia secara revolusioner.
Di masa jayanya, mereka meraih lima trofi Scudetto yakni musim 1942/1943, 1945/1946, 1946/1947, 1947/1948, 1948/1949 dan satu Coppa Italia 1942/1943.
Nahas, sebuah tragedi mengenaskan merenggut segalanya. Pada 8 Mei 1949, pesawat yang ditumpangi skuad Torino sepulang dari Portugal menabrak Gunung Superga.
Seluruh personel Il Grande Torino yang turut dalam pesawat itu meninggal. Seluruh pecinta sepakbola berduka.
Mereka kehilangan satu generasi yang menciptakan keindahan permainan yang fenomenal bagi sepakbola Italia.
Karena kejayaan tersebut berujung tragis, romantisme para pendukung Torino terus bersemayam pada kejayaan skuad ini secara turun temurun hingga ke generasi tifosi selanjutnya.
Namun pada akhirnya, di awal tahun 1990-an romantisme itu diwujudkan dalam pembentukan skuad mumpuni demi hadirnya trofi bergengsi.
Pada mulanya, proyek Torino di awal 1990-an ini dimulai dengan kedatangan pelatih kharismatik Emiliano Mondonico dari Atalanta.
Berbekal capaian promosi ke Serie A dan juga mampu meloloskan Atalanta ke semifinal Piala Winners, Torino merekrut Mondonico demi racikan sepakbola berkualitas yang muncul dari tangan dinginnya.
Sebelum Mondonico datang, Torino sudah dihuni pemain-pemain lokal yang cukup menjanjikan.
Di lini belakang, ada Roberto Mussi yang menjadi andalan Arrigo Sacchi kala membesut AC Milan. Di depan Mussi, ada Dino Baggio, si gelandang berfisik tangguh dan siap membagikan bola kepada Gianluigi Lentini, salah satu ahli gocek yang ditakuti bek-bek Serie A pada masa itu.
Setelah Mondonico datang, transfer Il Toro semakin menggeliat. Guna mengukuhkan barisan belakang mereka, Luca Fusi yang dulunya bagian dari kejayaan Napoli di era Diego Maradona, didatangkan.
Ditambah Pasquale Bruno, salah satu bek andalan Juventus di akhir 1980-an, kekuatan Torino jadi kian menjanjikan.
Yang paling fenomenal di masa awal kedatangan Mondonico adalah kehadiran seorang gelandang serang dari Real Madrid, Rafael Vazquez.
Vazquez merupakan bagian dari era La Quinta de Buitre Real Madrid bersama Emilio Butragueno, Hugo Sanchez, dan Manolo Sanchis. Perekrutannya menjadi rekor transfer bagi Il Toro di masa itu.
Berbekal sederet amunisi baru, Torino mengakhiri proyek barunya di musim 1990/1991 dengan menduduki posisi lima klasemen akhir Serie A.
Hasil tersebut bisa dibilang tidak begitu buruk bagi sebuah tim yang sedang membangun ulang kekuatannya. Terlebih di musim itu Juventus rival sekota mereka, mengakhiri musim di posisi tujuh klasemen.
Lepas Landas
Pada awal musim 1991/1992, proyek Torino ini mulai menemukan titik terang. Manajemen menyempurnakan komposisi pemain dengan mendatangkan fantasista mungil dari Belgia, Enzo Scifo.
Bersama Lentini dan Vazquez, Scifo membentuk trisula serangan yang menjadi salah satu momok bagi bek-bek Italia pada masa itu.
Di musim 1991/1992 Torino menciptakan sensasi tersendiri. Permainan anak asuh Mondonico ini menjadi anti-tesis bagi irama permainan sepakbola Italia yang terkesan lambat dan penuh kehati-hatian.
Lewat kecepatan dan agresivitasnya, Il Toro tak jemu memborbardir pertahanan lawan. Gol demi gol bersarang lewat pola serangan apik dari trio Lentini-Vazquez-Scifo.
Pada akhir musim 1991/1992, Torino mengakhiri musim di papan atas klasemen akhir Serie A dengan menempati urutan ketiga.
Hanya saja kali ini mereka mesti menerima kenyataan bahwa Juventus menyelesaikan musim di atas mereka, tepatnya pada peringkat kedua setelah Milan yang meraih Scudetto.
Akan tetapi, bagi pendukung Torino, final Piala UEFA 1991/1992 adalah memori penuh implikasi pada emosi mereka.
Ketika Il Toro menginjakkan kaki di laga final, antusiasme tifosi membumbung tinggi. Ada secercah harapan untuk mengulang kembali kejayaan Il Grande Torino di tingkat Eropa.
Namun nasib berkehendak lain. Harapan mereka berakhir dengan ratapan. Torino mesti takluk oleh Ajax Amsterdam lewat peraturan gol tandang.
Saat itu, Torino yang menahan imbang Ajax di Delle Alpi via skor 2-2 hanya bisa meraih hasil seri 1-1 di Amsterdam Arena.
Mereka juga ketiban sial kerena tiga peluang gol dari pemainnya membentur mistar gawang.
Uniknya lagi, lahir kejadian dramatis pada laga final itu. Mondonico yang kecewa dengan kepemimpinan wasit di laga tersebut, mengangkat tinggi-tinggi kursi dari bangku cadangan dan menunjukkan gestur seolah ia akan melemparkannya kepada wasit.
Mondonico melakukannya karena kesal melihat satu gol anak asuhnya dianulir dan dua pelanggaran di kotak penalti lawan tak diakui.
Di luar drama penuh ironi bagi para pendukung Torino itu, permainan anak asuh Mondonico berhasil mencuri perhatian publik sepakbola Benua Biru.
Mereka memperagakan sepakbola yang penuh gairah dan pantang menyerah. Bahkan Ajax asuhan Louis Van Gaal di laga final tersebut, sebenarnya keteteran buat mengimbangi permainan Torino.
Permainan anak asuh Mondonico di musim 1991/1992 menegaskan anti-tesis terhadap rival sekota mereka, Juventus.
Jika Juventus dikenal sebagai klub yang menghalalkan pola permainan apapun, bahkan yang pragmatis demi kemenangan, maka Torino sebenarnya punya karakter permainan yang idealis tetapi lebih agresif.
Ironis memang, warisan permainan agresif Torino tak berlaku lagi setelah tragedi Gunung Superga.
Torino pada masa sesudah generasi emas justeu lebih sering berkutat dengan persaingan di papan tengah atau bawah Serie A.
Padahal sang rival sekota selalu konsisten berada di atas dan jadi gacoan utama dalam perebutan titel juara.
Lambat laun, identitas permainan Torino mulai tenggelam oleh banyak faktor-faktor eksternal dan juga internal.
Torino 1991/1992 adalah perwujudan dari semangat mengulang kembali kejayaan yang pernah mereka dapatkan pada masa lalu. Sayangnya, tidak berakhir manis.
Setidaknya, perjalanan tim di awal 1990-an adalah sekeping kenangan dramatis yang masih bisa diingat dengan baik oleh para pendukung setia Il Toro selain generasi emas Il Grande Torino.