Transformasi Menonton Laga Sepakbola

Transformasi menjadi sebuah hal yang lekat dengan dunia sepak bola. Kata ‘transformasi’ sendiri dalam ensiklopedia umum adalah istilah ilmu eksakta yang kemudian diperkenalkan kepada ilmu sosial yang memiliki maksud perubahan bentuk (Qohar, 1998).

Piotr Sztompka (2008) mengatakan bahwa transformasi merupakan sebuah perubahan yang tidak hanya dimulai dari luar, melainkan dari dalam.

Transformasi dalam lingkup sepakbola sejatinya sudah dimulai dari aspek internalnya, seperti transformasi sistem permainan hingga peraturan dalam sepakbola.

Meskipun begitu, penonton selaku aspek eksternal dari sepakbola bukan berarti tidak mengalami proses transformasi.

Salah satu aspek dari penonton yang ikut bertransformasi adalah cara menonton dan menikmati sepakbola itu sendiri.

Saya pribadi selaku penonton dan penikmat sepakbola merasakan bagaimana cepatnya sebuah perubahan dalam menonton laga pertandingan sepakbola.

Padahal umur saya belum kepala tiga, tetapi berbagai perubahan sudah beberapa kali sudah saya rasakan.

Saya ingat, pertama kali saya menonton sepakbola adalah final Piala Dunia 1998 yaitu pertandingan antara Prancis dan Brasil yang dimenangkan tuan rumah.

Ketika itu saya menonton pertandingan tersebut dengan kakak saya di layar kaca televisi.

Saat itu sepakbola berhasil menghangatkan suasana rumah, dan momen tersebut berlanjut hingga Piala Dunia 2006. Masih dengan Prancis di final yang kali ini kalah dari Italia.

Budaya Nonton Bareng di Kota-Kota Besar Indonesia

Salah satu aspek penting dalam transformasi adalah waktu. Dalam sebuah transformasi sosial, waktu tidak hanya berupa dimensi universal tetapi menjadi faktor inti dan menentukan (Sztompka, 2017: 46).

Sebuah transformasi tanpa adanya waktu adalah sebuah kemustahilan karena setiap proses dalam perubahan niscaya membutuhkan waktu.

Hal ini pula yang saya rasakan di masa kuliah, sebab pada saat itu cara menonton sepakbola banyak orang mulai berubah, terutama di kota-kota besar.

Munculnya berbagai komunitas penggemar sebuah klub sepakbola tertentu, mayoritas kesebelasan Eropa, menjadi salah satu faktor penting dari perubahan budaya menonton sepakbola.

Pada masa itu, hampir setiap pekan saya keluar rumah pada dini hari untuk menonton klub sepakbola kesayangan.

Dari yang awalnya hanya duduk-duduk dan bersorak ketika gol tiba, sampai akhirnya 90 menit rela berdiri meneriakkan chants untuk tim pujaan.

Nonton bareng alias nobar menjadi sebuah budaya baru bagi anak-anak muda, sebab di sana bukan sekadar menonton melainkan juga untuk bercengkerama dengan kawan dan bahkan meninggikan ego.

Terlebih jika nonbar tersebut mempertemukan dua fanbase klub yang punya rivalitas sengit.

Streaming Sebagai Opsi Menonton Kekinian

Selain waktu, menurut Stompzka (2017) salah satu faktor penting dalam proses transformasi adalah manusia sebagai agen perubahan.

Manusia pula yang menjadi penggerak roda transformasi di fase perubahan selanjutnya. Jika sebelumnya kafe-kafe, dan lapangan futsal ramai oleh budaya nonbar. Saat ini budaya menonton sepak bola kembali ke rumah.

Namun, bukan untuk nonton bersama keluarga di depan TV, melainkan fokus menonton di depan gawai masing-masing dengan layanan streaming kesayangan sambil sesekali membuka sosial media.

Layanan streaming ini tentu tidak muncul sendiri, melainkan karena adanya manusia di belakangnya yang melihat tontonan sepak bola berpotensi untuk menjadi ladang uang, terlebih di masa pandemi.

Beberapa tahun belakangan, budaya menonton bola melalui saluran streaming menjadi sebuah cara baru.

Terlebih dengan munculnya berbagai penyedia layanan streaming di Indonesia. Baik berbayar ataupun yang ilegal berbagai layanan tersebut hadir untuk mendekatkan tontonan sepak bola kepada penikmatnya.

Ini pula yang saya rasakan, terutama di Piala Eropa 2020 yang memaksa saya untuk berlangganan di salah satu layanan streaming bergambar ikan.

Hal ini membawa saya kembali ke rumah, seperti tontonan sepakbola pertama saya di tahun 1998, Prancis melawan Brasil.

Namun yang menjadi pembeda adalah media dan pendampingnya. Dari televisi menjadi gawai pribadi. Dari yang tadinya menonton dengan kakak, sekarang sudah ditemani oleh Istri.

Ya, meskipun semua bertransformasi, namun tetap saja kampiun Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2020 adalah negara yang sama. Percayalah.

Komentar

This website uses cookies.